Cara mengikat wanita seutuhnya dalam sebuah hubungan pasti adalah... dengan menghalalkan.
***
Dengan sekali tegukan kini Meri telah menghabiskan segelas jusnya, juga makanannya yang telah tandas menyisakan piring juga tulang ayam. Dalam hati dia bersyukur bisa makan enak hari ini.
"Saya sudah selesai makan kak, kalau begitu bolehkah saya pulang?"
Alvin yang mendengar perkataan lugu Meri hanya bisa tersenyum pelan, gadis ini sungguh berbeda dengan gadis lain pada umumnya. Sudah jelas maksud ajakan makan siang Alvin adalah untuk membahas masalah pernikahan mereka, tapi justru Meri bertingkah seolah Alvin datang kesini hanya untuk mentraktirnya makan siang.
"Jangan terlalu terburu-buru, kalau kamu mau nambah makan juga boleh. Saya gak keberatan."
"Saya sudah kenyang kak," dengan senyum canggung Meri menoleh ke kanan dan kiri berusaha menghindari tatapan mata Alvin yang membuatnya grogi. Bahkan dia yakin saat ini wajahnya pasti sudah memerah karena malu.
Sebenarnya ini cukup memalukan baginya, dia yang sudah berumur 21 tahun, status jomblo dari lahir, sekalinya kenalan sama cowok langsung diajak nikah. Sungguh ajaib pikirnya. Jika diibaratkan, sekali cetak langsung goal.
"Jadi, kamu sudah mempertimbangkan matang-matang perkataan saya tadi?"
"Hm.. masih saya pikirkan kak," gadis itu menunduk, tak berani menatap mata Alvin yang seakan mengintimidasinya secara langsung.
"Saya paham pasti ini terlalu cepat untuk kamu, tapi jujur saja saya gak setuju sama yang namanya menjalin hubungan pacaran kayak remaja pada umumnya. Saya kalau sudah yakin dengan satu orang wanita, saya akan langsung memintanya pada orang tuanya. Toh pacaran bisa dilakukan setelah menikah, dalam agama juga tidak diperbolehkan yang namanya pacaran."
Mendengar perkataan Alvin yang setelah dipikir-pikir memang ada benarnya, membuat Meri mengangguk-angukkan kepalanya tanpa sadar. Kini dia bimbang, antara 'iya' atau 'tidak'. Tapi sekali lagi dia masih ingin kuliah, dan juga dia sudah cukup bosan dengan status jomblonya yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya meskipun hanya sebatas candaan.
"Iya kak.."
"Iya apa?"
"Iya itu, bener omongan kakak."
"Jadi kamu mau?"
"Bukankah saya gak ada pilihan lain?" Meri pada akhirnya memberanikan diri menatap tepat pada kedua mata Alvin yang kini tak henti-hentinya mengulas senyum penuh kemenangan. Dalam hati dia bersorak senang karena rencananya berjalan dengan mulus.
"Secepatnya saya akan buat kamu jatuh cinta sama saya."
"Eh.."
Malu, Meri segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ini oleh seorang lelaki, perkataan Alvin yang terdengar menyakinkan menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi Meri. Juga niatan pria itu yang langsung terlaksana dalam sebuah bentuk tindakan langsung yang bisa dipertanggung jawabkan, membuat Meri merasa cukup yakin dengan keputusannya.
'Semoga aja aku gak salah pilih.'
"Kamu mau pulang?" Meri hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, jujur saja dia masih canggung. Ralat belum terbiasa dengan perhatian dan juga tatapan intens dari lawan jenis, meskipun dia calon suaminya sekalipun.
"Hp kamu mana?"
"Buat apa?"
"Gapapa, sini dulu hp-nya. Pinjem bentar." dengan ragu Meri mengulurkan ponselnya pada Alvin yang diambil Alvin dengan pelan.
Tak lama kemudian pria itu mengembalikan ponsel Meri setelah terlihat mengutak-atiknya selama beberapa saat. "Ini saya balikin, nanti saya hubungi lagi."
Setelah mengambil ponselnya yang ternyata telah terisi nomor ponsel Alvin di dalamnya, Meri segera berdiri dan hendak berpamitan pada Alvin.
"Kalau begitu saya permisi pulang dulu."
Belum sempat Meri melangkah hendak berbalik arah, tangannya telah tertahan oleh jari jemari milik Alvin yang kini tengah menggenggam sebelah lengan kirinya.
"Mau saya antar?"
"Saya bawa motor." spontan Meri menggelengkan kepalanya tanpa berani menatap Alvin dalam posisi memunggungi pria itu. Tanpa berpamitan lagi, dengan langkah yang agak dipercepat Meri segera pervi ke tempat motornya terparkir setelah Alvin melepaskan lengannya.
Gadis itu dapat melihat sosok Alvin yang saat ini tengah membayar makanan mereka di meja kasir. Dengan cepat ia memakai helmnya dan bergegas kembali ke rumahnya.
'Jantung, bisa diem gak sih. Heboh mulu dari tadi.' degupan jantung gadis itu masih saja memacu dengan cepat saat ia tengah mengendarai motornya di tengah panasnya jalan raya yang lumayan padat.
Sesekali Meri memegang dadanya yang iramanya tampak tak stabil, bahkan ia bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri.
Setibanya di rumah Meri segera menaruh sepeda motornya di garasi dan beranjak masuk ke kamarnya, lalu membenamkan wajahnya yang memerah ke bantal. Sesekali ia menggelengkan kepalanya saat bayangan ketika Alvin mengelus kepalanya kembali bergentayangan dalam pikirannya.
Ternyata efek jomblo menahun sangat luar biasa buruknya, baru disentuh sedikit oleh lawan jenis rasanya udah ketar-ketir gak karuan. Tak lama kemudian suara pintu kamarnya yang terbuka membuat Meri segera menegakkan kepalanya ke arah pintu kamarnya dan mendapati Mamanya ada di sana.
"Mama?"
"Ciee habis ketemu calon laki."
"Ihh apaan sih Ma.." gadis itu kembali dibuat cemberut saat Makany dengan tampang senyum-senyum mencurigakan datang menghampiri Meri yang tampak merengut sebal.
"Gimana tadi ketemuannya, lancar?" pelan, Meri mengangguk yang dibalas senyum lebar Mamanya. "Berarti kamu gak keberatan dong nikah sama nak Alvin?"
"Kan aku gak ada pilihan lain Ma.." dengan tampang lesu Meri menatap kedua mata Mamanya dengan tatapan mata berkaca-kaca. Sementara Mamanya yang ditatap seperti itu oleh anaknya hanya bisa memeluk Meri erat.
"Mama yakin dia pria yang tepat buat kamu, meskipun pada awalnya kamu belum suka sama dia. Tapi Mama yakin, dia bisa bahagiain kamu nantinya."
"Kok Mama bisa seyakin itu sih?"
"Feeling seorang Ibu gak pernah salah, percaya sama Mama." Meri hanya bisa mengangguk dalam pelukan Mamanya, meski jujur dalam hatinya dia masih ada sedikit rasa ragu akan pernikahan ini.
"Ma, apa bener pernikahannya bulan depan? Aku belum siap kalau bulan depan Maaa.." dengan nada merengek Meri menarik-narik baju Mamanya seperti anak kecil.
"Terus kamu maunya kapan? Minggu depan?"
"Maa aku serius."
"Mama juga serius, lagian lama-lama pacaran itu gak baik. Kalau bisa disegerakan kenapa musti nunggu tahun depan."
"Ternyata Mama sama aja kayak dia." Meri semakin dibuat sebal karena perkataan Mamanya yang cenderung memiliki pemikiran sama dengan Alvin. Gadis itu kini kembali menelungkupkan wajahnya pada bantal, enggan menatap mamanya yang hanya bisa tersenyum geli melihat aksi ngambek putrinya.
"Ngambek aja terus, udah mau nikah juga. Daripada ngambek nggak jelas gitu, mending kamu masak sana. Mama nggak mau yaa nanti pas kamu udah nikah malah malu-maluin Mama gara-gara masakanmu nggak enak."
"Mamaaaa!"
Meri kembali dibuat kesal saat Mamanya kembali menyindirnya. Memang mempunyai Mama seperti itu membuat Meri harus ekstra sabar dalam menghadapinya. Padahal Meri juga baru sekali salah menaruh bumbu sampai masakannya keasinan seminggu yang lalu, malah sampai sekarang Mamanya masih saja mengingatnya dan terus-terusan mengatai masakan Meri nggak enak. Padahal selain itu masakannya juga terbilang enak menurutnya.
Meski dengan setengah menggerutu, gadis itu perlahan bangun dari posisi telungkupnya dan berjalan ke arah dapur. Memasak masakan untuk makan malam mereka nanti.
___
Keesokan harinya, gadis itu masih terlelap nyaman dalam tidurnya. Piyama warna hijau muda tampak membalut tubuhnya, setengah badannya terlihat memeluk guling dengan warna senada dengan piyama yang dikenakannya.
"Kak bangun.."
"Hmm apasih, aku masih ngantuk.."
"Dasar kebo. Mau nikah juga!"
"Berisik Riko, lagian sekarang tuh hari Sabtu kakak lagi libur kuliah."
"Ya tapi calon kakak mau dateng tuh, masa kakak masih ngiler gini sih."
"Hah calon?"
"Emang kakak gak tau ya, kalau hari ini keluarga besar kak Alvin mau datang kesini buat ngelamar kakak?"
Spontan Meri mendudukan badannya dengan tegap menatap tak percaya pada perkataan adik tengilnya, Riko. "Bercandanya gak lucu deh.."
"Yaudah kalau gak percaya." Dengan cuek Riko berlalu dari kamar Meri, sementara Meri hanya bisa melongo berusaha mencerna perkataan adiknya barusan.
To be Continued...