Sejak pertama kali bertemu dengan kakak tirinya sepuluh tahun lalu, Gembira memang harus membiasakan diri untuk tidak berharap lelaki itu akan berbicara banyak hal padanya. Kakak tiri yang kerap ia sapa Kak Sultan, adalah sosok lelaki irit bicara, jarang tersenyum dan bersorot mata tajam.
Sultan Yafiq Al Ghifari.
Umurnya berjarak sepuluh tahun dengan Gembira. Dengan tubuh tinggi kekar. Cambang yang menghiasi rahang. Dan juga rambut gondrong yang kerap digulung ketika berangkat bekerja.
Gembira sangat mengagumi Sultan. Ia juga kerap membicarakan tentang kakak tirinya itu pada teman-teman sekolahnya. Gembira juga bercita-cita kelak ingin memiliki suami seperti Sultan. Meski terkadang begitu dingin padanya namun yang Gembira tahu, Sultan adalah tipe lelaki setia. Karena sepanjang ingatan Gembira, Sultan hanya mengencani satu wanita sejak sekolah menengah atas hingga sekarang yakni seorang gadis cantik berprofesi guru bernama Paramita. Terlebih, kakak tirinya itu adalah pria pekerja keras. Sultan juga begitu perhatian padanya, meski Gembira hanyalah seorang adik tiri bagi lelaki itu.
Namun kenangan akan kebaikan dan perhatian Sultan padanya hilang sudah sejak dua bulan yang lalu. Sultan yang memang pada dasarnya irit bicara, semakin menjaga jarak dengan Gembira. Tepatnya setelah sebuah insiden yang sengaja direncanakan oleh Gembira hingga membuatnya menyandang status sebagai istri Sultan. Sultan semakin tak terjangkau oleh Gembira. Jangankan untuk berbicara. Untuk menatapnya pun, sangat enggan lelaki itu lakukan.
"Kak, Kak Sultan." Gembira mengetuk pintu kamar kakak tiri yang sekarang sudah menjadi suaminya itu. Meski acap kali diabaikan, Gembira tidak pernah menyerah atau sakit hati akan perlakuan Sultan padanya. Karena Gembira sangat paham, kesalahannya pada lelaki itu amatlah besar. Sehingga, Gembira akan terus berusaha agar mendapat maaf dari Sultan, meski mungkin membutuhkan waktu tak sebentar.
Pintu kamar berpelistur itu akhirnya terbuka. Sosok Sultan yang sudah rapi dengan kemeja denim dan celana chino, kini sudah berdiri tinggi menjulang di depan Gembira, beserta tatapan sedingin kutub.
"Sarapannya sudah siap, Kak," cicit Gembira berusaha untuk tetap tersenyum di bawah sorot tajam sang kakak. Bohong, jika Gembira tidak merasa terintimidasi dengan tatapan dan sikap acuh Sultan padanya. Tetapi, semata-semata yang Gembira lakukan adalah untuk menebus rasa bersalahnya pada lelaki itu. Juga, berusaha menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Sultan tidak bereaksi apa pun. Lelaki itu masih menatap tajam Gembira untuk beberapa saat sebelum meninggalkan istri kecilnya itu di depan kamarnya tanpa sepatah kata pun.
Sabar, Gembira.
Gembira pun segera menyusul Sultan ke ruang makan. Ia sudah akan mengambilkan nasi ke atas piring di hadapan Sultan saat lelaki itu berdiri dengan cepat dan menimbulkan bunyi berderit cukup memekakkan telinga dari kaki kursi yang bergesekkan dengan lantai keramik.
"Mbok!" panggil Sultan pada pembantunya.
Mbok Ning tergopoh-gopoh datang. "Ya, Mas?"
"Saya mau berangkat. Jangan lupa kertas tugas untuk bocah ini!” perintah Sultan.
Mbok Ning mengangguk, patuh. Kertas yang dimaksud majikannya adalah kertas berisikan tugas-tugas rumah yang harus dikerjakan Gembira selama Sultan bekerja. "Mas Sultan nggak sarapan dulu?" tanya Mbok Ning yang melihat makanan di atas meja masih belum tersentuh sama sekali.
"Saya tidak selera. Buang saja!" jawab Sultan pergi begitu saja.
Gembira hanya mampu menatap masakannya di atas meja dengan nelangsa. Entah sudah berapa kali, makanan yang ia masak dengan susah payah ditolak oleh Sultan.
"Yang sabar, ya, Nduk." Mbok Ning mengusap wajah ayu Gembira, sembari tersenyum. Mencoba membesarkan hati gadis ayu yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
"Hati Mas Sultan masih tertutup amarah, jadi belum bisa menerima takdir pernikahan kalian. Nak Ira yang sabar ya,” kata Mbok Ning.
…
Gembira tidak pernah menyalahkan sikap acuh cenderung kejam Sultan padanya. Gembira berusaha mengerti akan kekecewaan kakak tirinya itu, karena memang Gembira sadar kesalahannya pada lelaki itu terlampau besar. Namun Gembira memiliki alasan tersendiri mengapa menjebak Sultan agar bisa menikahinya. Karena ia tidak tahu lagi harus pergi ke mana, disaat kini kandungannya semakin membesar. Sehingga, apapun yang dititahkan Sultan padanya, Gembira akan patuh menurut, selayaknya istri yang patuh pada sang suami.
Sejak hari pertama menyandang status sebagai istri dari Sultan Yafiq Al Ghifari, Gembira harus terbiasa dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang seabrek. Semua dilakukannya karena tak ingin membuat Sultan lebih kecewa lagi padanya, juga tak ingin menyulut api amarah lelaki itu.
"Istirahat dulu, Cah Ayu." Mbok Ning menghampiri Ira yang tengah menyetrika kemeja Sultan di samping ruang cuci. "Makan dulu, ini udah lewat tengah hari, kasihan lho yang di dalam perut kelaparan."
Gembira melirik pada ranjang pakaian yang belum disetrika, masih ada beberapa potong kemeja dan kaos milik Sultan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul dua siang, jika dia berhenti sejenak, Gembira hanya tak ingin saat Sultan pulang, pekerjaannya belum selesai. Karena biasanya Sultan pulang sekitar pukul dua atau tiga siang. Dan akan pergi lagi selepas Maghrib.
"Nanti biar Mbok yang bilang ke Mas Sultan, kalau tadi mati lampu dua jam, makanya setrikaannya belum selesai," kata Mbok Ning mencoba memberi solusi, melihat kegundahan majikan mudanya.
"Nggak, Mbok. Kak Sultan nggak mungkin percaya," tolak Gembira dengan ide ART yang selama ini begitu baik padanya itu.
"Tapi tadi kan beneran mati lampu, Cah Ayu ...."
"Enggak, Mbok. Biar Ira selesaikan ini dulu baru makan," tolak Ira lagi dengan tatapan memohon. "Mbok lebih baik mengerjakan pekerjaan Mbok yang lain ya.”
“Jangan begini Cah Ayu, kasihan yang di dalem perut. Dari tadi Mbak Ira kerja terus, belum makan apa-apa lagi setelah sarapan. Mbok nggak mau Mbak Ira kenapa-napa.” Mbok Ning menatap Ira dengan prihatin. “Atau Mbok suapin mau ya, Mbak.”
Gembira kembali menggeleng, sembari tangannya tetap fokus menyeterika kemeja milik Sultan. Matanya sudah berkaca-kaca, mengingat nasib hidupnya yang sangat bertolak belakang dengan namanya.
Yang Gembira ingat, sejak kecil ia hanya hidup dengan sang mama. Bukan berarti ia tidak bahagia dengan kehidupannya bersama sang mama, hanya saja saat itu ia begitu iri melihat teman-temannya yang kerap diantar jemput oleh ayahnya. Sedangkan yang Gembira tahu, ayahnya meninggalkan dirinya disaat ia masih begitu kecil.
Gembira merasa bahagia saat akhirnya, sang mama menikah dengan papa Reyhan, ayah dari Sultan. Impian Gembira untuk memiliki ayah akhirnya terwujud. Namun sayangnya, Tuhan hanya memberikan kebahagiaan yang sekejap mata, karena seminggu setelah pernikahan itu terjadi, mama tercinta dan papa barunya harus pergi untuk selamanya.
Gembira yang hidup seorang diri di Jakarta mau tidak mau harus tinggal di rumah Sultan bersama dengak adik kandung papa Reyhan yaitu Tante Sarah dan tentu saja dengan Sultan.
Usapan lembut di kepalanya, membuat Gembira tersadar dari lamunan. “Ya sudah, nanti kalau sudah selesai setrikanya, Mbak Ira langsung makan ya.” Mbok Ning kembali mengingatkan dengan manik yang juga berkaca-kaca.
“Makasih, Mbok.”
…
Tepat saat Gembira mencabut kabel setrikaan, begitu selesai dengan pekerjaannya, suara Sultan terdengar hingga ke laundry room. Gembira buru-buru merapikan penampilannya untuk menyambut sang suami. Berjalan sedikit tergesa menghampiri Sultan yang rupanya tengah berbicara dengan seseorang di telepon.
Gembira diam menunggu di belakang Sultan, yang berdiri di tengah ruang keluarga. Berbicara entah dengan siapa dengan suara begitu lembut. Dulu pun Sultan berbicara lembut padanya. Gembira bahkan masih ingat dengan jelas, saat ia sakit dan mogok makan, maka Sultan akan menghiburnya dan membujuknya dengan suara lembut yang akhirnya membuat Gembira membuka mulut untuk makan.
Gembira masih mengamati punggung tegap yang berdiri membelakanginya. Punggung yang kerap menggendongnya saat mereka bermain bersama. Namun kini, saat status mereka sudah menjadi suami istri, menyentuh tangannya pun Gembira pun tak bisa, karena Sultan benar-benar sudah tak terjangkau olehnya.
“Sedang apa kamu di sini?” bentak Sultan yang tekejut begitu membalikkan badan dan mendapati Gembira berada di balik punggungnya.
“Kak.” Gembira tersenyum takut-takut sembari mengulurkan tangan kanannya bermaksud untuk mencium tangan sang suami. Meski kerap mendapat penolakan, namun Gembira tak juga jera untuk selalu mencobanya.
Sultan hanya menatap acuh lengan putih yang terulur ke arahnya. Ia tak akan pernah lagi bersedia Gembira mencium tangannya. Tidak, setelah perempuan muda itu menghancurkan mimpinya untuk bisa bersanding dengan wanita yang dicintainya. Kini ia justru harus menikahi perempuan yang usianya bahkan belum genap dua puluh tahun, yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri.
Manik Gembira sudah memerah dan berkaca-kaca melihat keterdiaman Sultan. Ia diabaikan lagi. Bahkan hanya untuk mencium tangannya saja, pria itu tidak mengizinkan. Dengan gemetar Gembira menarik kembali tangan kanannya, lalu sedetik kemudian ia berusaha untuk menampilkan senyum terbaiknya.
“Kak Sultan mau makan sekarang? Biar Ira siapkan. Hari ini Ira masak ….”
Sultan yang muak dengan sikap perhatian Gembira padanya melayangkan tatapan tajamnya pada Gembira. Lelaki itu muak, dengan sikap Gembira yang seolah-seolah, mereka menikah karena sebab saling mencintai. Karena nyatanya, ini adalah pernikahan neraka yang Gembira ciptakan sendiri dengan menjebaknya.
“Saya sudah sering bilang padamu, Gembira. Jangan pernah …”
“Menganggap pernikahan ini pernikahan sungguhan.” Gembira melengkapi kalimat Sultan yang sengaja dipenggalnya. “Ira tahu, Kak. Ira paham, Kak Sultan masih marah. Tapi ….” Gembira tidak melanjutkan kalimatnya karena kini Sultan sudah berbalik dan menaiki tangga, meninggalkannya dengan perasaan terluka kesekian kali.
Bersambung