"Cakra!" pekik Rosa kembali.
Kedua bola mata wanita paruh baya tersebut, melebar saking kagetnya melihat keadaan Cakrawala yang tengah terbaring lemah dengan sekujur tubuh lebam-lebam.
Ponsel Cakrawala jauhkan dari indra pendengarannya. Sungguh suara pekikan Rosa sangat nyaring terdengar hingga memekakan telinganya.
"Nyonya," lirih Cakrawala.
"Kirimkan alamat rumahsakitnya. Saya akan segera kesana," perintah Rosa terdengar tegas.
"Tapi, Nyonya—" kalimat Cakrawala menggantung bersama suara bunyi ponsel yang diputus dari sebrang telpon.
Pria itu hanya bisa menghembuskan napas kasar. Dia tak bisa lagi walau hanya sekedar menolak keinginan sang nyonya untuk datang. Matanya menatap nanar layar ponsel yang sudah menggelap.
"Huft," sekali lagi dia hembuskan napasnya. "Nyonya reaksi Anda terlalu berlebihan. Andai Anda tahu semua ini atas ulah suami Anda sendiri, saya tidak tahu apa yang akan Anda pikirkan." Cakrawala bergumam sendiri.
Mata dia melirik seiring suara pesan dari aplikasi hijaunya. Gegas jari-jari tangannya mengetikan pesan balasan agar sang pengirim tidak lagi menunggu.
*
*
*
Ujung mata Cakrawala lagi-lagi melirik kearah pintu yang berderit karena ada yang membukanya dari luar. Bola matanya hampir saja meloncat keluar saking kagetnya.
"Nyo-nya," lirihnya dengan suara terbata.
Dia tidak menyangka sang nyonya akan secepat itu datang ke rumah sakit. Bahkan Robby saja yang keluar mencari makan untuknya, belum juga kembali.
"Kenapa kamu tidak memberitahukan saya kalau kamu sedang sakit? Apakah kamu sudah tidak menganggap saya sebagai orangtua angkatmu lagi, hah?" ungkap Rosa membrondong dengan berbagai pertanyaan.
"Ma-maafkan saya, Nyonya. Saya hanya tidak ingin membuat Anda khawatir. Karena saya pun tidak apa-apa, ini hanya luka kecil saja tidak ada yang serius." Cakrawala menjawab dengan perasaan campur aduk.
"Ckk, sudah dibilang jika kita sedang berdua begini jangan panggil saya, Nyonya. Mama, panggil saya Mama, Cakra!" ucapnya tegas.
Pria itu bingung harus bersikap bagaimana dihadapan majikannya itu. Jujur bagi dia Rosa sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Kebaikan juga kelembutan Rosa membuat dia selalu merasa nyaman. Terlebih dia yang jauh dari kedua orangtuanya.
Rosa yang tidak pernah menganggap dia sopir. Nyonyanya itu ngomong trangtrangan jika dia menganggap dirinya sebagai anak angkat.
"I-iya, Mah. Maaf," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Dia sangat terharu dengan perhatian juga ketulusan Rosa terhadap dirinya.
"Dimaafkan. Asal kamu tidak mengulangnya kembali. Ngomong-ngomong siapa yang telah melakukan semua ini? Kenapa orang itu begitu tega menyakiti kamu?" cecar Rosa kembali sambil mendekati ke ranjang pasien.
Jemari lentik itu terulur menyentuh pipi Cakrawala yang terlihat membiru. Bahkan sudut bibirnya masih ada bekas luka.
"Sshh," desis Cakrawala saat tanpa sengaja jari lentik milik Rosa menekan luka di sudut bibirnya.
"Maaf. Sakit, ya?" tanya refleks Rosa sambil menjauhkan jarinya.
"Sedikit, Mah." Jawab Cakrawala seraya tersenyum kecut.
Namun Rosa menyadari semua itu, dia tahu ada yang di sembunyikan oleh Cakrawala.
"Cakra, jujur sama Mama. Siapa yang sudah melakukan semua ini?" telisik Rosa penasaran ingin mengetahui orang yang sudah melukai pemuda itu.
Kembali Cakrawala tersenyum hambar. Mana mungkin dia mengakui kalau Indra lah pelakunya. Dia tidak ingin kedua orangtua dari Embun tersebut cekcok gara-gara dirinya.
"Sudahlah, Mah. Saya tidak apa-apa. Dan saya juga pantas mendapatkan semua ini. Memang semua orangtua akan melakukan hal yang sama, untuk membela anaknya. Saya yang salah," lirih Cakrawala seraya menundukan wajah.
Kening Rosa tampak berkerut. Wanita paruh baya itu mencerna setiap kalimat yang terlontar dari bibir Cakrawala.
"Apa yang melakukan semua itu, papanya Embun? Jawab jujur, Cakra." Desak Rosa ingin memastikan.
Wajah Cakrawala melengos, dia tidak ingin melihat sorot mata Rosa yang begitu penasaran. Hatinya bimbang, antara ingin berkata jujur juga rasa takut.
"Cakra!" ucap Rosa meninggikan nada suaranya.
"I-iya, Mah." jawab gugup Cakrawala.
Hening sesaat. Pikiran keduanya mengembara jauh entah kemana. Namun kembali suara Rosa memecah keheningan.
"Diamnya kamu menunjukan, jika semua yang Mama ucapkan itu benar. Papanya Embun yang melakukan semua ini. Benar 'kan, Cakra?" telisik Rosa.
"Sudah saya bilang, Mah. Tidak usah membahas soal itu lagi. Saya menerima semua ini. Semuanya sudah menjadi konsekuensi saya yang telah berbuat salah pada putri Mama. Jika Mama ingin menghukum saya juga, akan diterima dengan lapang d**a. Maafkan saya, Mah karena telah merusak masa depan putri Mama." Ucap Cakrawala tulus.
Helaan napas berat terdengar dari mulut Rosa. Wanita itu menatap sendu Cakrawala. Tidak bisa dipungkiri jika hatinya pun merasakan kecewa teramat dalam dengan kejadian tersebut. Namun rasa sayang pada Cakrawala mengalahkan kekecewaannya.
"Mama tahu kalian melakukannya tidak sengaja. Itu karena kecelakaan. Namun Mama juga tidak membenarkan tindakan papanya Embun," lirih Rosa dengan mata menerawang jauh membayangkan masa depan Embun, juga penganiayaan yang dilakukan suaminya terhadap Cakrawala.
Ibu mana yang ingin melihat masa depan anaknya hancur, tetapi dia masih bisa berpikir jernih setelah mengetahui kronologinya. Berbeda dengan suaminya yang suka melakukan kekerasan.
"Semua itu salah saya. Andai saya bisa mengendalikan nafsu dan meredamnya, mungkin semua hal buruk terhadap Non Embun tidak akan terjadi. Apa yang harus saya lakukan, Mah?" tanya Cakrawala dengan tatapan penuh penyesalan.
Jujur dia sangat mencintai putri dari majikannya, untuk itu dia sampai rela melamar menjadi sopir pribadi keluarga Embun, agar mereka bisa selalu berdekatan. Namun bukan dengan cara licik seperti itu yang dia mau agar bisa menikahi gadis pujaannya itu.
"Apakah jika saya mengajukan permintaan akan kamu kabulkan?" tanya Rosa sambil menatap Cakrawala lekat.
"Insyaalloh saya siap untuk mengabulkannya, Mah."
"Kamu yakin dan berani?" kembali Rosa melayangkan pertanyaan.
Anggukan kepala Cakrawala tunjukan. "yakin, Mah."
"Lamar Embun pada papanya untuk kamu jadikan istri." Pinta Rosa terdengar tegas.
"Hah," terlihat pemuda itu mulutnya melongo.
Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Rosa begitu lantang dan tegas menyuruh melamar putrinya. Butuh beberapa detik untuk Cakrawala kembali kealam sadarnya.
"Kenapa kamu kaget begitu? Apakah kamu tidak bersedia untuk menikahi putri saya? Keterlaluan jika kamu menolaknya, Cakra." Ungkap Rosa dengan raut sedih juga kecewa.
"Bu-bukan begitu, Mah. Saya hanya kaget dan tidak percaya saja. Apakah Mama tidak malu bermenantukan saya yang notabene hanya seorang sopir?" tanya balik Cakrawala dengan ekspresi serba salah.
"Malu? Kenapa meski malu? Bagi Mama yang penting kamu mencintai juga menyayangi putri Mama. Dari dulu Mama tak mempersoalkan status. Cintai putri juga cucu Mama itu udah lebih dari cukup. Kamu harus mau tak ada penolakan," ucap Rosa terkesan memaksa.
"Ba-baik, Mah. Saya akan datang untuk melamar Embun putri Mama."
"Bagus, kalau begitu lakukan segera." Perintah Rosa.
Sesaat keduanya terdiam. Namun reflek Rosa bersama Cakrawala menolehkan wajah saat deritan suara pintu di buka dari luar.
"Tuan!"