Bab 13

1313 Kata
Cinta adalah sebuah rasa yang sangat menyenangkan. Indahnya seseorang bisa jatuh cinta dan dicintai, bahkan rasa yang dicurahkan terbalas dengan mudah. Kebahagian itu tentu membuat hidup orang tersebut sangat lengkap. Namun, jika cinta yang tidak terbelas dan hanya disimpan pasti menimbulkan rasa sakit mendalam. Penderitaan itu sama saja dengan membunuh diri sendiri dengan perlahan. Maka, jangan segan untuk jujur dengan perasaan yang ada di dalam hati. Setidaknya, beban yang sudah menumpuk bisa terangkat. Lagi pula, tidak ada gunanya menyimpan sebuah rasa terlalu lama karena bisa berubah menjadi racun sewaktu-waktu. Jonathan berhenti tepat dibawah bianglala lalu meminta petugas menghentikannya. Pria itu mulai mendongak ke atas untuk mencari Varizen. Ia menatap dengan tajam sambil mengerutkan dahi. Penglihatannya terpusat pada rok abu-abu, persis dengan siluit dari gadis itu. “Putar kembali sampai gadis yang memakai seragam sekolah berada dibawah,” perintah Jonathan lalu mengambil uang untuk diberikan kepada petugas itu. Tanpa suara, ia hanya mengangguk, melakukan tugasnya. Varizen yang semula sedikit tenang, mendadak mulai khawatir karena bianglala bergerak dan Jonathan masih setia berada dibawah benda itu. Setelah posisi gadis tersebut sudah berada dibawah, pria itu langsung membuka pintu lalu menariknya dengan kasar. “Kak!” teriak Varizen sambil meringis kesakitan. Wajar saja, cengkeraman Jonathan sangat kuat. Pasti membekas dipergelangan tangannya. Kaki Jonathan berhenti, kemudian menoleh lalu menarik gadis itu tepat berada disampingnya. Varizen yang diperlakukan dengan cara kasar seperti itu hanya berdiam diri, tidak menunduk. Matanya mengarah pada tangan yang masih dipegang erat oleh Jonathan. “Apakah kau tahu, dimana letak kesalahanmu?” tanya Jonathan dengan murka. Varizen mengangkat kepala, menatap pria yang berstatus sebagai kakaknya. Ada sedikit rasa khawatir yang tergambar dibola mata pria itu. “Kau mencemaskanku,” celetuk Varizen dengan lirih, tapi didengar oleh pria itu. Wajah Jonathan sedikit tergelak kaget karena gadis itu sudah berani menunjukkan ekpsresi diluar dugaan. Senyum semirik kemudian timbul membuat dahi varizen mengerut tanda heran, “Jangan percaya diri, karena anak haram sepertimu tidak pantas masuk taman untuk keluarga,” ejek Jonathan. Bukannya menunduk, Varizen terus menatap lekat mata Jonathan seakan menantang dia. Terus terang, gadis itu mencari kebenaran dibola mata kakaknya. Orang bilang, mata adalah pusat kebenaran, maka pandanglah mata untuk mencari jawaban. “Bohong!” teriak Varizen. Gadis itu sekarang sudah mulai berani, “Matamu menjawab semuanya, Kak.” Keterkejutan Jonathan terulang kembali lantaran ucapan Varizen barusan. Ia tidak menyangka kalau gadis itu mulai bisa membaca situasi. Apakah ini bentuk pemberontakan? Kaki pria itu kemudian melangkah maju, menepis jarak diantara mereka. Jonathan mencengkeram kedua bahu varizen dengan erat, “Bagiku… kau hanya sampah keluarga yang harus dienyahkan! Tidak aka nada kebahagiaan di hidupmu, Varizen,” bisik pria itu membuat gadis tersebut meneteskan air mata. Anak haram, sampah, predikat untuk Varizen dari Jonathan. Ia pun hanya tersenyum mendapat hinaan sekian kalinya. “Jika kau tidak menyayangiku, pasti akan ada orang lain menyayangiku,” jawab gadis itu tanpa ragu. Tangan Jonathan semakin mencengkram kuat dibahu Varizen, sehingga membuat gadis itu meringis kesakitan. Rasa sakit hati dan tubuh jadi satu sampai menusuk ke jantung. Ternyata, kebencian kakaknya semakin lebar dan luas seperti lautan. “Jika aku boleh memilih… aku ingin dilahirkan dengan orang tua yang lengkap,” gumam Varizen lirih, tapi didengar oleh Jonathan, “Kalau aku mati, pasti kalian semua senang,” imbuhnya tanpa sadar membuat cengkraman pria itu mengendur. Varizen adalah gadis biasa pada umumnya yang pernah mengalami keterpurukan. Saat dimana hatinya tidak kuat menanggung beban, maka jalan pintas yang akan diambil, mengakhiri penderitaan dengan satu cara. Namun, cara itu ditolak keras oleh logika Varizen. Jika ia mati begitu saja, maka kekalahan menjadi predikat untuknya. “Omong kosong!” Jonathan tidak menyangka bibir Varizen akan mengeluarkan kata tabu seperti itu. “Kau tidak akan mati sebelum membayar semuanya,” kata pria itu dengan penuh penekanan. Gadis itu harus membayar segala derita mencintai dengan cinta yang tulus dan selalu berada disisinya. Biarlah bersikap serakah, yang terpenting Varizen berada dijangkauannya. Kalau bisa, terus berada dalam kehidupan yang dijalani. Pria itu kemudian beralih posisi menjadi memeluk gadis itu. Jika hal tersebut sampai terjadi, maka seumur hidup ia tak akan memaafkan dirinya. Varizen sedikit terkejut mendapat perlakuan mendadak dari Jonathan. Sudah lama sekali, ia tidak merasakan hangatnya pelukan dari kakak dan juga ibunya. Akhirnya, hari ini terwujud meski harus mendapatkan cacian dari pria itu. Tiba-tiba, ada orang yang menarik tangan Varizen sehingga pelukan itu terlepas kasar, dan tubuh gadis itu menabrak d**a bidang nya. “k*****t! Jaga batasanmu, Jonathan!” teriaknya murka. Suara itu sangat familiar dan terdengar menakutkan. Varizen tidak mampu mengeluarkan kata dan hanya menunduk. Kemarahan dari orang yang memeluknya saat ini seperti diluar kendali. Dan yang pastinya, karena kesalahan gadis tersebut. Jonathan tersenyum lembut, “Tidak ada batasan untuk seorang kakak, Ayah.” Cih, aku sejujurnya tidak sudi memanggilmu ayah, dasar bandot tua! Sambungnya dalam hati. “Aku lihat dengan mataku, kau memeluknya dengan penuh cinta!” teriak Berto menggebu-gebu. Semua rencana yang berantakan ini karena ulah Felisia. Untung saja, ia bisa mengusir wanita itu dengan cepat. Varizen yang mulai mendengar perdebatan itu langsung duduk jongkok dengan lemas. Jujur, ia tidak ingin terlibat dengan pertengkaran kedua pria itu karena sangat menakutkan. Terakhir kali mereka berdua bertengkar ketika gadis tersebut pergi study tour. Melihat Varizen yang jongkok tiba-tiba, Berto ikut jongkok dan membisikkan sesuatu, “Ikut satu mobil denganku. Jika tidak, Jonathan akan menerima hukumannya.” Tubuh gadis itu langsung bergetar karena takut dengan ancaman pria itu. Ia pun mengangguk dengan cepat tanpa pikir panjang. Berto tersenyum penuh kemenangan, merangkul Varizen untuk memapahnya berdiri, “Nikmati harimu, Jo. Pulanglah pagi,” ejek pria itu meninggalkan Jonathan sendirian ditengah keramaian. Pria tersebut menatap sengit, penuh amarah karena perkataan dari ayahnya. Jonathan hanya mampu mengepalkan tangan dengan wajah merah padam. Untuk saat ini, hal yang terpenting adalah mengalah. Akan tetapi, tidak untuk hari berikutnya. Ia berjanji akan membawa Varizen pergi dari rumah bagaikan neraka itu. Berto senang karena bisa membuat Jonathan murka. Pria itu sekarang merasa diatas awan. Senyum mengembang, menghiasi wajah tampan yang tak pudar meski termakan usia. “Jangan sekalipun dekat dengan pria lain, termasuk Jonathan,” kata Berto dengan lembut. Varizen diam seribu bahasa, “Kau dengar ‘kan…?” imbuhnya sambil meremas pundak kiri gadis tersebut. “Sa-sakit,” ringis Varizen menggigit bibirnya menahan sakit. Berto berhenti kemudian menatap wajah gadis itu, “Aku butuh jawaban. Meskipun kau meringis tak akan kulepaskan.” “I-iya,” jawab Varizen cepat agar Berto melepas cengkramannya, “Bagus… kita masuk mobil sekarang.” Dari jauh, Jonny sudah membuka pintu mobil. Mereka berdua berjalan dengan cepat lalu masuk ke dalam benda besi itu. “Besok kita akan makan malam lagi. Aku pastikan tidak ada yang mengganggu momen kita.” Perkataan Berto sukses membuat Varizen meremas roknya dengan kuat. Tidak hanya itu, ia juga menggigit bibirnya cemas. Aku ingin menolak, pikirnya sambil berteriak keras. Andai saja ia bisa mengeluarkan pendapatnya, maka sekarang suaranya pasti sudah didengar oleh pria itu. “Kau tidak keberatan ‘kan?” tanya Berto, “Jonny… jalan,” titahnya kepada Jonny. dahi Varizen berkerut, enggan menjawab pertanyaan Berto. “Baik, Tuan,” jawab Jonny lalu melajukan mobilnya. Pria itu melirik ke kaca depan sambil menggeleng perlahan. ‘Jika Anda ingin menolaknya, lakukanlah… karena Anda berhak, Nona,’ batin Jonathan dengan iba. “Bagaimana? Besok malam kita makan diluar,” kata Berto dengan tersenyum. Varizen menoleh, “Bisakah aku menolaknya, Ayah,” jawab gadis itu dengan takut. Mendengar jawaban dari Varizen, wajah Berto berubah menjadi gelap, “Jonny, jangan biarkan karyawan yang aku pecat tadi kembali bekerja,” katanya dingin. “Tidak!” teriak Varizen sambil memegang tangan Berto seraya memohon, “Mereka butuh uang. Aku mohon… jangan pecat mereka.” “Semua tergantung kinerjamu, Varizen. Aku menantikan besok malam.” Berto menatap Varizen yang masih memegang tangannya. Darah pria itu seketika berdesir, sentuhan dari gadis tersebut seperti sebuah sengatan listrik yang lemah dan membuatnya kecanduan. Mereka pun saling bertatap satu sama lain, tanpa ada penengah yang menjadi pengganggu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN