04 : Cewek matre in Sweet-sweet talk

1487 Kata
Gegara Om Sinterklas ngajak gue lunch, gue berasa seakan memenangkan lotere satu miliar!  Gue sempat ngebayangin kami makan di resto Perancis yang mewah nan romantis.  Radar kematrean gue menyebabkan mata gue kabur.  Jadi gue kebingungan saat mobil Om berhenti di satu kompleks pertokoan pinggiran kota. "Loh, mana resto Perancisnya?"  Ups, gue keceplosan!  Ngarep banget gak sih? Si Om mengangkat satu alisnya heran.  "Apa saya tadi menjanjikan makan di restoran Perancis?" Gue menggeleng malu-malu.  "Enggak Om, saya salah dengar kali.." Si Om tersenyum geli.  "Kita makan disana yuk, ada wifi gratis!" Astagah, gue gak salah dengar?  Dia menunjuk satu restoran fast food yang terkenal banyak promo potongan harganya.  Layak banget jadi tempat kumpul anak muda yang isi dompetnya tipis tapi pengin manfaatin fasilitas wifi sepuas mungkin!  Mahasiswa kere banyak yang nongkrong disini, nebeng wifi tuk ngerjain tugas kuliah berjam-jam padahal belinya cuma kentang goreng dan coke doang. Apa kami nampak seperti itu? Gue menatap dua pack kentang goreng, coke buat gue, dan kopi milik si Om.  Dia sendiri asik ngerjain sesuatu di laptopnya, nebeng fasilitas wifi di resto fast food sini!  Hancur dah bayangan romantis di kepala gue. Apa Om ini orang sama yang ngebeliin gue Jimmy Chow tah?  Jangan-jangan dia ini kembarannya Om Sinterklas yang kere. "For your info, saya tak punya kembaran."  Tanpa mengalihkan tatapan dari laptopnya, si Om berkata datar. Lhuk... Bagaimana bisa Om bisa membaca pikiran gue? "Saya bukan cenayang." Mulut gue ternganga lebar.  Ajib... "Kok Om bisa tau apa yang ada dalam hati saya?" "Kelihatan dari ekspresi wajah kamu." "Oh, berarti Om ahli membaca ekspresi wajah orang, betulkan?" Si Om tersenyum kecil, lalu menjawab, "enggak juga.  Cuma wajah kamu terlalu ekspresif dan amat mudah dibaca." Astaga, mampuslah gue! Kalo semua pacar-pacar tajir gue kayak Om, mana bisa gue morotin mereka?!  Ketauan dulu sebelum modusin dong! "Heh Luna, daripada bengong.. kamu mau bantuin saya?" pinta Om. Gue spontan mengiyakan.  Dan tebak saudara-saudara, gue disuruh ngapain?  Gue sempat kegeeran ketika Om mengajak gue ke suatu apartemen. "Bagaimana menurut kamu apartemen ini?" tanya Om. "Hmm bagus Om.  Nyaman." Mewah.  Keren.  Buat gue Om?  Haishhhhh, jangan sampai Om membaca ekspresi gue ini. "Oke.  Saya tak salah membelinya." Si Om menatap gue penuh arti.  Masa iya dia berniat membelikan gue apartemen ini? "Luna bisa bantu saya bersihin apartemen ini sebelum dipakai penghuniya?  Saya membeli apartemen ini untuk hadiah ultah ponakan saya." Hadeh, mau juga dong Om dikadoin apartemen saat ultah.  Enak bener jadi ponakan Om.  Tapi seenak apapun, gue memilih jadi ratu di hati lo Om.. Korslet deh otak gue. Meski gak dibayar gue mau dirodi jadi babu dadakan di apartemen yang dibeli Om buat keponakannya.  Padahal membersihkan kamar kos saja, senin kemis gue lakukan alias sesempatnya doang.  Sekarang gue malah ngelapin dinding kaca apartemen ini dengan sepenuh jiwa, pakai jinjit-jinjit untuk menggapai bagian yang tinggi. "Nggak nyampai ya?" Udah tahu tanyak!  Tapi diluar gue tersenyum manis. "Susyah ya Om kalau punya tinggi badan terbatas gini." Helow.. padahal buat cewek, gue ini termasuk tinggi loh.  Tetap saja dibandingkan dengan Om yang tinggi atletis, gue terlihat imut. "Biar saya bantu," kata Om sambil merapat ke gue. Gue udah siap menyodorkan kanebo basah pada Om, gue pikir dia mau mengelap sendiri bagian dinding kaca yang menjulang.  Ternyata dia malah memegang pinggang gue dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Gosh, gue jadi bengong didepan kaca hingga Om berdeham. "Biar kamu imut, tapi saya hanya manusia dengan kekuatan terbatas.  Bisa mulai mengelap kaca?" "Eh iya Om, maaf."  Dengan pipi merona gue mulai mengelap kaca. "Sudah Om, boleh turunin saya sekarang mengingat kekuatan Om terbatas." Om terkekeh mendapat sindiran manis dari gue.  Ternyata dia gak langsung nurunin gue, Om membalikan tubuh gue menghadap kearahnya dan menyandarkannya ke dinding kaca, lalu  dengan perlahan dia menurunkan gue.  Dua puluh senti sebelum kaki gue menapak ke lantai, si Om menahan tubuh gue hingga sekarang wajah kami saling berhadapan sejajar lurus.  Jarak diantara wajah kami hanya sekitar tiga senti. Deg.. deg.. deg.. Jantung gue berdebar kencang.  Apa Om berniat mencium gue?  Perlahan gue memejamkan mata. "Pipi kamu kotor," celetuknya dengan suara parau. Lho?  Gue membuka mata saat merasa tangan Om mengelap pipi gue.  Jadi, gue bukan dicium?  Njirrrr..  Kuciwa penonton jadinya! "Kamu berharap saya cium?  Maaf mengecewakan."  Matanya bersorot geli, pasti dia mentertawakan gue,  tengsin jadinya. "Ahhh nggak gitu, Om.  Om yang kegeeran kali ini," ledek gue. "Masa?  Lalu mengapa tadi kamu memejamkan mata?"             "Kelilipan Om!" "Lalu, ada apa dengan kaki kamu sekarang?" Kaki gue emang ngapain?  Jiiaaahhhhh!!!  Mengapa kaki gue dengan tak tahu malunya melingkar manja di pinggang Om?! Omo... omo... omo... ==== >(*~*)   Kejadian tadi meski manis tapi cukup memalukan buat gue.  Saat dalam perjalanan pulang, gue jadi rada diem.  Banyakan nunduk sambil sesekali ngelirik Om yang tengah menyetir mobilnya.  Dari samping penampakan Om sangat keren.  Ganteng.  Prima.  Begitu jantan dan sangat menggoda. Pelukkk Adek, Ommm.. "Apa kamu puas dengan yang kamu lihat?" tanya Om tiba-tiba. "Biasa aja.  Apa serunya melihat mobil sliwar-sliwer, Om?" jawab gue datar.             "Mobil yang mana?"  Si Om bertanya geli.  Dia pura-pura memeriksa sekelilingnya. Yahhhh, kok udah nyampai kos gue.  Perasaan tadi masih di jalan raya deh.  Eits, berarti gue ketahuan bohong dong! "Oke Om, Luna ngaku! Luna ngelihatin Om dan Luna puasssssss.  Om puas?!" sembur gue sebal. Om tertawa geli, lalu dia mengacak rambut gue dengan gemas. "Kamu lucu dan manis."  Dia mencubit hidung bangir gue. Kayaknya penyakit jantung gue kambuh.  Jantung gue seakan berhenti mendadak.  Gue menatap Om intens, Om juga terdiam menatap gue.  Lama kami saling bertatapan hingga terdengar ketukan di jendela mobil. Sial, gangguin orang aja! Saat Om menurunkan kaca jendelanya, muncul seraut wajah montok Tante kos gue. "Ada apa Tan?" tanya gue heran. "Begini Luna, sebenarnya Tante tak enak ngomong begini didepan teman kamu.  Tapi Tante terpaksa, ini tentang tunggakan uang kos kammmmm..." Gue langsung membekap mulut Tante Kos. Astagah!!  Ini tragedi... Gue pernah meminta Tante Kos bersandiwara begini didepan pacar tajir gue yang ingin gue porotin.  Tapi bukan didepan si Om kaleeee! OMG!  Belum cukupkah gue dinistaiin hari ini? "Om, Luna masuk dulu ya!" Gue berniat kabur, tapi Om menahan gue.  Dia menyerahkan satu bingkisan mungil di tangan gue. "Apa ini?  Om mau nyogok Luna?!" tanya gue sok jual mahal. "Bukan.  Ini hanya ungkapan rasa terima kasih saya.  Kamu sudah menemani saya makan dan bersih-bersih di apartemen." Gue pura-pura menolaknya tapi Om memaksa menerimanya. Begitu masuk ke kamar kos, gue membuka kotak mungil itu dengan tak sabar.  Mata gue membulat melihat isinya.  Bros berlian burung phoenix yang gue taksir di toko perhiasan tadi!!  Kok bisa si Om tahu dan sempat membelinya?! Ini fantastis!! Lo tahu berapa harga bros ini?  Sepuluh jeti lebih, guys!  Kenapa tadi gue sempat meragukan ketajiran beliau ya?!  Benar kata Cyndi, Om Sinterklas mah ikan paus!  Dia betul-betul tajir melintir! Buru-buru gue vicall Om, eh dia terima!  Om masih ada didalam mobilnya, sepertinya dia berhenti di tepi jalan. "Om, ini benar buat Luna?" tanya gue sambil menunjuk bross berlian burung phoenik yang cantik itu. "Tentu.  Apa kamu kurang suka modelnya?  Mau ditukar?" "Enggak Om!!  Suka!!  Suka banget!" Si Om tersenyum manis.  Aduh, jadi pengin cium.  Bibirnya semanis senyumnya gak sih? "Om, makacihhhh... love you!" Ups!  Gue murahan gak sih ngomong kayak gini?!  Pipi gue terasa panas.  Untung Om gak ngebahas hal ini lebih lanjut, dia mengalihkan pembicaraan kami pada hal-hal  lain. "Kok belum mandi?  Apa tak merasa gerah tadi keringatan abis bersih-bersih?" cetus Om. "Entar Om, masih pewe." "Pewe?" "Posisi Wenak ngobrol sama Om, hehehe.." Om terkekeh geli.  "Mungkin lebih pewe kalau ngobrol langsung." Ini undangan? “Maksudnya, Om mau kita ketemuan lagi next time?" tanya gue malu-malu. "Sure.  Kamu tak keberatan khan?" "Enggak!  Enggak!  Maksud gu.. eh Luna mauuuuuu!" teriak gue happy. Om terkekeh lagi.  "Bagus!  Kita bertemu besok untuk mengurus kepindahanmu." "What?!  Pindah?!  Mengapa?" Om menghela napas panjang. "Luna, Om tak punya maksud apa-apa.  Maaf, tadi Om ikut mendengar pembicaraanmu dengan ibu kosmu.  Bagaimana kalau untuk sementara kamu pindah ke apartemen yang tadi kita bersihkan?" Astagah, astagah... gue gak mimpi kan?! "Tapi kata Om tadi, itu apartemen untuk kado ultah ponakan Om kan?" "Om sudah bicarakan dengan keponakan Om, dia masih memperpanjang masa kerjanya di luar negeri selama dua tahun mendatang.  Jadi daripada apartemennya tak terpakai dia setuju kalau ada yang menempati dan merawatnya." Gue terdiam.  Sebenarnya nunggak uang kos itu cuma akal-akalan gue sama Tante kos, kenapa jadinya mengarah kesini?  Tapi gue sukaaaaa!  Tinggal di apartemen itu membuka kesempatan untuk sering-sering bertemu dengan Om. Hubungan kami makin mulus, oi.. "Lunaa?" "Iya Om?" "Kamu setuju?" "Setuju Om!" Apa gak terlalu cepat gue memutuskannya?  Mestinya gue jual mahal dikit kali! "Bagus!  Besok Om akan meminta orang untuk membantu kamu pindahan." "Tak usah ngrepotin Om." "Tak masalah.  Sudah malam.  Mandilah, terus tidur." "Iya Om,"sahut gue patuh. "Sweet dream baby.." Etdah, itu bener Om yang ngomong gitu?!  Belum sempat gue menjawab, Om sudah mematikan sambungan vicall kami. Gue berteriak senang sambil melonjak-lonjak di atas kasur. Yeeeeeee!  Yeeeeee!  Yeeeee! Hari ini luar biasa banget! Cinta, oh cinta.... datanglah ke pelukan gue!   ==== >(*~*) Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN