Pupus

1554 Kata
Wisnu menarik nafas panjang berusaha sabar dengan merunduk meraih ranselnya yang di lempar ke dalam tempat sampah. Pemuda jangkung itu kembali menipiskan bibir mendapati ransel hitamnya dipenuhi tepung dan juga telur busuk yang teman-temannya lemparkan. Dengan mengusap pelan tepung yang masih menempel, Wisnu berjalan pelan ke arah toilet untuk membersihkan diri. Bukan hanya ranselnya yang dijadikan bahan bullyian tapi dirinya juga. Wisnu menarik diri saat beberapa teman-temannya melangkah keluar dari toilet tepat saat ia hendak masuk. Beberapa dari mereka terang-terangan menutup hidung dengan meludah merasa jijik dengan bau busuk pada tubuh Wisnu. Pemuda itu menghelan pelan berusaha menguatkan diri. Tangannya terulur menyalakan wastafel dan membersihkan ranselnya. Walau noda telur dan tepung itu masih saja membandel tidak ingin beranjak hilang. "Bau apaan sih ini anjir?" Wisnu menoleh dengan merunduk kembali fokus membersihkan. Mengacuhkan saja dua cowok yang baru masuk dan mencibirnya. "Jangan bawa bangkai disini dong! Elo kalau mau busuk, ya busuk sendiri. Jangan ngajak-ngajak," "Pake nyuci di wastafel lagi. Woi sono pulang! Gak tahu malu banget dah jadi orang." "Emang dia gak punya urat malu kan? Kalau pun dia punya malu, dia gak berani nginjakin kaki di kampus kita." "Benar juga. Sono lo pembunuh! Jauh-jauh dari kita, entar kita lagi yang dibunuh." "Atuuuuttttttt Hahahahah." Wisnu mendongak dengan memejamkan matanya erat. Pemuda itu mengakui, kalau bullyian, cacian ataupun cibirin teman-temannya memang pantas ia dapatkan. Tapi, Wisnu tidak menyangka akan seberat ini dan sesulit ini. Wisnu kira dengan menerima perlakuan burul dari mereka. Wisnu akan merasa sedikit lega. Namun, nyatanya Wisnu masih tetap merasa bersalah dan menyesali semua perbuatannya. Hidupnya masih dibayang-bayangi semua dosa-dosanya. Pemuda berahang kokoh itu melangkah keluar dari toilet sembari berjalan menuju gerbang kampus. Tatapan kebencian dari teman kampusnya masih mengiri jalannya. Bahkan, ada yang melemparinya dengan botol kosong membuat Wisnu pasrah saja. Walau merunduk memunguti botol dan membuangnya ke tempat sampah. Wisnu pun melangkah ke halte dengan perasaan sesaknya. Bahkan, matanya sudah kemerahan sedari tadi. Namun, pemuda itu berulang kali menggelengkan kepalanya untuk menahan diri untuk tidak menangis. Sama sekali tidak pantas untuk orang sepertinya. "Abang sapu tangan kan?" Suara cempreng di sampingnya membuat Wisnu menoleh dengan mengerjap pelan dan sontak tersenyum samar mengenali remaja di sebelahnya ini. "Wah beneran abang sapu tangan rupanya, gue udah cari-cari abang tahu gak. Sampai gue sebarin kertas cari orang hilang." Cerocosnya dengan memyengir lebar buat Wisnu menautkan alis bingung. "Beneran?" "Bohong lah bang, yakali gue bikin begituan. Buang-buang uang bang, mending buat jajan cilor." Balasnya masih sok akrab membuat Wisnu tersenyum begitu saja. Perasaannya setidaknya membaik mendengar celotehan tidak bermutu dari pemuda di sampingnya ini. "Terus lo nyariin gue kenapa?" Tutur Wisnu pelan. "Ah itu bang. Sebenarnya sapu tangan yang gue pinjamin itu punya emak gue bang. Kalau hari ini gue gak balikin, katanya gue bakalan dimasukin lagi ke rahim bang." Ceritanya dengan sok sedih, sembari mengusap kedua matanya yang kering. "Kenapa gak bilang, sapu tangannya ada gue bawa." Mendengar itu remaja yang tidak lain adalah Arrayan itu tersenyum berbinar sembari menarik kedua tangan Wisnu memegangnya haru. "Terima kasih so much, bang. Really really lagunya Winner, i am feel so special bang lagunya tuiwaice." Katanya dengan tersenyum lebar. Wisnu di sampingnya hanya menganga kecil sama sekali tidak paham dengan apa yang pemuda ini lontarkan. "Tapi sapu tangannya kayaknya belum gue cuci." "Gakpapa, bang. Kita nyuci di rumah gue aja. Buruan bang, entar mak gue pulang belum ada sapu tangan. Gue dicoret jadi ahli waris bang." "O-oke. Tapi gakpapa gue ke rumah lo?" "Iyalah, rumah gue mah selalu open house kayak hari raya, bang heehhe." Wisnu mengangguk saja walau pasrah saat Arrayan meraih ransel miliknya yang dipenuhi tepung. Remaja berseragam putih abu-abu dengan tanpa dosanya memaki ransel kotor itu dengan melangkah maju menghentikan angkot yang lewat. "Dek, itu tasnya bau apa. Nanti gak ada penumpang yang mau naik kalau busuk gitu," ujar supir angkot membuat Wisnu hendak melangkah turun namun Arrayan menahannya dengan tertawa hambar. "Tenang om supir, angkotnya gue sewa dah. Ribet amat, jangan kek orang susah." Balasnya lalu tersenyum bangga membuat Wisnu ikut tersenyum. Arrayan buru-buru melangkah turun lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke arah supir angkot lalu menarik lengan Wisnu berjalan menyusuri troroar. "Rumah gue dekat dari sini bang. Tapi kalau naik angkot ke sana gak bisa," "Gitu?" "Iya." Arrayan mengernyitkan dahi dengan memicingkan mata ke arah pemuda di depan sana yang sedang menggendong anak kecil dengan wajah berbinarnya. "Woi Bang El!" Elhaq hampir nyungsep ke tanah kalau saja tidak berpegangan pada trotoar. Pemuda itu berdecak kesal lalu menoleh ke belakang melihat Arrayan yang berlari kecil ke arahnya. "Ngapain lompat-lompat bang. Baterei abang soak ya?" Cibirnya dengan memainkan kedua alisnya naik-turun. "Ck. Apasih lo. Ngagetin aja nih bocah." Balas Elhaq kesal. "Lah bang, sekarang abang jadi pencuri anak dibawah umur? Astagfirullahal adzim, jangan begitu bang, dosa." "Bukan elah, ini anak yang gue temuin. Tadi nangis di sini, makanya mau tungguin mamanya. Gue sama Syaqila." "Wah kebetulan dong, kak. Bilangin kak Qilanya ya, gak usah bantuin cariin sapu tangan. Arrayan udah ketemu abangnya, dan sekarang mau main ke rumah." Katanya lalu menolehkan kepala. "Noh, orangnya." Tambahnya dengan tersenyum bangga. Elhaq hanya mengerjap samar memandangi pemuda di depannya yang kini tersenyum ramah padanya. "Sekarang kita berdua soib, ya kan bang?" "Iya." Balas Wisnu pelan. Mengiyakan saja ucapan tidak berfaedah remaja yang baru dikenalnya itu. "Eh kakak sepupu gue tuh!" Ujar Rayan membuat Elhaq dan Wisnu menoleh ke samping. Wisnu terdiam dengan mematung di tempatnya. Dadanya naik turun merasa sesak. Matanya bergerak  cemas dengan bibirnya yang bergerak pelan menggumamkan sebuah nama. "S-syaqila." Lirihnya dengan menelan salivanya kasar. Tenggorokannya mendadak kering dengan lidahnya yang keluh. "Gu-gue pulang duluan ya, a-ada yang harus gue lakuin." Tutur Wisnu lalu buru-buru pergi dengan menyempatkan meraih ranselnya pada Arrayan. Arrayan dan Elhaq di sampingnya hanya mengerutkan dahi tidak mengerti. Walau Arrayan mengangguk saja saat Wisnu berpamitan pergi meninggalkan keduanya di bahu jalan. Arrayan yang masih menatap bingung kepergian Wisnu menipiskan bibir. Lalu kembali menoleh ke arah Syaqila dengan memiringkan kepalanya berusaha memecahkan teka-teki yang ada. Pemuda itu yakin betul dengan pendengarannya, kalau Wisnu tadi menyebut nama Syaqila walau tidak terlalu jelas. "Tau ah, bodo amat. Otak gue gak bisa mikir," ********** Syaqila dan Elhaq berjalan menuju sekolah setelah keduanya menitipkan anak kecil tadi pada Arrayan. Walau pemuda itu menolak karena tidak ingik dituduh sebagai penculik anak. Elhaq berdiri di depan gerbang dengan melongokan kepala mencari keberadaan satpam sekolah. Agar ia dan Syaqila bisa lolos dan tidak dihukum karena keterlambatannya. Pemuda itu menoleh sekilas ke arah Syaqila. Namun, tersentak mendapati gadis itu terdiam dengan matanya yang sudah mengembun. "Syaqila, lo gakpapa?" Tanya Elhaq sudah panik dengan berusaha menyentuh pundak gadis