***
Di atas ranjang, Mary berbaring dengan posisi miring, kedua kakinya ditekuk. Matanya terlihat sembab akibat terlalu banyak menangis. Sejak ditinggalkan oleh Nathan sekitar dua jam yang lalu, yang bisa dilakukan Mary hanyalah menangis.
Ia ingin sekali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya kepada Nathan, tetapi di sisi lain, Mary juga takut Nathan tidak akan mempercayainya. Hanya dengan menyampaikan penjelasan tanpa bukti apapun, rasanya mustahil ada orang yang akan mempercayainya, bahkan Nathan, kekasihnya sendiri.
Di mata Mary, Nathan adalah pria yang sangat baik dan tulus. Sempurna. Pria itu memperlakukan Mary dengan sangat lembut, sehingga rasanya kecil kemungkinan pria itu akan menyakiti perasaannya andai saja ia berkata jujur.
Namun, percayalah, berada di posisi Mary saat ini bukanlah hal yang mudah. Rasa trauma membuat pikirannya kacau, ditambah sudut pandang yang selalu negatif membuatnya kesulitan untuk bercerita kepada orang lain.
Mary tidak ingin memendam semua ini sendirian, tetapi rasa takut itu seolah tak mampu dilawannya. Bayang-bayang kejadian malam itu terus menghantuinya, mencekiknya hingga ia merasa sulit bernapas. Semua rasa sakit dan sesak bercampur menjadi satu.
Menit berlalu… Helaan napas berat lolos dari bibir Mary. Ia mengusap air matanya di sekitar wajah dan kemudian menegakkan tubuh. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar hingga terpaku pada pintu yang tertutup rapat.
Dengan tekad, ia menarik pandangan dan turun dari ranjang, melangkah ringan keluar dari kamarnya. Mary berniat menuju dapur karena ia kehausan. Namun, niatnya terhenti saat melihat ruang tengah yang terang.
Mary ingat sebelumnya ia mematikan lampu utama dan hanya meninggalkan lampu kecil. Sejenak, ia berpikir mungkin saja Nathan yang menyalakan lampu saat pria itu datang tadi dan lupa mematikannya sebelum pergi.
Sebelum menuju dapur, Mary memutuskan untuk mematikan lampu utama di ruang tengah. Namun, langkahnya terhenti, pandangannya terpaku pada sofa panjang di sana. "Nathan?" lirihnya menyebut nama sang kekasih.
Ya, ternyata Nathan tidak pulang. Pria itu tidak meninggalkan Mary sendirian dalam keadaan terpuruk. Nathan hanya memberi ruang dengan meninggalkan Mary di kamar, sementara dia memilih beristirahat di ruang tengah di atas sofa.
Kini, pria itu berbaring dengan posisi terlentang di atas sofa panjang, meskipun sofa tersebut tak bisa sepenuhnya menampung panjang tubuhnya.
Dengan langkah ragu, Mary mendekat ke arah sofa, berhenti di dekat pria itu dan menatapnya lekat-lekat dengan perasaan getir. Nathan menutup matanya dengan sebelah lengan yang terletak di atas wajahnya.
"Kamu pasti sangat lelah," bisiknya lembut. "Seharian di luar kota dengan pekerjaanmu yang sangat padat. Saat kamu pulang, aku malah menyambutmu seperti ini. Seharusnya aku tidak memperlakukanmu seburuk ini. Hatimu pasti sakit sekali dengan sikapku." Air mata kembali menetes di pipi Mary, tak dapat menahan rasa sesak yang menghimpit d**a.
Semakin ia memikirkan tindakannya terhadap Nathan, hatinya semakin sedih. Rasa bersalah terus menggerogoti hatinya, dan ia menganggap dirinya sangat jahat terhadap pria baik hati itu.
Mary merendahkan tubuh, bersimpuh di lantai dekat sofa. Dengan lembut, ia meraih salah satu tangan Nathan yang terletak di atas perutnya, lalu membawa tangan itu dekat ke bibirnya dan mengecupnya lama. Air mata Mary menetes di punggung tangan Nathan.
Ia menangis dalam diam, tak kuasa menahan rasa sesak. ‘Baru sekali aku jatuh cinta, dan itu kepadamu. Sudah sejak lama aku memendam perasaan ini,’ batin Mary.
‘Selama ini, aku mencintaimu dalam diam. Aku tidak berani mengungkapkannya karena aku sadar hatimu telah diisi oleh wanita lain. Kamu, yang ternyata mencintai Jihan, sahabatku sendiri.’
‘Setelah aku tahu siapa wanita itu, aku merasa perasaanku untukmu sia-sia. Aku sadar aku tidak akan bisa bersaing dengan Jihan. Aku bukan siapa-siapa. Disisi lain, aku juga sadar betapa kamu sangat mencintainya.’
Semakin hatinya berbisik pilu, semakin Mary sesenggukan.
‘Namun... di saat kamu memutuskan untuk melupakan dia dan memulai sesuatu yang baru bersamaku... aku sangat bahagia, Nathan. Aku merasa perasaanku tidak berakhir sia-sia.’
"Aku tidak tahu seberapa besar cinta yang kamu miliki untukku... tapi percayalah, cintaku jauh lebih besar. Itu sebabnya aku ingin kita berpisah. Aku tidak rela pria yang sangat baik ini mendapatkan wanita yang tidak layak baginya.’
‘Aku tidak layak untukmu, Nathan. Sekalipun aku jujur dan kamu berbesar hati menerimaku, itu hanya akan membuatku sakit. Selamanya, aku tidak akan bisa sebahagia dulu. Tidak ada lagi yang bisa aku banggakan di hadapanmu. Kamu mungkin bisa menerima, tapi tidak denganku. Aku tidak bisa... Maafkan aku.’
Mary menjauhkan bibirnya dari punggung tangan Nathan dan mengusap lembut air matanya di atas tangan pria itu. Ia bergerak semakin dekat ke pinggir sofa, lalu melingkarkan satu tangan di perut Nathan— seolah memeluk pria itu.
Ia pun merebahkan kepala di atas tepi sofa, dengan posisi duduk di lantai, mencoba menutup mata tanpa memperdulikan lehernya yang akan pegal karena posisinya yang kurang nyaman.
Kini sudah 30 menit berlalu, Mary tetap berada di posisinya, duduk di lantai dengan kepalanya yang direbahkan di tepi sofa. Sebelah tangan melingkar di tubuh Nathan, seolah memeluknya. Mary terlelap dengan nyenyak, sementara jejak air mata masih terlihat di punggung tangan yang menjadi sandarannya.
Di sisi lain, Nathan menjauhkan tangan dari wajahnya dan menatap Mary yang terlelap dengan perasaan getir. ‘Kamu benar-benar membuatku bingung, Sayang. Sebenarnya, apa yang membuatmu sampai seperti ini? Apa yang sudah terjadi pada dirimu?’ batin Nathan.
Sejak Mary menghampirinya, Nathan sama sekali tidak tidur. Ia hanya berpura-pura tidur. Dalam hati, ia berharap Mary akan mengungkapkan apa yang terjadi, namun yang terjadi justru sebaliknya; Mary hanya menangis.
Tanpa ia ketahui, Mary hanya membatin pilu, mengungkapkan semua rasa sesak yang ada di dalam hati, sehingga ia tak dapat mendengar atau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan gerakan hati-hati, Nathan menyingkirkan tangan Mary yang ada di atas perutnya, lalu menegakkan tubuh. Ia pun bangkit dari tempatnya dan menggendong tubuh lemah Mary, membawanya ke kamar.
Setibanya di kamar, Nathan membaringkan tubuh Mary di kasur dengan gerakan lembut, seolah takut akan menyakiti wanita itu. Setelahnya, ia berbaring di samping Mary, membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya.
‘Tidurlah. Semoga saat kita bangun besok, semuanya bisa kembali seperti semula. Aku ingin menemukan Mary-ku yang selalu tersenyum ceria,’ batin Nathan, seraya mendekatkan tubuhnya yang hangat kepada kekasihnya.
Selama mereka berhubungan, ini adalah pertama kalinya mereka tidur di ranjang yang sama. Meskipun Nathan memiliki akses bebas ke apartemen Mary dan bisa datang kapan saja, hubungan yang terjalin antara mereka cukup sehat.
Selama ini, hal-hal intim yang mereka lakukan hanyalah berpelukan dan berciuman. Nathan tidak pernah melakukan hal lebih terhadap Mary, bukan karena ia tidak mau atau tidak tertarik. Bahkan, ia sangat menginginkan wanita itu, tetapi ia menghargai Mary sebagai wanita yang sangat dicintainya.
Jika Mary menganggap remeh perasaannya, maka wanita itu salah besar. Nathan sangat mencintainya, dan pria itu tulus kepadanya. Nathan bersungguh-sungguh ingin membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, karena pria itu ingin menjadikan Mary satu-satunya miliknya.
**
Di tempat lain, di apartemen yang dihuni oleh Olso dan Victor, terlihat Olso duduk di sofa dengan sebuah laptop yang menyala di atas pahanya. Pria itu fokus menatap layar yang terang di depan wajahnya, sementara jari-jarinya berselancar di atas keyboard dan mouse secara bergantian.
Sesekali, keningnya tampak berkerut saat memperhatikan layar. Namun, detik berikutnya, suara pintu apartemen yang terbuka sontak menarik perhatiannya. Olso pun segera menoleh, mengalihkan pandangan ke arah pintu dan melihat Victor yang baru saja masuk dengan kening berkerut.
"Aku pikir kau tidak akan pulang," ucap Olso kepada Victor. Wajar saja ia berkata demikian, karena saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi, dan Victor baru saja kembali ke apartemen entah dari mana.
Olso menatap Victor dengan lekat. Pria itu maju tanpa berniat menghiraukan ucapan Olso barusan. "Oh iya, beberapa menit lalu aku mendapat kabar dari Simon. Transaksi yang sudah kau jadwalkan ditolak oleh klien," ucap Olso menyampaikan informasi yang sebelumnya ia terima dari salah satu rekannya di Florida.
Victor menghentikan langkahnya di dekat Olso, menatap pria itu sambil berdiri dengan tangan berkacak pinggang, tanpa ada niat untuk duduk. "Alasannya?" tanyanya, keningnya tampak berkerut.
Olso mengedikkan bahu. "Alasannya kurang jelas, dan menurutku tidak masuk akal. Yang Simon sampaikan adalah klien ingin bertemu langsung denganmu. Aku curiga, sepertinya dia tertarik padamu untuk didekatkan dengan anak gadisnya."
Victor berdecak, tampak acuh. "Putrinya terlalu becek," ucapnya dengan frontal.
Seketika, Olso dibuat cengok olehnya. "What...? Apa yang kau bilang? Gadis itu digilai oleh banyak pria di Florida, dan bisa-bisanya kau mengatai dia becek?" Olso menjauhkan laptop dari pahanya dan meletakkannya di atas meja. Menatap serius pada Victor. Si b******n tengik. "Jangan bilang kalau kau sudah pernah memakainya, makanya kau tahu kalau dia becek. Kau benar-benar sialan, Victor!" Ia menggelengkan kepala dengan ekspresi dramatis.
Victor mendengus lalu mengibas tangan ke udara. "Aku tidak tertarik untuk membahasnya. Untuk masalah transaksi, biar aku urus nanti. Dan bagaimana soal Mary? Kau sudah berhasil mendapatkan informasi tentang siapa kekasihnya?" tanyanya kepada Olso.
Pria itu memutar mata dengan malas. "Setelah tadi kau mengatai anak gadis orang becek, sekarang kau masih ingin mengejar wanita yang kau perkosa? Sungguh b******n!" Olso menyindir.
Victor tak menghiraukan. Ia menarik diri dari Olso dan melangkah menuju kamar. "Segera cari tahu, Olso. Besok pagi aku sudah harus tahu siapa kekasih si wanita bar-bar itu," ucapnya sambil berjalan.
"Semoga saja kekasih si cantik Mary itu seorang Mafia, biar dia dihajar habis-habisan!" gerutu Olso seraya kembali membawa laptopnya ke atas paha. Ia melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi gara-gara si b******n Victor.
***