BAB 5. Glenn Itu Santai Orangnya, Tapi Ngeselin

1208 Kata
“Itu kamarku! Sesuai dengan petunjuk pelayan tadi. Paling di ujung, dengan pintu warna abu-abu dan ada pintu menuju kolam renang tepat di sebelah kamar.” Zara membatin dengan perasaan cemas. Dia tahu dia salah karena telah mengintip Glenn barusan. Zara semakin mempercepat langkahnya lalu masuk ke kamar itu. Lalu dia juga langsung mengunci pintu kamar. “Huffttt!” Dia menghela napas dalam. Setelah merasa jalur napasnya sudah lega kembali, barulah dia meletakkan tas kerja di sebuah meja di sana. Kemudian berjalan perlahan menyusuri kamar seraya matanya terus memindai ke seisi kamar. “Hmm ini bagus. Aku tidak perlu membayar kontrakan lagi dan sudah dapat tempat tinggal semewah ini. Ditambah pula aku mendapat bayaran satu juta sehari dengan pekerjaan hanya untuk menempati kamar ini saja. Ini keren!” Zara tersenyum manis sekali. Lalu dia melempar tubuh rampingnya ke tengah tempat tidur yang ternyata jauh lebih empuk daripada yang bisa dia bayangkan. “Selamat tinggal dipan papan yang keras dan suaranya berisik sekali!” gumamnya lagi sambil membayangkan kamar kontrakannya yang lama. Zara melirik pada satu ruangan yang membuatnya terpesona pada pandangan pertama. Dia melangkah menuju satu ruangan yang penuh dengan lemari-lemari penyimpanan pakaian, tas, sepatu, dan lainnya. Itu adalah ruang walk in closet yang sebelumnya tidak pernah Zara punya. Sejak kecil dia hanya tinggal di sebuah rumah pengasingan yang terpencil. Lalu beranjak dewasa mulai bekerja dan hanya mampu membayar rumah kontrakan sederhana, itupun berbagi dengan seorang temannya. Kini mulutnya menganga melihat seluruh isi walk in closet tersebut, yang dia yakini pastilah bukan miliknya. Dia baru sehari menjadi istri Glenn, itupun hanyalah seorang istri pengganti, maka bagaimana mungkin Glenn mempersiapkan ini semua untuknya? Pintu kamar diketuk seseorang. Zara langsung menoleh ke arah pintu dengan wajah penuh waspada. Dia langsung teringat, pelayan tidak boleh sembarangan naik ke lantai dua, kalau begitu yang ada di balik pintu pastilah Glenn. “Ish! Laki-laki m***m! Mau apa dia kesini?” desis Zara tapi sambil melangkah pelan menuju pintu kamar. Dia masih enggan membuka pintu. Tapi pintu kamar kembali diketuk beberapa kali, kali ini dengan lebih kencang. “Iya sebentar!” Akhirnya dengan terpaksa Zara membuka pintu kamarnya. Namun hanya sedikit saja. Tanpa bicara apapun, tapi tatapan matanya seolah bertanya. Mau apa Glenn datang ke kamarnya? Glenn terkekeh pelan. “Tenang saja, aku tidak ada maksud lain kecuali hanya mau memberitahu padamu, bahwa semua isi ruang walk in closet bisa kamu gunakan. Semua pakaian dan lain-lain, itu milikmu.” “Wahhh!” Kedua bola mata Zara membulat dengan bibir mungilnya yang menganga. Dia nyaris tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. “Tidak perlu berterima kasih. Aku tidak mau punya istri tidak terurus. Itu saja. Apalagi jika ada acara seperti pesta dengan kolega bisnis, kamu harus mampu berpenampilan yang pantas sebagai istriku.” “Hah?! Apa maksudnya pantas?” Zara jelas agak tersinggung mendengar itu. Namun justru Glenn lagi-lagi terkekeh pelan. Seperti sedang tertawa mengejek bagi Zara. Pria itu sudah akan membalik badan ketika dia seperti teringat sesuatu. “Oh ya Zara, soal tadi, kamu jangan kaget … dia hanya salah satu di antara beberapa wanitaku. Dan … kamu juga nggak perlu cemburu, aku sama sekali tidak ada perasaan pada mereka, hanya sebatas kebutuhan biologis saja. Oke?” Hati Zara semakin dibuat kesal mendengar itu. Dia melotot pada Glenn. “Heh! Siapa yang cemburu?! Aku tidak cemburu sama sekali, karena aku tidak punya perasaan apa-apa padamu. Ingat, kita hanya menikah bohongan!” seru Zara galak lalu menutup pintu kamar dengan cukup kencang. Glenn geleng-geleng, dia hanya tersenyum lalu pergi dari sana. Kembali ke kamarnya sendiri, sudah tidak ada wanita yang menemaninya tadi. Sudah dia suruh pulang. Karena entah kenapa, begitu tadi