"Mah, Mama masih di sana 'kan? Mama baik-baik saja 'kan?" seru Cakrawala begitu cemas memikirkan ibu dari wanita yang dicintainya itu syok, lantas pingsan mungkin, karena mendapatkan kabar tak sedap dari dirinya.
Pikirannya berkecamuk takut terjadi hal tersebut benar-benar terjadi pada Rosa. Suara Rosa seakan menghilang setelah mendengar kabar tak mengenakan dari dirinya.
Namun isakan kecil sayup-sayup Cakrawala dengar disebrang telpon. Rupanya Rosa yang tengah terisak itu.
Ada rasa lega dibalik keresahan hatinya. Pria itu kembali berucap. "Mah, biar Cakra jemput, ya. Tunggu Cakra datang, Mama jangan kemana-mana."
Sejenak suasana kembali hening sebab Rosa lagi-lagi tak menjawabnya. Beberapa menit menunggu akhirnya suara Rosa kembali terdengar.
"Dirumahsakit mana Embun di rawat? Kamu tidak usah menjemput Mama karena Mama yang akan datang kesana. Katakan saja nama rumah sakitnya," lirih Rosa.
Tak perlu diminta dua kali, Cakrawala langsung mengirimkan nama juga alamat rumah sakit beserta ruangan tempat Embun di rawat. Setelahnya dengan secara sepihak Rosa memutuskan sambungan telponnya.
Hembusan napas gusar Cakrawala keluarkan dari bibir tipis kemerahannya. Gurat lelah juga sedih tampak di wajah tampannya itu.
Karena kondisi Embun yang kritis, dia sampai melupakan Indra yang tengah dirawat juga. Meski dilema menentukan mana yang harus dia kunjungi terlebih dulu, tetapi akhirnya pria itu melangkahkan kakinya menuju ruangan Indra.
Tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu, Cakrawala membuka pintu ruangan dimana Indra di rawat. Manik matanya menangkap sosok calon mertuanya tersebut, tengah terbaring dengan pandangan mata fokus keatas langit-langit kamar inap tersebut.
Cakrawala menangkap ada gurat kesedihan di sorot mata Indra. Pria yang selalu bersikap arogan tersebut, kini terbaring lemah tak berdaya.
Namun sepertinya Indra tengah berada dalam lamunan yang panjang. Sampai-sampai pria itu tak menyadari kehadiran Cakrawala disana.
"Tuan," panggilnya lirih.
Ada ketegangan di tubuh Indra setelah mendengar suara yang tak asing bagi dirinya. Pria itu memang tidak mengetahui jika Cakrawala lah yang mengurus dirinya selama terbaring di rumah sakit. Indra yang sempat tak sadarkan diri tidak mengetahui jika Cakrawala yang terus menjaga dirinya.
"Kenapa kamu kesini? Siapa yang mengizinkan kamu datang kesini, hah?" tanya Indra dengan sorot mata memendam benci.
"Maaf, Tuan. Saya hanya—" ucapan Cakrawala terpotong oleh seruan Indra.
"Keluar, kamu! Jangan pernah memperlihatkan batang hidung kamu lagi. Saya muak melihat wajah kamu yang sok memelas itu," ucap Indra dengan sorot mata tajam seolah ingin memangsa Cakrawala hidup-hidup.
Indra seakan jijik melihat tampang Cakrawala yang menurutnya sok kegantengan sampai berani meniduri putrinya.
"Tapi, Tuan. Saya hanya ingin memberikan kabar tentang Embun," jawab Cakrawala memberanikan diri.
Mendengar nama sang putri disebut seketika wajah Indra tolehkan. Raut wajah terkejut sangat terlihat kentara sekali. Namun sepersekian ekpresi pria paruh baya tersebut berubah menjadi dingin kembali.
"Tak perlu kamu jelaskan, saya bisa mencari tahu sendiri keadaan putri saya. Perlu kamu ingat, sampai kapan pun saya tidak akan pernah percaya dengan omongan yang keluar dari bibir busukmu itu. Sekarang keluar," usir Indra gusar.
Hati Cakrawala mencelos mendapat pengusiran dari Indra. Betapa tidak, setahun belakangan ini dia tak pernah melihat sikap Indra yang tidak bersahabat.
Sikap Indra selalu baik terhadap dirinya bahkan papanya Embun itu selalu memberinya uang lebih. Meski Cakrawala tahu dia tak membutuhkan uang tersebut, karena notabene dia pun memiliki segalanya.
Didepan Indra, dia selalu menunjukan sikap yang antusias seolah dirinya sangat membutuhkan uang tersebut.
"Baik, Tuan. Saya permisi," ucap Cakrawala seraya melangkahkan kaki bermaksud keluar ruangan. Namun belum sempat tangannya menyentuh handle pintu, kembali tubuh jangkung itu membalikan badan. "Maaf ada yang kelupaan. Hari ini Nyonya akan datang ke sini."
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, kembali dia melangkahkan kakinya.
"Tunggu!" seru Indra setelah mendengar sang istri akan datang. "Katakan yang sebenarnya. Apakah yang kamu ucapkan itu benar?" tanya Indra begitu penasaran.
Bahkan yang tadinya tubuh itu terus telentang, kini seolah punya kekuatan untuk bangkit dan duduk. Sementara salah satu Art yang merawat dirinya hanya melongo melihat tuannya yang mendadak bersemangat.
"Ya, Tuan. Saya sudah bicara tadi sama Nyonya," jawab jujur Cakrawala.
"Apa? Jadi selama ini kamu sering berkomunikasi dengan istri saya. Kenapa kamu tidak jujur dan mengatakannya pada saya, hah?" sergah Indra begitu emosi.
