Meri masih saja menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, hanya untuk memastikan bahwa sosok yang dicarinya benar-benar orang yang saat ini tengah melambaikan tangan ke arahnya atau bukan. Meri tentu saja tidak ingin mengambil risiko kalau-kalau dia sampai salah orang nantinya. Namun setelah memastikan bahwa tidak ada lagi orang dengan ciri-ciri seperti yang telah disebutkan Mamanya, maka memang benar orang yang masih saja melambaikan tangan padanya saat ini adalah orang yang akan ditemuinya. Calon suaminya.
'Duh udah calon suami aja, kenalan aja belum.'
"Kamu Meri kan?" Alvin langsung saja berdiri dan menarikkan kursi untuk Meri duduk.
"Iya saya Meri Om."
Sesaat Alvin tampak membuka mulutnya ketika mendengar panggilan Meri padanya, tapi tidak lama ia kembali menutup mulutnya karena Alvin tentu saja harus jaga image di depan calon istrinya.
"Panggil saja Alvin, biar akrab. Atau kalau mau panggil aja Mas." dengan senyum manisnya Alvin kembali bersikap dewasa dan langsung tanpa basa-basi menentukan nama panggilan yang pas baginya.
Tentu saja dia tidak mungkin secara terang-terangan menolak panggilan Om yang sempat diucapkan gadis itu padanya, nanti yang ada dia akan ditolak sebagai kandidat calon suami idaman jika sampai melakukannya.
"Kamu mau pesen apa?" lagi-lagi Alvin berinisiatif untuk memulai percakapan ketika Meri hanya diam dan tampak sibuk dengan ponselnya.
Sejujurnya Meri sedari tadi memang sengaja memainkan ponselnya karena dia merasa bingung dan canggung jika baru bertemu dengan orang asing. Toh di dalam ponselnya dia tidak melakukan apa pun, karena memang tidak ada notifikasi apa pun baik dari sosial media mau pun operator sekali pun di dalamnya.
'Nasib jomblo.' batin Meri menangis.
"Saya mau pesen pokoknya yang enak disini Pak." sahut Meri sepenuhnya, karena dia malas memilih, sudah bisa makan gratis saja ia sudah bersyukur.
"Iya pesen apa?"
"Apa aja Pak, saya pemakan segala."
"Oke, tapi kenapa sekarang kamu malah manggil saya Pak ya? Saya masih muda loh, cakep lagi." Alvin menyahutinya dengan nada humor berniat mencairkan suasana canggung di antara mereka.
Meri yang menyadari bahwa ia spontan memanggil Pak, hanya bisa tertawa hambar. Dia bingung harus memanggil apa, jujur saja dia juga masih bingung mau menolak perjodohan sepihak ini atau pasrah saja menerimanya.
"Ya maaf Om," kembali lagi Meri memanggil Alvin dengan sebutan Om.
"Om lagi, astaga." Alvin hanya bisa mengacak-acak rambutnya pelan yang justru di mata Meri malah lebih mirip seperti bintang iklan shampo yang sering muncul di televisi. Karena memang rambutnya Alvin bersih dan sehat tanpa ketombe.
"Emang kamu mau nikah sama Om-om?"
"Ya nggak mau lah Om." spontan Meri menjawab pertanyaan Alvin sebelum dia kembali memalingkan wajahnya karena malu ditatap dengan sedemikian intens oleh Alvin.
"Makanya panggil saya Mas, jangan panggil Om. Nanti kamu dikira kencan sama Om-om lagi."
Meri hanya bisa mengangguk samar, untung saja tak lama kemudian pelayan datang membawakan pesanan mereka. Meri yang masih saja merasa canggung kini lebih memilih meminum jusnya karena memang merasa haus.
"Makan dulu Mas.." dengan ragu Meri memanggil Alvin dengan sebutan Mas meski lidahnya terasa keseleo sewaktu mengatakannya.
"Nah gitu dong manggilnya Mas, kan jadi pengen cepet halalin."
Meri yang mendengar perkataan Alvin hanya bisa mengernyitkan dahinya disertai dengan tatapan meragukan pada Alvin yang ada di depannya.
'Ya Allah ternyata ini orang narsis juga.' batin Meri miris membayangkan senarsis apa Alvin ke depannya nanti.
Meri kini tak lagi memedulikan perkataan Alvin dan lebih memilih untuk fokus pada makanannya. Kapan lagi coba bisa makan gratis sepuasnya kayak gini. Maklum saja anak kuliahan jarang makan enak, apa lagi kalo udah akhir bulan. Bisa makan nasi sama telor ceplok aja udah sukur.
Meri saat ini tengah makan dengan lahapnya, tak dipedulikannya sosok Alvin yang masih saja memandanginya dengan tatapan intens. Senyum manis tak pernah luntur dari bibir Alvin, karena pada akhirnya dia hanya perlu satu langkah lagi untuk melepaskan gelar jomblonya dan ikut menyusul teman-temannya untuk menikah. Apa lagi menikah dengan daun muda, gadis yang disukainya.
'Yang muda-muda emang nyegerin buat dipandang.' batin Alvin mulai menggila.
"Mer, bulan depan kita nikah yah."
