Bagian 5

1175 Kata
"Terima kasih, kisanak! Terima kasih!" Perempuan tua itu membungkukkan badannya begitu dalam hingga menyentuh kakiku. Suara seraknya terus mengucapkan syukur tiada tara. Meski sebenarnya aku melihat keraguan di matanya, namun ia merasa bersyukur akan kesanggupanku. Entah mengapa, aku merasa begitu senang menolong mereka. Seperti bukan diriku saja. Apakah perasaan ini milik dari Darma yang sebenarnya? "Dia adalah kanda Surenpati, Mbok. Kakak saya. Mari, Kita bawa anak Mbok!" Indrajaya mengacungkan jempolnya menunjuk ke arahku. Sopan sekali anak ini. Aku jadi penasaran, seperti apa perlakuan Darma padanya sebelum ia meninggal. Aku berjalan menuju ke dalam rumah bersama Indrajaya dan anak itu. Semua orang mengarahkan matanya pada kami bertiga. Ada yang merasa lega, ada yang merasa jijik, bahkan ada yang mendecak sebal. *** Ini adalah hari keempat aku merawat Bajra, anak mbok Ruk. Kini bintik-bintik lepuhan di tubuhnya telah banyak yang pecah dan mengering menjadi koreng. Sebenarnya jika perlu kuceritakan, ini adalah penyakit cacar yang disebabkan oleh virus Varicella zooster. Penyakit rakyat yang banyak diderita oleh anak kecil, dan penyakit ini mudah menular. Penyakit ini membutuhkan vaksin untuk pencegahannya. Namun sebenarnya penyakit ini tidak berbahaya. Aku meramu beberapa tanaman dan bahan-bahan alam yang bisa menjadi obat. Aku selalu menyuruhnya mandi di sungai yang jernih sebelum matahari terbit. Lalu mandi lagi di sungai tersebut sebelum matahari terbenam. Dia pun rajin mengoleskan ramuan buatanku pada setiap lepuhannya. Anak ini terlihat begitu ulet dan tidak banyak mengeluh. "Kanda hendak pergi kemana?" Indrajaya bertanya begitu melihatku bersiap dengan membawa keranjang di pinggangku. "Tanaman yang kubutuhkan untuk membuat ramuan tinggal sedikit. Aku akan mengumpulkannya lagi, karena aku berfirasat jika akan ada orang lain lagi yang menderita penyakit seperti Bajra," jawabku sambil menunjukkan persediaan tanaman obatku. Indrajaya mengangukkan kepalanya, kemudian ia berjalan ke arah pintu. "Kalau begitu aku akan temani Kanda, aku juga harus mencari rumput untuk si Pedet dan Surai Biru," jawabnya. Kami pun berjalan beriringan. Indrajaya membawa keranjang besar di punggungnya dan membawa sebilah clurit. "Kanda, darimana Kanda memiliki ilmu meracik obat? Apa Kanda sempat belajar dari seorang tabib?" Tanya Indrajaya yang sedang mengamatiku memetik beberapa tanaman liar. "Aku hanya kebetulan tau, Indrajaya," jawabku singkat. Mana mungkin aku menceritakan jika sebenarnya aku adalah mafia. Dia tidak mungkin paham. Indrajaya nampak menyunggingkan lekuk di bibirnya. Sorot matanya terlihat begitu bahagia menatapku, aku tak mengerti apa yang menjadi pikirannya. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanyaku karena merasa kesal oleh tatapannya. "Kanda, kau ini seperti bukan Ksatria Darma yang kukenal. Aku bahagia karena kau sudah menjadi tidak canggung padaku seperti dahulu," tukasnya seraya pergi berjalan mendahuluiku. "Aku akan menyabit rumput di sebelah sana," ucapnya kemudian dan kita pun berpisah arah. Aku sudah tidak menjadi canggung padanya? Memang dahulu kita seperti apa? Lagi-lagi aku melihat sebuah kenangan yang tak pernah kualami. Namun seolah aku yang menjadi tokoh utamanya. "Sendiko dawuh, Pangeran." Aku berlutut di hadapan Indrajaya setelah mendengar perintahnya. Lalu kenangan itu beralih saat dalam perjalanan berkuda, aku menggiring sebuah kereta. "Maaf, Pangeran! Perjalanan masih jauh, hamba mohon agar Pangeran memperkenankan kita semua meneruskan perjalanan." Di sini aku menundukkan pandanganku dalam meminta izin pada Indrajaya. Kemudian aku juga melihat saat aku dan Indrajaya berjalan di sebuah tempat mirip dengan istana kerajaan. Aku berjalan tepat di belakan Indrajaya, tampak aku sangat mengatur langkahku agar tidak mendahuluinya. "Ksatria Darma, berjalanlah di sampingku!" Perintahnya yang kemudian kuturuti dengan berjalan di sampingnya namun aku tetap menundukkan kepala dalam-dalam. Aku terlihat begitu segan pada Indrajaya. "Berhenti merasa canggung padaku, dan jangan panggil aku Pangeran. Kita memiliki usia yang sama dan aku sudah menganggapmu sebagai saudara," Indrajaya berkata begitu serius sambil menatapku. "Hamba tidak boleh selancang itu, Pangeran adalah