Felisia melihat Varizen yang tengah menatap langit dengan pandangan kosong. Ia menghampirinya. "Apa yang sedang kau pikirkan, Variz," tanya Felisia sambil berjalan ke arah Varizen.
Varizen menoleh dan tersenyum menatap Felisia. Ia rindu dengan suara wanita yang tengah melahirkannya. Jarang sekali Felisia berada di rumah. Kesibukkan nya membuat lupa akan kehadiran Varizen. Namun, Varizen tidak marah mengenai hal itu.
Rasa sayang dan cinta terhadap ibunya mampu mengalahkan segalanya. Varizen menatap sendu Felisia. Kali ini, ia akan mengeluh dan minta sang ibu untuk meninggalkan neraka itu.
Felisia terkejut melihat bekas memar dan juga luka yang ada di kepala Varizen. "Apakah dia memukulmu lagi?" tanya Felisia.
Varizen hanya mengangguk dan berjalan menuju ranjang dengan langkah tertatih. Ia harus berani berpendapat mengenai hidupnya.
Varizen menunduk dan memegang jari tangannya. "Bu, aku lelah kalau harus seperti ini. Sampai kapan aku harus bertahan?"
Felisia menatap sendu Varizen. Tangannya terulur dan bertengger di kepala anak gadisnya itu. "Bertahanlah sebentar lagi. Ibu akan membuatnya menyerahkan semua harta yang dia miliki kepada Ibu."
Varizen menatap Felisia dengan genangan air mata. "Aku mohon… kita pergi dari sini. Aku sungguh tidak tahan, Bu," bujuk Varizen sambil memegang tangan Felisia.
Felisia menghela nafas kasar. Kurang sedikit lagi, ia akan menguasai seluruh harta Berto.
"Tinggal sedikit lagi. Bertahanlah!" ucap Felisia sedikit membentak.
Varizen membuang muka mendengar bentakan Felisia. Ia memilih menatap kembali jendela kamar miliknya. Kenapa ibunya tega membiarkan menderita? Dia bahkan tidak membelanya. Mungkin yang dikatakan semua orang benar tentang dirinya. Bahwa, ia adalah anak haram.
Anak yang tidak diharapkan kehadirannya. Anak pembawa sial yang selalu menyusahkan orang tua.
"Mau tidak mau, kau harus bertahan. Jika harta Berto menjadi milik Ibu. Kau pasti akan bahagia," ucap Felisia lagi.
Varizen menunduk, "Apa karena aku anak haram?"
Hati Felisia seperti teriris mendengar perkataan Varizen. Ia memilih membuang mukanya.
"Jangan berpikir seperti itu, kau putriku. Bukan anak haram."
Setitik cahaya mulai nampak di hati Varizen. Perkataan Felisia membuatnya terbang diatas awan.
"Lantas, dimana ayahku?" tanya Varizen
Deg
Tubuh Felisia bagai dihantam ribuan pisau tak terlihat. Ia langsung kaku dan tak bisa menjawab pertanyaan Varizen.
"Aku berniat mencarinya," ucap Varizen.
Felisia mengepalkan tangannya kuat, "Tak akan kubiarkan kau mencarinya. Fokuslah bertahan, agar aku bisa mendapatkan semuanya."
Varizen menggelengkan kepala. Ia tidak mau menikmati harta dengan hasil mencuri. Ia ingin menolak keras Felisia. Namun, ia tidak bisa. Karena kasih sayangnya terlalu besar kepada Felisia.
Gejolak batin yang dirasakannya setiap hari membuatnya dilema. Mungkinkah kehidupannya akan terus seperti ini? Batin Varizen berteriak keras. Ia harus pergi dari tempat terkutuk seperti penjara buatnya.
Felsia duduk di samping Varizen dan memeluk erat putrinya itu. Ia sungguh tidak tega melihatnya seperti ini. Tapi, apa daya. Kehidupannya harus berubah. Cemooh orang harus dibalas. Jika saja majikannya dulu tidak memperkosanya. Hidupnya pasti akan bahagia. Menikah dengan orang yang ia cintai. Memiliki anak dari hasil pernikahan sah.
Namun, semua itu hanya angan - angan saja. Meskipun sekarang dirinya sudah menikah, Varizen tetap dicap sebagai anak haram.
Felisia tahu, kalau Varizen juga ikut menanggung beban yang berat. Padahal, gadis itu tak bersalah sedikit pun. Begitu juga dirinya. Mereka berdoa hanya korban.
Setelah ini selesai. Kita akan bahagia hidup bersama. Bersabarlah, Varizen. Maafkan ibu.
"Maafkan Ibu karena emosi, Varizen," ucap Felisia dengan penuh penyesalan.
Air mata keluar deras membasahi pipi putih Varizen. Ia menangis tanpa suara. Hatinya sangat sakit ketika Felisia membentaknya.
Felisia melepas pelukannya dan mengusap air mata putri cantiknya itu. "Jangan menangis lagi. Kau sangat jelek jika menangis. Putri Ibu yang cantik harus tersenyum," bujuk Felisia kepada Varizen agar tenang.
Varizen mengangguk dan mulai tersenyum kembali. Ia menatap Felisia dengan penuh kasih sayang. Meski begitu, rencana pergi dari penjara mewah ini akan dilakukan. Mungkin bukan waktunya sekarang. Ia harus menyusun rencana sedemikian rupa untuk meninggalkan kekejaman Berto padanya.
Hati Felisia lega melihat senyum manis menghiasi sudut bibir putrinya itu. Meski Varizen mirip sekali dengan orang itu, tapi ia tidak pernah membencinya. Menurut Felisia, Varizen tidak bersalah. Yang harus disalahkan adalah dia si pembawa malapetaka dalam hidupnya.
Felisia berdiri dan mengelus surai hitam milik Varizen, "Tidurlah… besok kau harus bersekolah."
Varizen mengangguk dan berbaring di ranjang miliknya. Felisa menyelimuti dan pergi meninggalkannya. Varizen hanya menghela nafas kasar dan menatap langit kamar. "Aku ingin bebas seperti burung," gumam Varizen.
Lelaki yang menguping langsung pergi setelah Felisia pamit kepada Varizen. Ia sembunyi di koridor gang yang tak jauh dari kamar Varizen.
Siapa sangka, lelaki itu adalah Jonathan. Setelah ia mendengar semua percakapan mereka. Hatinya sakit kala melihat orang yang disayangi menangis. Ia kemudian berjalan dan masuk begitu saja dengan perlahan.
Varizen tak sadar jika ada seseorang yang mendekatinya. Jonathan pun tersenyum senang. Perlahan dirinya mendekat untuk mengamati wajahnya.
Apa yang dilakukan lelaki biadab itu terhadap wajah cantikmu?
Jonathan mengulurkan tangan untuk melihat wajah gadis itu. Saat tangannya mulai mendekat, Tiba - tiba, gadis itu membuka matanya. Karena kaget, ia merebut kasar selimut milik Varizen.
"Kau selalu mencari muka pada Ibu. Dasar anak haram!" ucap Jonathan dengan nada tinggi.
Varizen kaget dan langsung duduk di tepi ranjang. Ia melihat Jonathan yang sedang berapi-api menahan emosi kuat-kuat. "Itu semua tidak benar, Kak," bela Varizen.
Jonathan mendekat ke arah Varizen. "Dengar, Variz. Kau itu ladang masalah. Seharusnya, kau pergi dari kehidupan Ibu. Aku yakin, Ibu tidak akan mencarimu jika kau menghilang," ucap Jonathan penuh penekanan.
Tak ada pilihan lain yang diucapkan oleh Jonathan selain kata - kata kasar yang menyakitkan.
"Aku bukan anak haram, Kak." Varizen menundukkan kepala. Hatinya sakit saat seseorang berkata bahwa dirinya adalah anak haram.
"Cih, kalau bukan anak haram, lantas dimana ayahmu?"
Deg
Varizen semakin menundukkan kepala mendengar perkataan Jonathan. Pertanyaan itu memang tak bisa dijawab olehnya.
Maafkan aku, Varizen.
"Kau itu pembawa sial. Tak pantas berada di dekat ibu. Apalagi, statusmu adalah anak haram."
Deg
Varizen melotot saat Jonathan berkata demikian. ia langsung mengangkat wajahnya dan menatap Jonathan dengan tajam. "Pergi…! Keluar dari kamarku!" teriak Varizen.
Jonathan kaget melihat Varizen yang membentaknya. Ia langsung pergi, namun berhenti di depan pintu.
"Anak haram tetaplah anak haram," ejek Jonatha.
Hari ini kau mulai memberontak. Kau ada perkembangan, Varizen. Bencilah diriku.
Jonathan tergesa-gesa menuju kamar. Ia melempari semua barang yang ada di ruangan itu. Ingin jiwa iblisnya keluar meronta mencekik Berto. Sebenarnya, Jonathan sangat kesal melihat Varizen terluka. Tapi, ia bingung harus berbuat apa saat melihat luka itu.
Jonathan mengambil foto dan mengelusnya. Ia tersenyum kala melihat keakraban yang ada di foto tersebut. Memori kebahagian bersarang di otak dan memutari seluruh kepalanya. Sudah terlambat baginya untuk menghilangkan rasa yang kian menumpuk itu. Tidak ada yang bisa menghapus semua rasa yang membara di hati. Meski gadis lain manapun.
Jonathan menaruh kembali foto itu. Ia berjalan menuju balkon untuk melihat indahnya bintang yang bertabur di langit. Suasana hati yang kacau akan terobati kala melihat panorama alam yang berkilauan.
Jonathan menatap langit yang dihiasi bintang dan rembulan. Hatinya menghangat. Meskipun begitu, tetesan air mata keluar membasahi kedua pipinya.
Jonathan tahu selama ini perbuatan yang dilakukan salah. Tapi, ini adalah jalan terbaik untuk semua. Agar ia bisa terlepas dari jeratan dan lilitan rasa itu. Salah baginya mencintai gadis itu, walau tak ada ikatan darah sekalipun. Dilema yang kian membara membuatnya gelisah takut melangkah.
Meskipun berat hati, ia akan melakukannya. "Kau akan selalu menjadi bintang kejora di hatiku, Sayang," gumam Jonathan lirih sambil meraih bintang yang ada di langit dan menaruhnya tepat di d**a.
Sementara itu, Berto mulai sadar dan bangkit dari tidurnya. Ia melihat Felisia yang tengah tidur terlelap. Berto bangkit dan berjalan menuju keluar kamar. Ia berjalan terus dan berhenti di depan kamar seseorang.
BERSAMBUNG