UHUKK
Seketika Meri yang pada awalnya tengah sibuk memakan makanannya dibuat terkaget-kaget saat mendengar perkataan Alvin yang menurutnya terlalu gila dan spontan. Bulan depan? Tolong lah dia masih mau menyelesaikan skripsinya dulu paling tidak. Awalnya Mari bahkan berpikir kalu mereka mungkin akan bertunangan terlebih dahulu, baru setelah dia lulus mereka bisa menikah.
Dengan segera Alvin yang tanggap langsung menyodorkan minuman jus milik gadis itu yang langsung diminum Meri dengan rakus karena efek tersedak tadi.
"Bulan depan terlalu cepat Kak," tanpa sadar Meri kembali merubah panggilannya, namun Alvin tidak mempermasalahkan hal itu.
"Lebih cepat bukannya lebih baik, saya bisa menjamin kuliah kamu setelahnya. Kamu gak perlu repot lagi mikirin harus kerja apa, kamu cukup fokus sama kuliah kamu dan rumah tangga kita aja nantinya."
Dengan tenang Alvin menjelaskan rencananya yang sudah dia susun secara matang jauh-jauh hari sebelumnya. Dia yakin gadis ini tidak akan bisa menolaknya, apa lagi berdasarkan info yang didapatkan dari ibunya Meri sendiri bahwa saat ini Meri masih single dari lahir.
"Tapi kak, kenapa harus saya?" Meri berusaha bernegosiasi, siapa tau kalau Alvin ini berniat menikahinya karena ada udang di balik batu.
"Karena saya maunya kamu."
"Banyak yang lebih cantik dan seksi dari saya loh Kak." tak menyerah, Meri kembali mencari-cari kelemahannya.
"Kalo saya maunya tetep kamu. Kamu bisa apa?"
"Saya bisa aja nolak loh Kak."
"Emang kamu mau nolak saya? Kamu yakin mau berhenti kuliah?" dengan tampang penuh kemenangan, kini Alvin kembali menampilkan senyum manisnya yang sayangnya di mata Meri justru terlihat sangat menyebalkan untuk dipandang saat ini.
'Nyesel gue abis muji senyumnya manis, ternyata nyebelin nauzubillah.' batin Meri berdecak kesal melihat tampang arogan milik Alvin yang menyebalkan.
"Anda sengaja kan mau menjebak saya agar menyetujui perjodohan ini?"
"Mana ada saya menjebak, saya hanya menawarkan solusi terbaik di antara kita berdua. Anggap saja simbiosis mutualisme." masih dengan senyum menyebalkannya Alvin menjelaskan pada Meri yang tampak kesal, tapi anehnya gadis itu meskipun kesal masih saja sibuk memakan makanannya membuat Alvin gemas sendiri.
"Simbiosis apaan," tanpa sadar lagi-lagi Meri menggunakan bahasa pergaulan sehari-harinya dan tidak lagi berbicara formal pada Alvin setelah mengetahui betapa tengilnya lelaki itu.
"Saya membutuhkan seorang istri sedangkan kamu membutuhkan seorang suami yang bisa menafkahi kamu lahir dan batin, bukankah ini impas?" Alvin terkekeh pelan saat mendapati wajah memberengut Meri yang masih saja sibuk mengunyah.
"Anda gak ada maksud terselubung sama saya kan? Jangan-jangan anda mau menikahi saya karena warisan, karena.."
"Kalau ngomong telan dulu makanannya, belepotan gitu udah mau nikah juga." dengan iseng Alvin mengacak-acak rambut Meri yang seketika membuat wajah gadis itu merah padam.
Tak lama kemudian Meri segera menepis tangan Alvin agak kasar dan memalingkan wajahnya karena malu. Dia melihat ke sekeliling dan kembali bernapas lega saat tak ada seseorang yang melihat ke arah mereka.
'Gawat, ini bahaya siaga satu. Gue yang sebelumnya gak pernah pacaran sekalinya diacak-acak rambutnya, malah jantung gue yang mau copot rasanya.'
Meri tak menghiraukan perkataan Alvin dan kembali melanjutkan makannya dengan pelan, sambil sesekali mencuri pandang pada Alvin yang masih saja menatapnya intens.
"Bisa gak sih Kak, jangan ngeliatin saya mulu." Meri bukan risih sebenarnya, cuman dia tidak terbiasa jika ditatap dengan sebegitu intensnya oleh lawan jenisnya.
"Saya suka aja liatin kamu, lagian kamu calon istri saya. Kamu juga kayaknya kebanyakan nonton sinetron tv sampe mikir saya ada niat terselubung." lagi, dengan ketenangan luar biasa Alvin mampu membuat Meri merasa bahwa dia bukan lawan yang pas untuk mendebat sosok di depannya.
Meri juga lupa menanyakan pada Mamanya mengenai pekerjaan apa hang dimiliki oleh Alvin, sehingga dia rupanya sudah sangat terbiasa membalas perkataan seseorang dengan telak.
"Kamu tenang saja, saya sudah mengurus semuanya. Pokoknya bulan depan kita nikah."
'Bolehkah aku minum sianida sekarang?' Meri hanya bisa bungkam karena dia tau akan sia-sia mendebat sosok di depannya.
Sementara Alvin yang melihatnya hanya bisa tersenyum geli melihat ekspresi cemberut gadis di depannya.
'Gadis yaa...' memikirkannya membuat Alvin semakin tidak sabar lagi menunggu hari itu tiba.
To be Continued...