itu, namun buru-buru Elhaq menariknya kembali. Tidak ingin bertindak diluar batas. Syaqila sendiri hanya mematung dengan perasaan sesaknya. Gadis berkerudung itu masih mengingat kejadian di jalanan tadi. Syaqila yakin betul kalau pemuda yang sempat berdiri di samping Arrayan adalah seseorang yang ingin ia lupakan keberadaan. Seseorang yang menjadi salah satu penyebab Syaqila menderita kecemasan saat ini. Syaqila mencengkram ujung roknya dengan perlahan berjongkok dengan menutup kedua telinganya. Kedua matanya sudah terpejam takut dengan air matanya yang sedari tadi sudah mengalir deras. Bayangan ledakan di sekolahnya dulu membuatnya makin menenggelamkan kepalanya di antara lututnya. Gadis itu makin terisak saat wajah ayahnya kini terpampang nyata di ingatannya. "Ayaaaaah....... " gumamnya masih tersedu membuat Elhaq makin panik dan kembali mendekat. "Qila, lo kenapa? Ada apa?" Cemasnya dengan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Tidak tahu harus berbuat apa, karena gadis ini mendadak begini di depannya. "Bundaaaaaaaa...... " tutur Syaqila dengan sesegukan sampai terbatuk kecil karena tangisan kuatnya. Untungnya anak-anak masih dalam proses belajar jadi tidak ada yang melihat Syaqila begini. Elhaq sudah gelisah sedari tadi, berdiri lalu duduk kembali. Tidak tahu harus berbuat bagaimana. Pemuda itu tersentak kaget saat melihat Adam, teman sekelasnya mendekat sembari menyelimuti Syaqila dengan jaket bombernya. Adam juga menarik lengan Syaqila lembut, membawa gadis itu ke belakang sekolah. Syaqila sendiri masih sesegukan dengan sesekali mengambil nafas. Merasa sesak, bahkan gadis itu sampai mencengkram lengan Adam di sebelahnya merasa kesakitan. "Syaqila." Panggil Adam pelan namun gadis itu masih sesegukan, "Syaqilaa." Panggil Adam lagi, Syaqila masih belum sadar. Gadis itu masih sibuk dengan pikirannya. Terkunci dalam masa lalunya. "Syaqila!" Sentaknya membuat gadis itu tersentak kaget dan tersadar. "Gakpapa, semuanya bakalan baik-baik saja." Ujarnya lembut membuat Syaqila makin menggetarkan bibir bawahnya. "Apa yang lo lihat sekarang cuma masa lalu, sekarang elo bakalan baik-baik aja." Lanjut Adam masih berusaha menenangkan membuat Syaqila perlahan terdiam walau masih sesegukan. Elhaq yang sedari tadi mengekori keduanya terdiam dengan melemaskan bahu. Disaat begini, pemuda itu merasa tidak berguna. Hanya bisa mondar-mandir tanpa tahu bagaimana cara menenangkan gadis itu. Adam menghela pelan masih menatap lurus Syaqila yang berjongkok di depannya. Pemuda itu menjulurkan tangan memperbaiki letak jaket pada tubuh Syaqila. "Elo udah enakan?" "H-hm." Balas Syaqila berdehem pelan membuat Adam mengangguk samar lalu beranjak berdiri membuat gadis itu mengangkat wajah. "Istrahat di UKS," tambahnya lalu berbalik melangkah pergi meninggalkan Syaqila yang sudah merasa membaik. Elhaq yang masih berdiri dan sekilas menatap kepergian Adam hanya mengerjap samar. Kenapa mendadak Adam yang tahu tentang gadis ini. Kenapa Adam yang tahu cara menenangkan Syaqila. Padahal Elhaq yang lebih dulu mengenal gadis ini. Walau hanya melihatnya dari jauh. Elhaq mendekat ke arah Syaqila yang juga mengerjap memandangnya. Gadis itu menghela pelan dengan kembali merunduk membuat Elhaq menipiskan bibir. "Maaf, gue gak bisa berbuat apa saat lo kenapa-napa." "Gakpapa, aku emang biasa begini." "Tapi gak biasa buat gue?!" Balas Elhaq tidak sadar sudah meninggikan suara membuat Syaqila melebarkan mata kaget. "Gue ngerasa gak berguna buat lo. Padahal lo lagi kesakitan di depan gue dan gue cuma bisa diam." Balas Elhaq dengan mengacak rambutnya frustasi. Syaqila mengerjap samar lalu berdehem pelan sembari mengusap bekas air matanya. "Gakpapa, lagipula aku gak berharap apa-apa dari kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN