Perempuan yang kuingat sebagai ibu ini menangis dalam pelukanku. Aku ingin melepaskannya, tapi perasaan hangat ini tak bisa kupungkiri. Kubiarkan saja ini terjadi untuk beberapa saat.
"Darma, terima kasih kau masih hidup nak, ibu menyangka akan kehilanganmu untuk yang kedua kalinya" Suara perempuan itu terdengar begitu mengharukan, layaknya baru bertemu dengan anak yang hilang setelah sekian lama.
Aku hanya tersenyum, aku tak mengerti mengapa aku merasa bahagia.
"Sudahlah ibu, biarkan Kanda Darma beristirahat lagi, mari kita buatkan makanan untuknya," tutur Indrajaya.
"Kanda tidak pernah makan selama Kanda tidak sadarkan diri, pasti lapar, ayo!" Ajak pemuda itu lagi.
"Darma, Indrajaya, Bunda Ratu," aku hanya menggumam. Sialan, kenapa jadi begini, sebenarnya apa yang terjadi.
Tiba-tiba sebuah suara menggema di telingaku.
***
Flashback
Rasa sakit yang kurasakan saat bersentuhan dengan Darma telah hilang. Aku pun terjatuh, namun aku masih merasakan sakit yang teramat sangat di jantungku.
Aku mencoba berdiri. Tiba-tiba mpu Kasinoman menghampiriku, "Ksatria Darma! Kau baik-baik saja? Kemana bocah itu pergi?"
Aku menatap ke arahnya, "bocah siapa? Dimana Darma?" Tanyaku kembali.
Sang mpu kaget melihat ke arahku, dia ternganga sambil mengitariku dan melihatku dari ujung kaki sampai kepala.
"Kau bukan Darma?" Tanya sang mpu padaku.
"Tentu saja bukan, aku akui kita memang mirip, tapi tidakkah kau bisa membedakannya?"
Sang mpu tidak memperhatikanku. Dia malah manggut-manggut seakan telah memahami sesuatu.
"Sepertinya alam memilihmu untuk menuntaskan sumpah milik Darma," sahut mpu.
"Maksud Mpu?" Tanyaku tak paham.
"Kau tidak menyadari? Kau kini adalah Darma! Adharma yang hidup dari tempat asalmu sudah tidak ada! Adharma kau berubah menjadi Darma!" Serunya padaku dengan serius.
Aku tak percaya dengan perkataannya. Aku melihat ke sekujur tubuhku. Bagaimana mungkin, rambutku kini panjang sebahu, aku menggunakan pakaian ala film kolosal. Dan otot perut ini tampak lebih besar dari milikku.
"Lalu dimana Darma, dan tubuhku? Seharusnya jika aku masuk pada tubuh milik Darma, maka Darma berada di tubuhku?" Tanyaku heran. Kisah ini benar-benar seperti drama saja. Aku mengusap mukaku dengan kasar.
Mpu Kasinoman menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa menjawab pertanyaanku.
"Mungkin kini saatnya kau kembali pada tubuh Darma. Karena sebenarnya, tubuh Darma masih utuh di dunianya, keris itu menahan tuannya agar tidak mati, namun Sang Hyang Widhi telah menghendaki Darma harus berpulang, maka dari itu mungkin saja Sang Hyang Widhi sengaja mengirim arwahmu untuk mengisi tubuh Darma," tutur mpu.
"Lalu bagaimana dengan aku di duniaku?" Tanyaku khawatir. Karena aku yakin jika aku tak sadarkan diri sangat lama pasti tetua akan khawatir.
"Melihat arwahmu dikirim kemari bisa jadi kau sudah mati, dan jasadmu sudah dikubur," jelas mpu kasinoman yang membuatku merasa jengkel padanya.
"Lalu, apa maksudmu dengan menuntaskan sumpah milik Darma?" Tanyaku lagi.
"Darma punya sumpah untuk melindungi Kerajaan Panca Tirta dan juga Sang Raja. Namun kini kerajaan itu dikuasai Murkademang, sehingga merupakan tugas Darma untuk merebut kembali," jelas sang mpu.
"Tapi sebelum Darma merebutnya, dia malah mati?"
"Betul, nak!"
"Baiklah! Aku tidak masalah dengan pertempuran!" Sahutku percaya diri.
Mpu Kasinoman nampak tersenyum melihatku bersemangat. Padahal sebenarnya, bukan karena aku terlalu ingin membantu Darma, tapi karena aku sedang ingin bertarung saja. Terkurung di tempat tidak jelas seperti ini, ah membuatku gila saja.
Flashback end***
Ingatan-ingatan milik Darma bermunculan satu per satu. Dan yang paling mengganggu adalah, suara pak tua Kasinoman yang terus berdengung di telingaku.
"Waktu itu, kami sempat panik melihat Kanda tertusuk Pusaka Kasinoman. Murkademang memang sempat tertawa puas, tapi ia baru menyadari jika tangan yang bekas ia gunakan untuk memegang pusaka telah terbakar," jelas Indrajaya padaku saat kami menunggu masakan ibu."Kanda, selama Kanda tak sadarkan diri, apa yang terjadi pada Kanda? Mengapa keris pusaka menjadi hilang dan luka milik Kanda juga tidak berbekas?" Tanya Indrajaya.
"Aku tidak tau, memangnya sebelum aku tak sadarkan diri apa yang terjadi padaku?"
"Keris Kasinoman, menusuk tepat di jantung Kanda. Murkademang pelakunya." Indrajaya menjelaskan padaku.
Tiba-tiba saja ingatan peristiwa itu muncul di kepalaku, mungkin tubuh ini berusaha memberitahuku.
Dalam bayanganku melihat Indrajaya yang sedang ditawan oleh laki-laki bertubuh besar, bulu-bulu di wajahnya begitu mengerikan. Lalu aku juga melihat dia berusaha menikam Indrajaya dan aku menghadangnya. Dan aku tertusuk keris ketika berusaha melindungi ratu. Mulia sekali diriku.
Mungkin apa yang Darma lakukan, sama seperti saat aku melindungi bos Javid.
"Lalu? Apa yang terjadi selama Darma tak sadarkan diri? Eh ... ma - maksudku, selama aku tak sadarkan diri." Hampir saja aku keceplosan. Aku takut mereka tidak menerimaku jika mereka tahu aku bukan Darma.
"Kami meloloskan diri sambil membawa jasad Kanda dan ayahanda, kami menghindari Murkademang yang sedang meraung-raung kesakitan ... " tampak Indrajaya mengenang masa yang membuatnya sedih. "Kami pergi dari kerajaan kami sendiri, aku dan ibu membawa pedati kerajaan dan berlari sejauh mungkin, kami tidak membawa perbekalan apa-apa, kami bertahan dengan makanan yang kami temukan di jalan, nasib tidak ada perompak yang mengganggu kami," jelas Indrajaya. Laki-laki ini begitu sensitif, dia menceritakan sambil terlihat menahan buliran air mata. Pantas saja Mpu Kasinoman enggan bertuan seperti dirinya.
"Setelah berhari-hari kami pun menemukan tempat ini, kita membuat rumah, mencari makan dengan menjual rumput dan ranting di pasar. Tapi sekarang aku juga menggunakan pedati itu untuk mengantarkan orang yang hendak bepergian," lanjut Indrajaya.
"Dimana kau kuburkan raja?" Tanyaku.
"Di perjalanan, kami tidak bisa membawanya kemari. Karena jasadnya sudah hampir membusuk. Berbanding terbalik denganmu, kau masih begitu segar, malah aku mendengar denyut jantungmu kembali. Dari situ aku dan ibu memutuskan tidak menguburmu," jawabnya.
"Silakan makan dulu, nanti ceritanya!" Ibu datang membawa beberapa makanan. Ada singkong rebus, dan daun-daunan yang direbus pula. "Makanlah! Maaf, ibu hanya bisa memberimu ini Darma." Entah mengapa aku ingin menangis melihat ketulusan yang ada pada ibu.
"Apa orang-orang disini mengetahui jika kalian adalah ratu dan pangeran?" Tanyaku yang dijawab dengan kepala oleh Indrajaya.
"Lebih baik tidak ada yang mengetahui kami, disini aku disebut nama asliku, Wanoja, orang dari Panca Tirta tidak ada yang tahu nama asliku, mereka semua hanya mengenalku dengan sebutan Ratu Banyu Emas," jawab ibu.
"Lalu bagai-" pertanyaanku yang belum selesai langsung dijawab oleh Indrajaya.
"Aku? Aku disebut Surenjaya. Dan kau ku perkenalkan pada masyarakat sebagai kakakku yang sedang sakit, namamu Surenpati." Indrajaya menepuk pundakku.
"Tempat ini cukup jauh dari Bukit Salem, nama bukit ini adalah Bukit Sewu, wilayah kerajaan Banyu Sewu," ibu menjelaskan dengan tersenyum padaku.
***
'Suara berisik iring-iringan'
"Usir dia! Usir dia!"
"Jangan ... jangan!"
"Usir! Usir!"
"Usir saja dia kasepuhan!"
"Kumohon jangan!"
Kami bertiga sontak berhenti dari aktivitas makan bersama dan berlari ke sumber suara.
"Apa yang terjadi kasepuhan?" Tanya Indrajaya pada orang tua yang berada paling depan dalam iring-iringan itu.
"Anak Mbok Ruk, dia terkena penyakit kutukan! Kami takut itu menular dan membawa kesialan. Surenjaya, ayo bantu kami menggiring mereka!" Orang tua itu memerintah pada Indrajaya.
Aku mencoba mendekati kerumunan itu, dan ingin melihat yang sebenarnya terjadi. Pikiranku merasa aneh, penyakit kutukan itu penyakit yang seperti apa? Kenapa Darma harus hidup di zaman yang sangat terbelakang seperti ini?
"Surenjaya, mana orang yang terkena penyakit kutukan itu?" Aku mencoba menyesuaikan panggilan untuk Indrajaya.
"Kanda Surenpati, lebih baik Kanda istirahat dan tidak usah ikut," usulnya.
Aku memiliki pengetahuan tentang obat-obatan modern dan herbal tradisional. Karena di geng mafia seperti kami, kami tidak mungkin berobat ke dokter setiap ada yang terluka, itu hanya memperpanjang kasus kami.
Maka dari itu beberapa dari anggota kami ada yang dididik untuk menjadi dokter, herbalis dan juru rawat. Termasuk yang mempelajari teknik pengobatan untuk orang yang terluka, teknik akupuntur, dan teknik pengobatan herbal tradisional.
"Bolehkah aku memeriksanya, Surenjaya kumohon!" Aku meyakinkan adik dari ksatria Darma ini.
"Baiklah, bagaimana kasepuhan?" Indrajaya meminta izin pada kasepuhan yang dibalas dengan anggukan.
Tanpa pikir panjang, aku menyibakkan kain yang menutupi wajah dari seorang anak laki-laki. Aku mengamatinya, badannya panas dan dipenuhi lepuhan yang berisi cairan. Beberapa lepuhan itu sudah mengeluarkan isinya dan berganti bentuk menjadi koreng.
"Apa ini sangat gatal?" Tanyaku.
Dia menunduk dan menganggukkan kepalanya.
Aku tersenyum, aku tau ini penyakit apa.
"Jauhkan dia dari masyarakat. Surenjaya, bolehkah aku merawat anak ini? Aku sepertinya bisa menyembuhkannya," ucapku meyakinkan semuanya.
"Tapi bagaimana jika anda sekeluarga terkena kutukan juga?" Tanya kasepuhan.
"Kanda Surenpati adalah orang yang dapat bertanggung jawab pada ucapannya, saya memercayainya," ujar Indrajaya. Terlihat bahwa anak ini sangat mengagumi Darma sejak dulu.
Kami pun memutuskan merawat anak ini dan mencoba menyembuhkannya.
***
Bersambung ...