Sudut hatinya merasa ada yang tercubit mendengar fakta yang dikatakan Cakrawala. Tak dapat Indra pungkiri ternyata dia merasa cumburu pada pemuda yang berada dihadapannya itu.
Rosa lebih memilih memberitahukan keadaannya pada Cakrawala, ketimbang pada dirinya yang merupakan suami dari wanita itu.
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu kenapa Nyonya lebih percaya sama saya. Jika ingin jawaban yang pasti, coba tanyakan langsung pada Nyonyanya." Jawab Cakrawala sambil menundukan wajah.
"Berani sekali kamu berkata begitu, hah? Apa kamu sudah bosan hidup? Tak ada orang yang berani membantah omongan saya, tetapi kamu itu sangat lancang sekali. Keluar," usir Indra kembali.
Hembusan napas gusar Cakrawala tunjukan. Pria itu mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi dengan kata-kata juga pengusiran Indra.
"Saya yang salah, Tuan. Maaf, saya permisi dulu." Ucap Cakrawala berusaha tersenyum meskipun hatinya kesal.
"Hmm," hanya sebuah gumaman yang Indra berikan.
Pria paruh baya itu tak berminat melanjutkan obrolan dengan Cakrawala lagi, hatinya kini diliputi rasa kesal dan juga marah pada sang istri yang lebih percaya sama oranglain.
*
*
*
Setelah keluar dari ruangan dimana Indra dirawat, kembali langkah kaki Cakrawala mengayun menuju ruangan dimana Embun tengah dirawat juga.
Langkah kakinya gontai, mengiringi pikirannya yang tengah berkecamuk memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.
Semua perkataan Indra membuat Cakrawala terus kepikiran, hingga tak sadar kedua tangannya mengepal kuat. Andai disana ada Robby sang asisten, sudah dipastikan dia akan melampiaskannya pada asistennya itu.
Beruntung Robby tidak ada, alhasil Cakrawala hanya bisa menahan emosinya dalam d**a.
Derit pintu yang pria itu buka, membuat seseorang menolehkan wajah. Matanya terlihat basah dengan hidung memerah. Namun langsung kembali memalingkan wajah setelah bertemu tatap dengan dirinya.
"Embun, Sayang." Kata tersebut meluncur begitu saja dari bibir Cakrawala.
Embun langsung melengos mendengar kata sayang dari bibir pria yang sangat dibencinya itu. Sedangkan Cakrawala langsung mendekat tak peduli ada penolakan dari wanita yang dicintainya tersebut.
"Alhamdulilah, kamu sudah sadar, Sayang. Kamu membuat pikiranku tak tenang."
Dengan begitu percaya dirinya, Cakrawala memeluk tubuh wanita yang kini tengah terbaring lemah diranjang pasien itu.
Ingin menolak, tapi tak berdaya hanya pelototan yang bisa Embun berikan. Namun seolah tak mempedulikan itu, Cakrawala malah semakin menjadi hingga dia dengan beraninya mengecupi wajah Embun.
"Cakra, kau!" desis Embun begitu geram.
"Kenapa, hmm? Kamu tidak suka. Aku sangat bahagia, Sayang. Melihat kamu melewati masa kritis itu, hatiku jadi lega."
"Diam! Aku muak, Cakra." Bentak Embun dengan keras.
Namun tiba-tiba bibir perempuan itu meringis seakan menahan sakit. Tangannya refleks memegangi perut.
"Ada apa? Kenapa kamu seperti menahan sakit?" tanya Cakrawala dengan raut wajah khawatir.
Tangannya terulur ikut menyentuh perut Embun.
"Hentikan!" hardik Embun dengan lantang.
Rupanya rasa kesal yang dirasakan perempuan tersebut mengalahkan kesakitan yang tengah dialaminya.
"Sayang. Kamu kenapa, hmm? Aku cuma ingin mengecek apakah calon baby kita baik-baik saja didalam sana," ucap Cakrawala tak mengindahkan kekesalannya Embun.
Wajah putih Embun seketika memerah saking geramnya atas ucapan Cakrawala. Merasa tak terima dipanggil sayang juga ucapan tentang bayi yang tak pernah diharapkannya.
"Jangan pernah lo panggil gue sayang. Jijik gue dengernya," desis Embun.
"Tapi kenapa?" tanya Cakrawala dengan raut kecewa.
"Dengar baik-baik. Gue itu anak majikan lo, kita tidak pernah terikat hubungan apapun kecuali majikan dan bawahan. So, elo gak usah kepedean manggil gue dengan sebutan itu. Sono panggil sama orang yang sederajat sama elo, ngerti! Kalau lo masih keukeuh, gue aduin ke Papa biar dipecat saja lo jadi sopir, paham! gertak Embun saking kesalnya pada pria yang ada didepannya itu.
Cakrawala tersenyum miris mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir wanita yang dia cintai itu. Namun dia tak merasa sakit hati, wajar jika Embun membenci dirinya karena kesalahan yang dilakukannya tersebut, meski bukan maunya.
"Baik, maaf saya tidak akan mengulangnya kecuali jika itu lupa. Dan tolong jangan aduin saya ke Tuan karena saya sangat membutuhkan pekerjaan ini," melas Cakrawala.
Tak ingin membuat Embun emosi terus dan berakibat buruk pada kesehatan wanita itu juga calon bayinya, dia rela mengalah.
"Ok, fine. Sekarang lo diem gak usah ngomong. Dan satu lagi jauh-jauh dari gue," usir Embun.
"Tapi—"
Ucapan Cakrawala terjeda seiring suara deritan pintu yang dibuka dari luar.
"Sayang!"