Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Shei sudab siap dengan gaun silvernya, tatanan rambutnya dibuat sedemikian rupa menambah keanggunan wanita itu. Trias tampak terharu melihat anak perempuannya yang akan segera melepas masa lajangnya. Tadinya mereka pikir Shei mungkin terlalu larut dalam setiap novelnya sehingga lupa jika dia punya kehidupan nyata yang harus dijalani.
Setelah Alden selesai mengucapkan ijab qobul, Trias menggandeng anaknya menuju ke pelataran tempat acara akad diadakan. Wanita paruh baya yang masih kelihatan sangat cantik itu membantu Shei berjalan karena gaun yang dipakainya agak menyulitkan langkahnya.
Tatapan para tamu fokus kearah pengantin wanita yang tengah berjalan bersama ibunya. Tatapan Alden lurus kearah Shei, ia tidak munafik jika wanita yang menjadi istrinya sekarang ini memang cantik. Ia sudah menyadarinya sejak pertemuan tak sengaja mereka di sebuah Cafe, ya walaupun Shei tidak menyadarinya.
Satu tatapan lagi tapi lebih ketidakrelaan, Bian menatap datar sosok Shei yang mendekat kearah Alden. Kemudian wanita yang sangat dekat dengannya itu mencium punggung tangan Alden dan Alden mencium kening Shei dengan lembut.
"Kalo gue bisa berani, apa mungkin posisinya gak akan seperti ini sekarang?"
Ramai tepuk tangan para tamu, membuat Shei bersemu merah. Apalagi ketika Alden mencium keningnya. Ia tau itu hanya akting demi para penonton di sekelilingnya. Tapi tetap saja. Seumur-umur ini pertama kali keningnya dicium pria lain selain papahnya.
"Kalian harus jadi pasangan yang baik. Saling support." Ucap Arjun dengan bola matanya yang berkaca. Walaupun Shei pernah melihat papahnya menangis saat meninggalnya kak Raina, tapi kali ini Arjun tampak menangis bahagia. Apalagi Trias, mamahnya Shei yang tidak berhenti menangis.
"Apa sih kalian nih. Aku nikah gak nikah pun sama aja gak tinggal dirumah. Lebay deh." Ucap Shei menutupi keharuannya juga. Jika biasanya ia pergi dan tinggal sendiri di apartemennya, sekarang ia harus tinggal bersama pria asing yang tau-tau menjadi suaminya ini. Entah kenapa rasanya lebih mellow. Tidak seperti pertama kali ia memutuskan untuk tinggal sendiri.
Setelah acara akad dan resepsi hampir lima jam. Shei dan Alden pergi dengan mobil BMW mereka ke apartemen Shei. Ya mereka sudah sepakat untuk tinggal disana. Alden merasa cukup adil untuk tinggal di tempat Shei karena kepentingan wanita itu dan karir menulisnya. Lagipula akan lebih dekat juga ia ke rumah sakit untuk bekerja. Jadi tidak ada salahnya kan?
Shei bergidik ngeri melihat rumahnya yang sangat rapih dengan nuansa pink dimana-mana. Apalagi ranjang big sizenya yang bertabur kelopak mawar dan sprei warna pink." Siapa yang ngacak-ngacak apartemen gue." Keluhnya.
"Not Bad." Alden tampak berkeliling. Ini pertama kalinya ia masuk ke apartemen Shei setelah sebelumnya memergoki wanita ini satu kamar dengan Bian. Oh iya ngomong-ngomong pria yang katanya sahabatnya Shei itu kan tinggal di sebelah. Saat acara akad dan resepsi tadi Bian tampak bersama wanita dengan pakaian sexy. Mungkin seleranya memang begitu, tapi tatapan Bian ke Shei sama sekali tidak dapat dibohongi. Ada luka ditatapannya.
"Gue mau beberes dulu." Shei tampak tidak nyaman dengan gaun yang dikenakannya. Ia pun masuk ke kamar mandi sementara Alden hanya duduk di sofa, menyandarkan punggungnya yang terasa sangat pegal akibat kebanyakan duduk dan berdiri di acara resepsi tadi.
Tak lama Shei keluar dari kamar mandi lengkap dengan piyamanya. Padahal hari masih sore. Ia melihat Alden yang tertidur diatas sofanya. Ia pun duduk di kursi dan memainkan ponselnya.
"Apa gue jual aja ranjangnya ya terus ganti beli yang single bed dua." Shei memilih-milih ranjang untuk satu orang di salah satu market place online.
"Gak usah. Gue gak bakal melewati batas kok." Ucap Alden yang ternyata tidak tidur pulas itu.
"Bukan lo. Tapi gue." Sahut Shei yang membuat alis Alden tertaut. Menyadari kata-katanya menimbulkan kesalah pahaman, Shei buru-buru menyahut." Mak. . Maksudnya tidur gue grasak makanya gue beli ranjang big size. Jangan mikir aneh deh!" Ucapnya menyembunyikan rona merah pada kedua pipinya. Ia buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Ranjang yang dipenuhi kelopak mawar itu kembali membuatnya risih. Ia pun langsung membuka sprei pink itu dan menariknya tanpa ampun sehingga kelopak-kelopak mawar itu bertaburan ke lantai keramiknya.
" Lo mau langsung tidur?" Tanya Alden yang baru selesai mandi. Entah apa yang dipikirkan pria itu sehingga ia hanya mengenakan handuk di pinggangnya dan mempertontonkan d**a bidangnya yang atletis. Bahunya yang lebar membuat siapapun berpikir jika itu adalah sandaran terbaik.
Shei menyembunyikan rona merah pada wajahnya, meski pernikahan mereka secara terpaksa tapi jelas melihat lawan jenis dengan penampilan seperti itu membuatnya malu setengah mati. Walaupun ia bersahabat dekat dengan Bian tapi pria itu tidak pernah bertelanjang d**a di depannya. Ia mengambil tas laptopnya dan berjalan menuju pintu." Gue banyak kerjaan. Lo tidur duluan aja. Inget batesin pake guling. Kalo gak, gue gak jamin lo bakal selamat dalam tidur lo." Ucapnya seraya keluar dari kamarnya. Atau bisa disebut kamar mereka?
Malam semakin larut, entah apa yang dilakukan Alden di dalam kamarnya karena hingga sekarang pria itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Mungkinkah dia beneran tidur?
Shei menggeleng tidak peduli. Moodnya sedang lumayan bagus malam ini, ditemani segelas matcha blend buatannya sendiri cukup membangkitkan moodboster menulisnya kali ini. Ada baiknya juga ia dan Alden tinggal bersama, karena biasanya di apartemen sederhana ini hanya ada dirinya dan beberapa tokoh tentu hanya dalam cerita fiksinya. Kabar baiknya mulai hari ini apartemennya dihuni oleh dua manusia nyata. Setidaknya bisa menghapus kesepian hidup seorang diri.
"Jam segini masih aja main laptop? Pantes kacamata lo tebel." Suara dari seseorang yang Shei pikirkan beberapa menit lalu.
Tunggu. Kacamata tebal? Perasaan minusnya hanya satu mana mungkin kacamatanya tampak tebal. Sungguh lebay makhluk yang menyandang status suami Shei saat ini." Kenapa bangun? Kangen dikelonin mami?" Shei mencibir, tentu karena pria itu selalu menuruti omongan ibunya.
Alden tampak acuh kemudian duduk didepan Shei. Ia melirik matcha blend yang tinggal seperempat cup itu." Gue tau Cafe yang matcha addict."
Shei memicingkan matanya." Terus?"
"Kalo minggu ini lo ada waktu luang, kita kesana."
Shei menajamkan pendengarannya. Apa ini? Alden secara dengan senang hati mengajaknya pergi. Bukan atas permintaan Tante Karin alias mertuanya. Apa barusan Alden bertapa dikamarnya hingga berubah seperti ini.
"Jangan salah sangka. Gue cuma butuh liburan dan persiapan menjalani kehidupan baru sama makhluk kayak lo." Alden seakan tau apa yang dipikirkan istrinya itu." Dan demi melancarkan akting kita, lo harus membiasakan panggil gue Mas Al, dan omongan gue elo harus diganti aku-kamu."
Apa ini? Dia mulai memerintah sekarang. "Yakin?"
Alden mengangguk mantap walaupun hatinya agak ragu, merubah panggilan aku-kamu sebenarnya sudah hal lumrah. Tapi ke Shei entah rasanya agak berbeda. Ia seperti mengingat pada masa lalunya. Apalagi panggilan Mas Al, panggilan yang dibuat dia yang pernah ada dalam cerita hidup seorang Alden. Mungkin sampai sekarang.