Pangeran. Kita berbeda!" Aku berkata dengan tegas, namun aku tetap menundukkan kepalaku. Pantas saja Indrajaya terlihat begitu gembira. Ternyata si Darma ini begitu kaku pada adiknya sendiri. Hubungan keluarga yang begitu aneh. Sejenak aku berpikir tentang keanehan perilaku Darma pada Indrajaya, tiba-tiba sebuah kenangan terlintas lagi di kepalaku. Aku melihat ibu memangku seseorang yang seperti sedang sekarat. Mulut orang itu mengeluarkan darah dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka. "Aku ... ti-tidak punya waktu la-lagi. Darma, a-aku harus ju-jur, se-benarnya kau adalah anakku. Kau saudara ke-kembar Indrajaya. In-Indrajaya adalah adikmu." Kemudian aku melihat orang tersebut sudah tidak bernapas lagi. "Raja ...!" Aku berteriak begitu menyadari kepergiannya. Sepertinya hubungan keluarga ini cukup rumit. Aku pikir mereka ini hanya keluarga kerajaan biasa. Ternyata keberadaan Darma sebagai anak raja belum pernah diungkap sebelumnya. Aku terus berjalan menyusuri hutan ini. Kemudian mataku tertuju pada sekelompok serangga yang berkeliaran di sekitar pohon. Aku ikuti kemana serangga itu pergi. Jika aku beruntung, maka aku akan menemukan sarangnya. "Tabib Surenpati, Tabib Surenpati! Mohon maafkan kelancangan hamba, tapi bisakah tabib menyembuhkan penyakit orang tua hamba?" Seorang pemuda berlari dan tiba-tiba bersujud di hadapanku. Lalu apa pula itu? Tabib? Jangan membuatku tertawa. Setelah menjelaskan kondisi orang tuanya, aku pun menyelesaikan pencarianku dan segera kembali. *** "Sejak kapan kakinya membusuk?" Tanyaku ketika memeriksa keadaan orang tua itu. "Sudah sejak lama, namun waktu itu hanya sedikit. Kami sudah melakukan ritual pengusiran roh, namun tidak ada seorang dukun pun yang mampu menyembuhkannya. Kemudian tanpa sengaja saya mendengar ada tabib disini yang bisa menyembuhkan penyakit kutukan, saya pun mencoba mencari Tuan Tabib," jelas sang pemuda. Berdasarkan diagnosaku ini adalah penyakit diabetes melitus yang sudah cukup parah. Namun lagi-lagi mereka menyebutkan ini adalah penyakit kutukan. Penyakit ini merupakan penyakit berat, "bagaimana mungkin aku bisa menyembuhkan?" Tanyaku pada diri sendiri. "Jadi bagaimana Tabib? Kau bisa menyembuhkan ayahku? Dua kantong emas ini hartaku yang tersisa, kau bisa mengambilnya," ujarnya memecah lamunanku. "Aku akan berusaha!" Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tak bisa memberi harapan lebih padanya. Untung aku membawa beberapa lembar daun tanaman Ortoshipon, buah okra, dan beberapa lembar kulit Cinnamons. Bahkan yang tidak kusangka, aku bisa menemukan fenugreek dengan mudah disini. Firasatku saat mengambil tanaman-tanaman itu hanya sebagai persediaan. Tak kusangka akan berguna secepat ini. *** Begitu banyak pasien berdatangan padaku. Bajra kini sudah sembuh total, orang tua pemuda itu pun sudah kembali ke daerahnya. Melakukan pengobatan tradisional ternyata lebih efektif. Apalagi masyarakat disini begitu menurut pada setiap perintah dan laranganku, hal ini membuat kesembuhan mereka terjadi lebih cepat. "Tabib Surenpati, ambil gandum ini sebagai imbalan dari kami," seorang ibu-ibu menyerahkan sebuah karung padaku. Aku melihat baju lusuhnya dia adalah orang tua dari anak yang terkena penyakit malaria. Mereka menyebut penyakit anak mereka adalah penyakit kiriman. Namun kini anak itu sudah sembuh berkat ramuanku. "Ambil kembali sisanya, bayaran untukku cukup ini saja." Aku mengambil segenggam gandum dari karung mereka. Mereka terlihat senang dan kemudian kembali ke rumahnya. "Terima kasih, Tabib! Terima kasih!" Seru mereka sambil berlalu. Aku menyimpan gandum itu dalam karung gandum milik ibu. Lumayan, dengan menjadi seorang tabib aku bisa meringankan pekerjaan ibu dan Indrajaya. Aku belum pernah merasakan bahagia seperti ini sebelumnya. Aku bersyukur menjadi dirimu, Darma! "Hehehehehe, kukira kau akan memberontak selamanya," suara berisik kakek tua itu terus saja mengganggu di kepalaku. Aku tidak bisa melihat wujudnya, namun aku selalu mendengar suaranya seperti mengikutiku. Membuatku pusing saja! "Tabib Surenpati, Tabib Surenpati! Jangan terlena menjadi tabib, karena kau harus menghadapi Murkademang kelak!" Suara berisik kakek tua itu terdengar mengejek. Benar-benar menyebalkan. *** Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN