Gembira menatap langit malam dari jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka. Gadis itu benar-benar merasakan kesepian. Tidak memiliki seseorang yang bisa ia andalkan sebagai tempat berkeluh kesah. Teman-teman sekolahnya sudah tak bersedia lagi berteman dengannya. Keluarga pun juga tak punya. Tante Sarah, adik dari Papa Reyhan, yang merawatnya sejak kecil juga tidak bisa lagi menjadi tempatnya berbagi cerita, karena sejak dua tahun lalu Tante Sarah mengalami kecelakaan parah dan membuatnya lumpuh. Kini wanita cantik itu hanya bisa terbaring di ranjang atau hanya duduk di kursi roda. Gembira juga tidak mungkin bercerita pada Mbok Ning, karena wanita paruh baya itu pasti akan menceritakannya pada Sultan, jika mengetahui akan fakta kehamilannya.
Di saat sendiri seperti ini, Gembira akan mengingat sang mama. Dan tangisnya tanpa terasa akan pecah, mengingat segala kenangan bersama wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu. Tanpa sadar, Gembira menyentuh perut besarnya yang menurut perhitungan dokter kehamilannya bulan depan memasuki bulan kelima.
“Maafin Ira ya, Ma. Ira nggak bisa jaga diri.” Gembira bermonolog, berharap sang mama di surga sana bisa mendengarnya. “Ira janji akan jadi Ibu yang baik untuk anak Ira nanti. Doakan Ira ya, Ma, supaya Ira kuat menghadapi semuanya. Termasuk menghadapi Kak Sultan yang semakin hari semakin membenci Ira.”
Gembira tidak pernah mengira jika hidupnya akan setragis ini. Hidupnya sudah dipenuhi cercaan dari orang-orang, karena ia hanya dibesarkan oleh Mama Ayuni. Ayahnya meninggalkannya tanpa alasan pasti di saat dirinya baru berumur tiga bulan. Lalu ia harus kehilangan sang mama untuk selamanya. Dan kini, ia harus mengandung benih dari seorang pria biadab yang telah tega menodainya.
Gembira mencoba menepis ingatan hari naasnya yang telah membuatnya berbadan dua. Dengan susah payah, Gembira mengatur napas yang sedikit tersengal setiap mengingat kejadian itu. Gadis itu tak ingin berkelut dalam trauma karena ia harus tetap waras demi buah hatinya. Maka sebisa mungkin, ketika ingatan tentang tragedi kelam itu terlintas, Gembira mencoba mengontrol pikirannya dengan membayangkan hal-hal indah. Salah satunya membayangkan wajah lucu bayinya nanti.
Gembira tersentak ketika jendela kamar Sultan tiba-tiba terbuka. Mereka memang tidur terpisah. Gembira menempati paviliun yang terletak di belakang rumah, di mana bangunannya terpisah dengan bangunan utama rumah Sultan. Sedangkan Sultan sendiri menempati kamar kedua terbesar di rumah itu dengan kolam renang dan paviliun sebagai pemandangannya.
Dari bawah sana, Gembira bisa melihat cukup jelas, sang suami saat ini bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana cargo. Jemari tangan kanannya mengapit sebuah batang rokok.
Gembira masih bertahan memandangi kakak tiri sekaligus suaminya untuk beberapa saat. Sejak dulu ia memang mengagumi Sultan, baik sebagai seorang adik dan seorang perempuan. Namun hanya sebatas itu, karena Gembira paham, ada sebuah sekat yang tak bisa ia langkahi untuk memiliki perasaan lebih pada Sultan. Pernikahan mereka pun terjadi karena ia yang menjebaknya. Karena Gembira tak memiliki pilihan lain. Dan karena Gembira tak begitu mengenal keluarga dari ayah dan ibunya. Saat pernikahannya dengan Sultan berlangsung, hakimlah yang menjadi walinya, karena paman dari pihak ibu tak bersedia untuk datang. Sehingga, saat mengetahui dirinya hamil karena perbuatan biadab seorang pria, Gembira hanya mencoba untuk mencari perlindungan. Dan satu-satunya orang yang ia anggap bisa melindunginya ialah Sultan Yafiq Al-Ghifari.
Rumah Sultan cukup besar dengan keamanan yang cukup memadai. Beberapa CCTV terpasang di beberapa titik. Dan pintu utama dijaga oleh security dua puluh empat jam. Sultan juga tak mengizinkan sembarang orang memasuki rumahnya. Dan tentu saja melarang Gembira untuk keluar rumah, terlebih setelah diketahui jika Gembira tengah hamil. Gembira tidak merasa terkurung, karena ia benar-benar sangat berharap tidak bertemu dengan pria biadab bermulut manis yang berpura-pura menjadi suami baik di hadapan orang-orang. Namun justru dengan tega mengoyak mahkotanya.
Sultan yang merasa tengah diperhatikan menoleh pada salah satu kamar di paviliunnya, di mana sang istri tinggal di sana. Sejujurnya ada setitik perasaan tak tega ia membiarkan istri kecilnya itu tidur di paviliun yang berhadapan dengan taman dan kolam renang. Namun, Sultan tak memiliki pilihan lain. Karena ia benar-benar telah kecewa pada adik tirinya itu yang ia pikir adalah gadis penurut dan gadis baik-baik, rupanya tega melemparkan kotoran padanya. Setelah hamil entah dengan siapa, Gembira justru tega memfitnahnya, jika dirinyalah yang telah m*****i gadis itu.
Merasa kesal pada Gembira yang terus menatapnya, membuat Sultan memutuskan untuk menutup jendela kamarnya dengan kencang.
Gembira tidak terkejut melihat hal itu. Ia sudah sangat sering mendapat perlakuan kasar dari Sultan. Baik verbal maupun nonverbal. Di awal-awal pernikahan mereka, Gembira akan menangis, karena sikap Sultan padanya berubah secara drastis.
Dulu, meski Sultan memang jarang bicara, lelaki itu tidak pernah berlaku kasar padanya. Bahkan Gembira masih mengingat jelas, saat ia duduk di kelas lima sekolah dasar, saat itu teman-temannya mengejeknya dengan sebutan anak haram, Sultan sampai mendatangi kepala sekolah dan meminta anak-anak yang mengejek Gembira untuk dihukum secara pantas.
Sejak hari itu, Sultan selalu menyempatkan untuk mengantar jemput Gembira, untuk menakut-nakuti teman-teman sekolah Gembira.
Gembira menghela napas, ia harus memaklumi perlakuan Sultan padanya saat ini. Karena ia juga bersalah, telah menjebak lelaki itu dipernikahan yang tak diinginkan baik olehnya maupun Sultan.
Seandainya Kakak tahu kejadian sebenarnya, apa Kakak akan tetap membenci Ira seperti ini?
Gembira memutuskan untuk menyudahi menikmati keindahan langit malam. Setelah mengunci jendela dan menutup tirainya, Gembira memutuskan untuk tidur. Ia sangat berharap semua yang dilaluinya beberapa bulan ini hanya mimpi belaka. Meski harapannya sangat mustahil, karena faktanya Gembira memang benar-benar mengandung benih dari seorang pria biadab.
…
Gembira terbangun ketika pintu kamarnya diketuk dan suara Mbok Ning terdengar dari luar kamarnya. Dengan mata yang terasa berat, gadis itu berjalan untuk membukakan pintu.
“Mbok,” kata Gembira begitu pintu terbuka.
“Sudah pagi, Non,” beritahu Mbok Ning. Rutinitas setiap pagi memang wanita paruh baya itu membangunkan Gembira. Gembira sendiri yang meminta dibangunkan tiap pagi agar bisa menyiapkan makan pagi untuk sang suami.
Gembira dan Mbok Ning sudah berada di dapur. Mereka berbagi tugas menyiapkan makan pagi untuk Sultan. Meskipun Sultan sering menolak makanan buatannya, Gembira tak pantang menyerah. Karena hanya itu cara satu-satunya alasan agar Gembira bisa berbicara dengan kakak tiri sekaligus suaminya itu.
Gembira tengah mengaduk masakannya, ketika terdengar suara langkah kaki yang sangat familier tertangkap indra pendengarannya. Mencoba tetap rileks, Gembira berusaha tak terpengaruh dengan kedatangan Sultan sepagi ini di dapur. Karena saat ini memang hanya ada mereka berdua di dapur tersebut, sementara Mbok Ning tengah mengerjakan pekerjaan lainnya.
Gembira melirik gerakan Sultan yang mengambil gelas dari lemari penyimpanan lalu membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke dalam gelas. Gembira masih mengamati Sultan saat lelaki itu dengan tergesa meraih ponselnya yang bergetar.
“Tidak, Mita.”
Gembira tahu, Sultan tengah berbicara dengan Paramita—kekasih Sultan. Kekasih yang seharusnya dinikahi Sultan bulan lalu. Namun rencana pernikahan mereka harus kandas karena ulahnya.
Gembira buru-buru mematikan kompor dan menuang masakannya pada mangkuk saji, lalu dengan langkah pelan mengikuti ke arah Sultan pergi. Sultan berdiri di taman samping kolam renang dengan berkacak pinggang, melanjutkan pembicaraan dengan si penelepon. Gembira bersembunyi di balik pohon cemara, berharap bisa mendengar pembicaraan Sultan dengan kekasihnya. Tidak seharusnya memang Gembira melakukan hal ini, karena memang ia tidak memiliki hak apapun pada Sultan. Namun entah mengapa, kali ini Gembira ingin sekali mencuri dengar pembicaraan antara Sultan dan Paramita.
“Bukan aku yang menghamili Gembira, Mita. Percaya padaku, tolong. Aku sudah sering sampaikan ini ke kamu, aku dijebak oleh p*****r Cilik itu.”
Deg!
Gembira tanpa sadar memundurkan langkah mendengar julukan sadis yang disematkan Sultan padanya. Gadis itu tidak pernah menyangka, jika kakak tirinya dengan tega menyebutnya sebagai perempuan penjaja kenikmatan. Gembira meraba hatinya yang entah mengapa terasa begitu pedih, ia kembali memundurkan langkah dan tanpa sengaja menginjak batang ranting kering yang lantas menimbulkan bunyi yang mengalihkan Sultan dari teleponnya.
“Lagi-lagi kamu menguping, Gembira!” Sultan berkata geram mendapati Gembira berada tak jauh dari tempatnya berdiri yang tengah berbincang di sambungan telepon dengan kekasihnya.
Gembira masih membisu. Ia masih terlalu syok dengan perkataan Sultan yang menyebutnya p*****r Cilik. Gadis itu hanya mampu memandangi sang kakak dengan air mata yang siap tumpah.
Melihat keterdiaman Gembira, Sultan bisa menebak, jika adik tirinya itu sudah mendengar julukan kasar yang ia ucapkan padanya. “Jangan salahkan saya ….”
“Tidak, Kak.” Gembira dengan cepat memotong kalimat Sultan. “Kakak tidak pernah salah. Ira yang salah. Semuanya salah Ira.” Gembira yang sudah tak mampu lagi menahan air matanya berlari menuju paviliun. Kamar adalah satu-satunya tempat terbaik untuk menumpahkan segala kesakitannya.
Bersambung