dia melihat Zara sedang mengintip, tiba-tiba hasratnya pada wanita itu langsung menurun drastis. Glenn sendiri terheran, padahal benar apa yang dikatakan Zara, bahwa mereka hanya sedang terikat pernikahan palsu. Esok paginya, Zara sengaja bangun pagi-pagi sekali dengan maksud tidak perlu bertemu dengan Glenn. Dia ingin langsung berangkat ke kantor tanpa perlu basa-basi menyapa Glenn. Kejadian semalam masih terbayang jelas di kepala Zara. Jujur Zara merasa jijik sekaligus sedikit takut pada Glenn. Kehidupannya yang terkucilkan membuat Zara kurang bersosialisasi. Jangankan kekasih, punya satu atau dua teman saja sudah beruntung baginya. Zara menutup pintu kamar lalu bergegas melangkah turun ke lantai satu. Untuk mencapai ke pintu utama depan, harus melalui beberapa ruangan besar. Zara sendiri sampai bingung mengapa rumah ini sangat besar. Padahal dia hanya melihat Glenn dan para pelayan di sini. Tidak ada keluarga lainnya. “Zara!” Zara sontak menghentikan langkah. Dia menoleh dan melihat Glenn sedang tersenyum di sana. Duduk menghadap meja makan yang panjang. Ternyata tanpa sadar dia baru saja melewati ruang makan. “Huffttt!” Zara menghela napas dalam. Padahal sekarang baru jam 6 pagi, tapi pria itu sudah sedang sarapan. Zara salah perhitungan. “Kemarilah! Sebaiknya kamu sarapan dulu baru berangkat ke kantor.” “Umm aku sarapan di kantor saja.” “Sarapan dulu di sini, temani aku. Baru aku akan bayar honormu untuk hari kemarin.” Zara diam sejenak, dia sedang berpikir. Dikiranya honor sebagai istri pengganti akan dibayarkan perbulan, ternyata perhari. “Ayolah! Lagipula kantor baru buka jam 8 pagi. Kamu sampai jam 7 saja masih sepi sekali. Tidak takut sendirian naik ke lantai 9? Hmm?” Tentu saja Zara tidak takut sama sekali. Bahkan hidup sendirian di tengah hutan pun pernah dijalaninya. Yang menarik baginya hanyalah honor yang dijanjikan oleh Glenn. Zara melangkah masuk ke ruang makan. Dia menarik kursi yang berhadapan dengan Glenn. Pelayan dengan sigap menuangkan minuman untuk Zara. “Ada banyak pilihan menu sarapan, kamu bisa makan yang sesuai seleramu.” “Ya.” Zara menyendokkan spaghetti ke piringnya. Lalu makan tanpa berkata apapun. Glenn juga menikmati sarapannya, tapi sambil sesekali melirik pada Zara. Baginya kecantikan Zara cukup sederhana, tapi entah kenapa Glenn betah saja melihat wajahnya berkali-kali. Padahal Zara hanya memakai riasan tipis saja untuk ukuran sebagai sekertaris seorang CEO. “Oh ya, Zara, nanti malam aku ada janji temu dengan rekan bisnis papa. Kamu harus menemaniku.” Zara mendongak. “Nanti malam?” “Ya. Kamu tidak keberatan bukan? Tidak akan mengganggu jam kerjamu di Tekstil Dirgantara kok. Acaranya jam 8 malam. Di main dining room Hotel Shangri-La. Jadi tidak ada alasan untuk kamu tidak mendampingiku, Zara. Ini pertemuan penting, yang akan berpengaruh pada masa depan Albern Foundation. Aku juga akan bilang pada Vince supaya kamu tidak lembur hari ini.” Glenn berbicara dengan nada santai seraya menikmati sisa sarapannya. Lalu dia meletakkan sendok garpu dan sedikit menggeser piring ke arah tengah meja. Glenn meneguk air mineral dingin sampai habis dalam gelas. “Tapi Pak Glenn—” Glenn mengangkat jari telunjuk kanannya, sehingga Zara terdiam saat itu juga. “Mulai sekarang jangan panggil aku dengan embel-embel, pak. Orang di luar akan curiga kalau kamu sekaku itu. Dengan Vince silakan kamu begitu karena dia bos mu. Tapi aku adalah suamimu meskipun hanya pura-pura, mengerti?” Zara menghela napas dalam lalu mengangguk. Dia menyudahi makannya meskipun masih ada setengah lagi sisa makanan dalam piring. “Aku harus berangkat sekarang. Aku masih karyawan baru, tidak mau terlambat.” “Maksudmu, kalau karyawan lama boleh terlambat? Begitu?” Zara mendengkus malas. Dia hanya mengedikkan kedua bahunya lalu berdiri meninggalkan Glenn yang sedang terkekeh geli. Zara sempat mendelik kesal sebelum dia melangkah lebar-lebar meninggalkan ruang makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN