Hubungan baik antara Ridho dan Susanti terjalin makin hangat dan harmonis. Usia yang tidak terlalu jauh menjadikan mereka lebih cepat akrab. Tak ada rasa canggung. bahkan sapaan di antara mereka pun sudah jadi 'aku dan kamu' bahkan 'lu dan gue'.
Dari komunikasi via WA itulah, mereka mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Menceritakan apa dan siapa mereka sesungguhnya. Hampir tiap malam ketika suami Susanti tak ada di rumah, mereka habiskan dengan chatting. Tak jarang hal yang bersifat pribadi dan sedikit nyerempet dewasa pun dibahasnya.
Susanti sempat menawarkan pinjaman uang untuk membayar cicilan bank. Namun Ridho belum berani menerimanya. Dia belum punya gambaran untuk membayarnya. Ridho tetap tak ingin hubungan persahabatan ternoda dengan hal itu.
Sejak awal saling terbuka, Susanti menyampaikan keinginannya untuk main ke rumah Ridho. Dia sangat ingin mengenal Bu Anita dan kedua adik Ridho. Namun dengan sangat halus Ridho menolaknya. Sang jejaka takut mamanya curiga dan menyangka yang bukan-bukan. Apalagi kalau tahu status Susanti yang bersuami. Pasti akan sangat ribet.
Hari ini, Ridho tidak memiliki kegiatan penting. Setiap hari jumat, Mama Dendy mengikuti acara dengan para sahabat dan relasinya. Mama Dendy selalu membawa mobil sendiri.
Setelah melaksanakan shalat Jum'at, Ridho kembali didera pusing dan galau tingkat tinggi. Bagaimana tidak. baru saja tiba di rumah dan hendak bersantai ria, tiba-tiba dia kedatangan dua orang petugas bank, yang kembali menagihnya. Kali ini peringatannya cukup keras karena sudah hampir memasuki bulan ke tiga. Kali ini bukan 5 juta tapi Ridho harus mempersiapkan dana sekurang-kurangnya 10 juta.
Beberapa saat Ridho tertegun di daun pintu seraya memandangi dua petugas bank yang menghilang dari pandangannya.
Kini dia berdiri melongo memandangi jalan seraya memegangi sepucuk surat tagihan yang dibawa oleh dua orang petugas tadi. Seluruh jiwa dan pemikiran Ridho seolah melayang entah kemana.
Ridho bahkan tak membalas sapaan beberapa tetangga yang melintas di depan rumahnya. Ridho pun tak menyadari semua mata dan wajah para tetangga itu memandang dan menatap aneh pada dirinya yang seperti anak linglung.
Setelah menutup pintu, Ridho kembali melanjutkan kegiatan yang tak berfaedah itu.
Berdiri, tertegun lalu berjalan mondar-mandir kemudian duduk pada semua tempat yang bisa diduduki.
Tak lama dia berdiri lagi dan mengulangi aktifitas anehnya hingga berulang-ulang. Beberapa kali Ridho menutup wajah dengan kedua telapak tangannya seraya berjalan, berdiri dan akhirnya duduk bersandar pada kursi.
Kedua matanya menatap kosong langit-langit yang tak pernah memberinya solusi atau sekedar pertanda saran tentang apa yang harus dia lakukan. Beberapa kali Ridho mengusap dan mengacak-acak rambutnya dengan kasar.
Sepanjang menghirup udara dan menjalani kehidupan, baru kali ini Ridho merasakan kebingungan yang membuatnya tak mampu lagi menemukan jalan untuk bisa keluar dari pusaran masalah yang datang bertubi tubi.
Masalah yang semakin hari semakin membuatnya bertanya-tanya pada Tuhan. Dari apa sebenarnya hati ayahnya tercipta hingga begitu keras dan kelam bahkan terlalu susah untuk dilunakkan.
Ridho frustasi dan kebingungan dengan segala yang terjadi. Bingung harus bagaimana menyelamatkan harta berharga satu-satunya yang kini nyaris melayang dari genggamannya.
Shock, marah, kecewa dan bingung. Begitulah yang saat ini sedang dialami Ridho. Dalam usia yang sangat belia, sepertinya masalah yang dia hadapi terlalu berat dan sangat membebaninya. Ridho butuh seseorang yang dianggap bisa membantunya dari kemelut.
Ridho ingin menyerah pada keadaan. Dia bahkan ingin menangis sejadinya. Namun sebagai seorang lelaki, menangis bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Dia harus lebih tegar dari siapapun.
Di hadapannya ada mama dan dua adik tercintanya yang harus dia pikirkan. Mereka harus bisa hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera di masa yang akan datang.
Ridho terduduk lemas bersandar pada kursi. Berharap semua badai segera berlalu. Ayah yang dia harapkan segera menginsyafi kesalahannya, malah semakin memperumit keadaan.
"Haruskah gua mengikuti saran si Rames? Benarkah hanya tidur satu malam dengan tante-tante gua bisa membayar semua utang ke bank? sangat meragukan!" gumam Ridho.
"Ini bukan dunia n****+ yang super halusinasi. Bisa menyelesaikan utang ratusan juta hanya dengan kawin paksa, atau menjual keperawanan atau bahkan menggadaikan keperjakaan. ngimpi aja lu, Zal!"
"Ini dunia nyata, Sob! Jangankan ratusan juta, uang sejuta aja sangat sulit untuk didapat. Seorang artis FTV dengan wajah dan penampilan yang sangat cantik menarik, hanya dibandrol 20 juta, itupun langsung keciduk sama polisi. Apalagi orang biasa yang bukan siapa-siapa? paling banter 300 rebu kaya PSK pinggir jalan."
Beberapa kali Ridho membaca kembali pesan kiriman Fazal. Promosi dan provaganda yang sangat menggiurkan.
Ridho kembali menggelengkan kepala bibirnya mencibir seraya menatap beberapa foto wanita paruh baya dengan dandanan sedikit mencolok dan menor. Wanita-wanita yang sedang dipeluk Fazal itu hampir semuanya berpakaian nyaris telanjang. Fazal sendiri hanya memakai celana dalam.
"Bagaimana mungkin privacy terjaga? buktinya foto-foto m***m begini dengan bangganya lu kirim ke gua!" maki Ridho.
"Kalau gua yang difoto begini? Terus mama tahu, bisa-bisa dipecat jadi anaknya terus diusir dari rumah, kelar dah hidup gua. Mendingan gua masuk lagi ke dalam rahimnya daripada gak diakui sebagai anak oleh wanita pemilik kunci surga gua. No way!" maki Ridho seraya menyimpan ponselnya di atas meja.
"Mudah-mudahan aja Mama, bisa mendapatkan pinjaman dari kakek atau saudara-saudara di Bandung, Amiin!" ucap Ridho seraya melepas kain sarung dan mengganti kemeja kok-onya dengan kaos oblong.
Hari ini dia akan bekerja keras. Membersihkan halaman rumahnya yang sudah lama tidak terurus. Lagu-lagu lawas kegemaran mamanya pun dipasang sedikit keras. Sekedar menjadi temannya saat bekerja.
"Hari ini gua mesti mengeluarkan tenaga ekstra. Biasanya seminggu sekali gua membersihkan halaman, sekarang sudah hampir sebulan terbengkalai. Gua siap melakukannya dengan senang hati, daripada pusing mikirin ayah!" Ridho menyemangati dirinya.
Dengan semangat membara, hati riang gembira dan sesekali ikut bersenandung mengikuti suara almarhumah Nike Ardila. Ridho berjibaku seorang diri membersihkan halaman rumah belakang.
Tenaga ekstra yang dikeluarkan serta terpaan sinar matahari siang itu sukses membakar kalori di tubuhnya hingga dia bermandikan keringat. Hingga terpaksa sang jejaka bertelanjang d**a dan memakai boxer hitam melanjutkan tugas beratnya.
"Mantaaap!!!" serunya seraya mengelap keringat di wajah gantengnya yang memerah. Tubuhnya tampak lebih kekar, gagah coklat mengkilap. Persis binaragawan, seorang kuli atau pekerja berat lainnya.
"Luar biasa! ternyata berkeringat itu sangat nikmat. Pikiran lebih fresh dan tenang." Ridho kembali menyemangati dirinya sambil mengumpulkan ceceran rumput yang tertinggal. Setelah terkumpul dalam pengki, lalu mengangkat dan membuangnya ke lubang sampah yang tersedia.
Hampir dua jam, Ridho bekerja nyaris tanpa henti. Halaman samping dan belakang rumahnya kini benar-benar rapi dan bersih. Bahkan lebih rapi dari sebelumnya.
Sang kuli beristirahat. Duduk selonDhoran berteduh di bawah pohon Jambu Air yang rindang namun tidak berbuah. Menikmati segelas kopi, sepiring gorengan dan sebatang rokok. Angin sepoi-sepoi menerpa tubuh setengah telanjangnya. Keringatnya pun berangsur-angsur mengering.
"Assalamualaikum." Suara seorang wanita mengejutkan. Sontak Ridho segera memalingkan wajah ke arah asal suara.
"Waalaikumsalam," balas Ridho dengan suara pelan serta wajah yang melongo.
Beberapa saat Ridho tertegun memandangi seorang wanita yang berdiri di depannya. Hoodie coklat membungkus tubuh dan kepalanya wanita itu. Rok hitam selutut senada dengan sepatu flat yang dipakainya memberikan kesan seksi, simple dan energik.
Wanita itu tersenyum namun otak Ridho masih bekerja keras mengingat-ingat siapa orang di depannya. Kaca mata hitam yang bertengger, nyaris menyembunyikan wajahnya. Hanya hidung mancung dan bibir merekah yang mempertegas kecantikannya.
Ridho memperkirakan wanita yang menenteng tas cokelat berbahan kulit buaya ini berusia tidak lebih dari 20 tahunan. Dan memori Ridho masih belum bisa menyimpulkan siapa teman atau kenalannya yang biasa berpenampilan sekeren dan segaul ini.
"Maaf ganggu. Ini rumahnya Ridho kan?" Wanita yang senyumnya merekah itu menyapa ramah sambil menyodorkan tangan.
Ridho menerima uluran tangan tamu tak dikenalnya sembari mengerutkan dahi. Otaknya terus bekerja keras mengingat-ingat seseorang yang pernah dikenalnya. Dari suaranya Ridho mulai sedikit mengenalinya, namun masih ragu.
Ketika Ridho masih melongo dalam kubangan bingung, wanita itu menarik kaca mata hitamnya ke atas kepala.
"Susanti!" seru Ridho setengah sadar. Dia sangat mengenali mata bening nan indah milik wanita yang sudah hampir sebulan ini jadi teman virtualnya.
"Hmmm. Akhirnya kenal juga?" balas Susanti seraya tersenyum.
^^^