Sejak Bimo maju dan mendapatkan posisi tinggi di usia muda, Ara merasa sikapnya berubah menjadi sombong. Memang tak dapat dipungkiri bahwa Bimo sangat cerdas dan ambisius. Usianya lebih tua 5 tahun dari Ara. Tapi Ara merasa tak suka pada sikap sang kakak yang bersikap bahwa keluarganya adalah beban karena masih harus menafkahi kedua orang tuanya dan membantu biaya kuliah Garin si bungsu. Apalagi sejak Bimo menikahi Vira berasal dari keluarga mapan. Ia semakin jauh dari keluarganya. Kini melihatnya datang bersama sang istri membuat Ara merasa muak.
“Cie, calon pengantin,” goda Vira saat melihat adik iparnya. Ara hanya diam dan berusaha tak menimpali.
“Akhirnya kamu bisa cerdas juga mencari pasangan kaya, salut loh aku,” ucap Bimo santai. Andai tak ingat bahwa banyak orangtua didalam rumah, ingin rasanya Ara mengajak Bimo berkelahi. Dari dulu Bimo selalu mengejeknya bodoh karena untuk urusan akademis, Ara memang tidak sepintar Bimo dan Garin.
“Ya Allah, terimakasih, pagi-pagi sudah memberikan hamba pahala atas kesabaran hamba,” celoteh Ara sambil menengadahkan tangannya ke arah langit. Bimo hanya berdecak pelan lalu mengajak istrinya untuk masuk ke dalam.
Di dalam hati Ara rasanya ia begitu marah atas sikap sang kakak. Ia selalu berdoa agar bisa segera mendapatkan banyak uang agar supaya kedua orang tua dan adiknya Garin terlepas dari bantuan Bimo. Perlahan Ara menghelas nafas panjang. Apakah kehadiran Liam menjadi jawaban atas doanya? Karena Liam berasal dari keluarga kaya dan ia sendiri bekerja diperusahaan besar tentu saja akan membuat Ara berkecukupan jika ia menikah dengan Liam.
Tapi ada rasa ragu dihati Ara terhadap Liam, ia tak mempercayai proses yang instant, termasuk perasaan. Sikap manis Liam padanya hanya membuatnya semakin resah dan takut. Ia tak ingin berkhayal terlalu indah karena tak ingin jatuh terlalu tinggi jika kenyataannya tak seperti harapannya.
“Ra, ayo ganti baju. Berdandanlah sedikit, biar nanti terlihat lebih cerah,” panggilan Retno-sang ibu membuat Ara tersadar dari lamunannya. Gadis cantik itu berjalan perlahan menuju kamar Alia untuk mengambil wudhu dan sholat dua rakaat lalu berdoa agar semua yang akan terjadi ini menuju ke hal yang baik bukan sebaliknya. Jika ternyata akhirnya akan buruk, Ara pun berdoa agar segera ditunjukan jalannya agar ia terbebas dari masalah baru.
Menjelang makan siang keluarga Liam pun akhirnya datang. Mereka cukup terkejut saat melihat begitu banyak orang yang menyambut mereka.
“Selamat datang pak David dan bu Lea. Perkenalkan ini keluarga besar Rania. Semuanya hari ini berkumpul untuk bisa bertemu dengan pak David dan bu Lea,” ucap Joddy sedikit gugup karena ini pertama kalinya sang bos datang untuk menjadi keluarganya bukan urusan pekerjaan.
“Kami benar-benar tak menyangka akan disambut seramai ini. Ohya, ini ada sedikit buah tangan dari kami untuk orang tua Ara,” ucap Lea sambil memberikan bingkisan pada Retno. Kedua wanita itu pun saling pandang dan tersenyum.
“Ara nya kemana tante?” tanya Liam karena tak melihat gadis itu diantara keluarganya.
“Ciee, yang gak sabar pengen ketemu,” goda Garin dan membuat gelak tawa diantara mereka. Sedangkan Liam hanya tersipu malu. Baru kali ini ia merasa canggung, bukan seperti Liam yang biasa elegan, berwibawa dan penuh pesona.
“Assalamualaikum,” sapa Ara tiba-tiba muncul diantara kerumunan. Ia tampak manis dengan mengenakan dress bermotif bunga-bunga kecil pemberian Lea. Tanpa ragu Ara segera bersalaman dan mencium tangan David dan Lea juga menyapa Fabian dan Reiner.
“Karena sudah saatnya makan siang, bagaimana jika kita semua berkumpul di ruang makan untuk makan bersama?” ajak Rania pada tamunya dan diikuti oleh anggota keluarganya yang lain. Sedangkan Ara berjalan paling akhir di antara mereka semua. Entah mengapa hatinya merasa sedih.
Ara tersentak saat melihat Liam menunggunya di depan pintu ruang makan dan mengulurkan tangan untuk digenggam Ara. Tapi Ara hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Gak boleh pegang-pegang Om Mas, banyak orang,” bisik Ara dengan suara lembut. Melihat sikap Ara yang manis rasanya Liam ingin memeluknya dan menggigit pipinya yang mulus. Liam hanya bisa mengikuti langkah ringan Ara dan duduk disebelahnya.
Ada rasa heran dihati Liam saat melihat Ara yang diam saja. Gadis itu selalu bersikap berbeda jika banyak orang. Ia menjadi penyendiri dan pendiam. Sedangkan jika tak ada siapa-siapa yang berubah menjadi gadis yang bebas. Ada rasa tak percaya dihati Liam saat menyadari bahwa sebenarnya Ara adalah gadis yang introvert.
Tapi ia senang melihat sikap tenang Ara. Hari ini ia diam dan bersikap tenang, tak terlihat gugup atau kaku seperti saat ia bertemu dengan kedua orang tua Liam untuk pertama kali. Bahkan selesai acara makan, Ara tampak asik berbincang dengan Fabian seolah mereka telah menjadi teman lama.
“Aku gak suka ah, kamu cuekin gini,” bisik Liam saat mendapatkan kesempatan berduaan dengan Ara.
“Apa sih Om Mas?! Manja banget!”
“Masa aku dibiarkan sendiri?” bisik Liam lagi. Ara hanya diam lalu memukul pelan lengan Liam sambil duduk disampingnya. Perlahan Liam mencari jemari tangan Ara dan menggenggamnya erat. Betapa senangnya hati Liam ketika Ara tak menolak seperti biasanya. Gadis ini mulai menerimanya.
“Jadi gimana Liam? Kalau kedua keluarga sudah bertemu seperti ini, biasanya sih sudah tanda -tanda akan ada hubungan lanjutan yang lebih serius,” ucap Fikar adik Akbar nomor dua membuka pembicaraan.
“Kalau dari kami tinggal menunggu keputusan dari Liam saja, mau hubungannya dibawa kemana bersama Ara. Kami tahu Ara anak baik, jadi kami percaya bahwa Ara bisa menjadi istri yang baik untuk Liam. Memang Ara masih sangat muda, tapi itu bukan masalah, selama ia mau belajar menjadi istri yang baik, saya yakin mereka akan baik-baik saja,” ucap Lea menimpali.
Liam melirik kearah Ara yang asik memainkan jari tangannya sendiri sambil menunduk. Liam tahu, Ara pasti sedang merasa malu karena tengah dibicarakan. Perlahan Liam memainkan rambut Ara dan menarik-nariknya perlahan.
“Ra, ditanya tuh?” goda Liam. Ara langsung bergerak gelisah, terlihat wajahnya begitu merah karena menahan malu.
“Apaan sih Om Mas!” gerutu Ara pelan sambil menahan tangan Liam yang asik menggodanya dengan memainkan rambutnya. Melihat Ara yang malu seperti anak kecil membuat semua orang disana tertawa. Sedangkan Liam segera mengelus rambut Ara dan mencium ubun-ubunnya. Tentu saja melihat sikap Liam semua orang tahu bahwa Liam dan Ara semakin serius.
“Usia Liam sudah banyak, menurut saya pernikahan mereka lebih cepat lebih baik.” Mendengar ucapan David seolah membuka pembicaraan untuk pelaksanaan pernikahan Liam dan Ara. Dari yang awalnya hanya makan siang, malah berakhir dimakan malam karena langsung menentukan tanggal dan bulan yang baik untuk melangsungkan pernikahan.
Acara kekeluargaan itu pun akhirnya selesai. Liam tampak sibuk memainkan jari manis Ara seolah mengukur sesuatu.
“Besok, pulang kerja aku jemput ya,” bisik Liam sebelum ia berpamitan pada semua orang. Ara pun hanya mengangguk. Kini hampir setiap hari Liam menjemputnya pulang dari kantor sehingga mereka bisa pulang bersama. Semakin melihat Ara menurut dengan permintaannya semakin membuat Liam merasa gemas dan ingin menyentuhnya. Tapi rasa itu terpaksa ia tahan karena tak ingin dianggap m***m dan kurang sopan oleh keluarga Ara. Liam hanya bisa meremas jemari tangan Ara sesaat sambil menatap mata coklat terang itu dengan d**a berdebar. Rasanya ia tak sabar untuk berganti hari agar bisa bertemu gadis kecil kesayangannya.
Bersambung.