6 : Apa iya gue simpanan si Om?

1483 Kata
Gue udah ciuman sama Om.  Meski cuma di kening.  Apa gegara itu yang menyebabkan gue lebih kebayang-bayang saat cipokan sama si supir kampreto?!  Ah, dia emang b*****t! "Ah, dia emang b*****t!" "Siapa yang b*****t?" tanya Rae kepo. Hah?  Apa gue tadi menyuarakan apa yang ada di pikiran gue?! "Ehm, itu anjing tetangga gue.  Dia suka mensabotase bra yang gue jemur!" jawab gue asal. "Masa di apartemen boleh miara anjing?  Apalagi apartemen yang lo tempati kan yang mahal punya!" ucap Rae heran. Ah Cyndi emang banyak bacot!  Pasti dia yang menyebarkan kalau gue pindah ke apartemen milik si Om! "Lo udah tahu gue pindah ke apartemen?" Rae mengangguk.  “Lo b******k, Lun!  Apa lo enggak menganggap gue sahabat?!  Hal beginian lo sembunyiin dari gue." "Bukan gue sembunyiin. Gue belum sempat cerita. Rae lo paham donk posisi gue. Ini sesuatu yang baru buat gue. Ehm..selama ini gue gak pernah tinggal di apartemen milik orang." "Apalagi apartemen om-om lagi!" tandas Rae. Gue menyedot cola gue dengan gugup.  "Iya begitulah." "Jadi lo sekarang sudah naik pangkat jadi simpenan si Om?" Ceprot!  Cola yang gue minum langsung nyeprot ke wajah Rae. "Ya ampun Rae, I am sorry!" Buru-buru gue mengelap wajah Rae dengan tisu.  Untung Rae gak gampang panas hati, dia cuma tersenyum kecut. "Gue maafin asal lo cerita.  Semuanya!" Gue menghembuskan napas panjang. "Apa yang bisa gue ceritakan?  Gegara ibu kos yang salah sasaran menerapkan jurus tunggakan uang kos didepan Om, gue diminta menempati apartemen Om yang sementara belum terpakai.  Dia gak ikutan tinggal disana kok.  Dia cuma kasihan pada gue Rae, mungkin dimatanya gue ini hanya fakir miskin yang perlu diamalin." "Fakir miskin yang cantik dan seksi abis!  Ya pasti dia moduslah!  Namanya saja laki.  Lo udah diapain sama dia?" pancing Rae. "Boro-boro!  Gue aja ngarep cipokan dengannya, tapi dia cuma mau... cium kening gue!" "Mungkin Om itu tipe yang slowly but sure," komentar Rae. Iyakah?  Gue gak terbiasa berhadapan dengan om-om, mereka sulit ditebak dan banyak kamuflasenya. "Apa lo siap Luna?  Sekali lo nyemplung jadi simpanannya, lo mesti siap lahir batin melayani si Om.  Cepat atau lambat!" Gue terhenyak mendengarnya.  Maksudnya gue harus melayani kebutuhan seks si Om?  Siapkah gue melepas keperawanan gue untuknya? "Tapi... apa iya gue itu simpanan si Om?" tanya gue bingung. "Lo tinggal di propertinya kan?" Gue mengangguk. "Biaya hidup lo ditanggung olehnya?" "Hmm.. segala keperluan listrik, air, belanja untuk apartemen, dia yang bayar sih.  Kata Om sudah otomatis masuk tagihan rekeningnya.  Tapi keperluan gue pribadi enggak." "Cepat lambat segala t***k bengek keperluan lo akan ditanggung dia semua.  Saat itu lo gak akan bisa berkelit.  Luna, lo terpaksa menyerahkan tubuh lo padanya karena lo sudah jadi simpanan si Om!" Benarkah? Gue simpanan si Om?  Njirrr...   ==== >(*~*)   Ini malam tahun baru, dan Om ingin merayakan berdua dengan gue di apartemen. "Apa nanti tak ada yang mencari Om?" pancing gue. Jujur gue belum banyak mengerti Om.  Apa dia menikah?  Berapa anaknya?  Apa kerjaannya?  Gue buta akan semua itu. "Tak ada yang membutuhkan saya sementara ini," dia menjawab sambil menyeringai kalem. "Jadi Om pikir Luna butuh Om?" "Tak tahu.  Tapi saya yang butuh kamu." Gue tertegun.  Mengapa dia mudah sekali membuat gue meleleh dengan ucapan ambigunya? "Kemarilah," dia menepuk sisi sofa kosong di sebelahnya. Gue duduk disana dan ia menyodorkan satu amplop putih ke tangan gue. "Apa ini Om?  Uang?  Luna gak mau disuap pakai duit." Heleh, sok gak butuh.  Padahal gue cewek matre.  Tapi terhadap Om, gue punya perasaan khusus.  Bukan masalah duit saja. "Bukan duit, bukalah." Gue membuka amplop itu dan terpana.  Isinya kartu kredit dan kartu ATM. "Itu hadiah untukmu. Luna bukan aku ingin merendahkanmu, tapi biarlah aku berbuat sesuatu untukmu.  Pakailah itu untuk keperluanmu."  Entah sejak kapan dia merubah panggilan untuknya dari saya ke aku. "Segala keperluanku, Om?  Termasuk biaya kuliah?  Termasuk belanja pribadiku?" tanya gue memastikan. "Ya.  Dan jangan khawatir, kartu kredit itu unlimited." Rae, benar ucapan lo.  Sekarang dia membiayai hidup gue total, apa ini berarti gue simpanannya?  Apa gue harus melayaninya?  Haruskah gue menyerahkan tubuh gue?  Gue galau dan bingung, hingga tak sadar Om telah menarik gue ke pangkuannya.  Dia mengelus pipi dan bibir gue. "Luna, kamu tak tersinggung kan?" Gue menggeleng.  Gue emang murahan, gue cewek matre.  Gue layak dibeginiin kan? "Enggak, Om.  Aku hanya rada kaget.  Tak mengira secepat ini.  Selama ini Om seperti jalan ditempat bersamaku." Om menatap gue intens, lalu dia menghembuskan napas panjang. "Kamu mengiraku lambat?  Astaga!  Andai saja kamu tahu betapa kuat aku harus menahan diriku supaya tak mengagetkanmu Luna.  Sekarang kita tak perlu menahan diri lagi kan?" Gue mengangguk perlahan.  Gue simpanan lo, Om.  Serah lo mau ngapain. Om tersenyum sumringah, perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah gue.  Gue memejamkan mata gue.  Sesaat kemudian gue merasakan bibir kenyal nan kokoh itu memagut bibir gue kuat.  Dia dominan.  Gue agak gemetar saat menyadari itu.  Ini pertama kali gue berhubungan dengan pria yang telah matang dan dapatnya yang powerfull begini.  Gue jiper. Gue berusaha menikmati ciuman panas Om, perlahan gue bisa menerimanya.  Gue mulai membalas ciuman Om.  Semakin lama ciuman kami semakin b*******h.  Tangan Om mulai menggrepe-grepe tubuh gue.  Gak tahu sejak kapan baju gue sudah terlempar kesana-sini.  Kini gue tinggal memakai bra dan cd doang.  Si Om menatap gue dengan sorot mata berbinar-binar. "Lunaku indah sekali," gumamnya sensual. Pipi gue merona dibuatnya.  Dia tak menyembunyikannya, matanya begitu memuja saat menikmati keindahan tubuh gue. "Milikku,"ucapnya saat meremas d**a gue. Cup.  Dia mencium bibir gue dan tersenyum mesra. "Luna, malam ini aku menginap disini.  Bolehkah aku memilikimu?" Gue mesti jawab apa?  Setelah yang dia berikan semua ke gue, apa gue bisa bilang 'tidak'?!  Gue mengangguk pasrah.  Lalu ia menggendong gue masuk ke kamar.  Om merebahkan gue di ranjang.  Gue menatap kagum saat ia melepas bajunya.  Wow bodi Om atletis sekali!  Gak kalah deh sama yang muda.  Roti sobeknya membuat gue ternganga melihatnya. "Puas dengan yang kau lihat?" tanyanya dengan senyum menggoda. "Iya Om.  Puas."  Tololnya gue mengakui begitu saja.  Dasar cewek murahan! "Siap menikmatinya?" godanya lagi sambil mengelus selangkangannya. Gue menelan saliva kaku.  Mendadak tenggorokan gue terasa kering.  Betapa perkasanya batang si Om, pasti sakit kalau masuk ke miss V gue. Om menindih tubuh gue, lantas mencium bibir gue.  Tapi kali ini ciumannya tak bisa membangkitkan gairah gue.  Njirr, gue takut melihat miliknya.  Pasti bikin sakit!  Gue belum siap.  Sepertinya Om mengerti kegundahan gue, dia menghentikan ciumannya. "Luna, apa kamu belum siap?" tanyanya khawatir. "Om, Om marah tidak kalau kujawab aku belum siap?" gue balik bertanya dengan perasaan was-was. Dia tersenyum sendu. "Luna, jujur aku kecewa.  Tapi aku tak suka melakukannya bila kau merasa terpaksa," dia menatap gue intens seakan ingin menyelami hati gue, "aku akan menunggu sampai kau siap, Luna." Cup. Dia mengecup bibir gue lembut lalu menyelimuti tubuh gue yang setengah telanjang.  Om berdiri dan mulai memakai pakaiannya. "Om mau kemana?  Gak jadi nginep disini?" tanya gue kecewa. "Kurasa sebaiknya aku pulang, Luna." "Om marah, pasti!  Iya kan?" Tes .. tes ... Mengapa gue jadi kolokan, pakai nangis gegara akan ditinggal pergi?  Cih.  Om menghela napas lalu melepas bajunya lagi hingga tinggal mengenakan boxer doang.  Ia merebahkan dirinya disamping gue.  Dia menarik gue kedalam pelukannya.  Jarinya menghapus airmata gue. "Luna, aku disini.  Jadi berhentilah menangis," katanya lembut. Gue mengangguk sambil tersenyum lega.  Dia mengecup kening gue. "Tidurlah, Sayang." "Iya ..." Gue memejamkan mata sambil memeluknya.  Tangan gue bergerak alami mengelus d**a si Om.  Awalnya Om membiarkannya, tapi beberapa saat kemudian dia menahan tangan gue dan mengecupnya. "Berhentilah, tangan nakal.  Cukuplah menyiksaku.  Kau bisa membuatku khilaf," ucapnya dengan suara serak. Wajah gue memanas ditegur seperti itu.  "Om, maaf.  Aku tak menyangka cuma begitu aja bisa bikin Om on," bisikku malu. "Luna, kau pikir mengapa tadi aku berniat pergi?  Bukan karena marah padamu, tapi berdekatan denganmu itu merupakan godaan besar bagiku.  Aku takut khilaf Luna dan memaksamu melayaniku.  Kini kau mengerti?" Gue mengangguk.  Om memang pria baik.  Sepertinya gue yang gak tau diri dan egois padanya. "Om, maafin aku." "Maaf terus saja Luna.  Kalau maaf itu bisa dijual, kau akan rugi karena memberikan padaku cuma-cuma," canda si Om.  Elah, bisa juga si Om bercanda. "Jangan semudah itu mengucap kata maaf, Luna.  Kau bukan w************n.  Paling tidak bagiku, kau adalah wanitaku yang sangat berharga.  Ini serius!" Melelehlah airmata gue mendengar ungkapan hati Om.  Gue yakin dia tulus dan belum pernah ada yang setulus ini pada gue.  Gue tersentuh.  Bisa jadi gue telah jatuh cinta padanya.  Gue peluk tubuh Om dan gue kecup bibirnya lembut. "Om, thanks buat semua yang Om beri untukku.  Om itu orang baik, Santa clausku!" "Aku bukan Santa, Luna.  Aku lelaki biasa.  Jadi tidurlah segera sebelum kutiduri dirimu betulan," timpalnya kocak. "Siapa takut?" goda gue. Plak.  Dia menceples p****t gue dengan gemas. "Sleep, Bad girl!" "Aye .. aye!" Gue pun menyelusupkan wajah gue kedalam pelukan Om yang hangat. "Goodnight Om." "Goodnight, Sweetie.  Have a nice dream about me, alright?" Tentu, Om. Hari-hari gue yang indah mulai kini akan diwarnai oleh kehadiran si Om.   ==== >(*~*)  Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN