Lydia POV
Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak karena merasa kesal atas sikap Daniel padaku. Pergi tidak berpamitan dan ditambah lagi tidak mengabariku jika saja aku tidak dulu mengabarinya.
Mama dan Papa sudah pergi hampir setengah jam yang lalu ke Ruko yang akan kami gunakan untuk toko kue. Sedangkan aku sekarang sudah siap untuk pergi kerumah nenek. Hampir dua bulan aku tidak berkunjung kesana membuatku rindu.
Aku menggunakan motor matic keluaran terbaru, beberapa bulan yang lalu Papa membelikanku. Sebagai hadiah untukku karena lulus dengan nilai bagus meskipun aku belum bisa kuliah seperti temanku yang lainnya.
Sedih memang namun apa dayaku yang hingga saat ini belum bekerja justru malah dinikahkan. Keinginan untuk kuliah seperti sebuah angan-angan saja kalah telak lagi dengan Daniel yang lulusan S1.
Aku kembali fokus pada motorku, dan memakai helm SNI tak lupa aku memasang kancing helm agar lebih nyaman ketika dipakai. Kuputar kunci motor dan menstrater pelan lalu kulajukan dengan kecepatan sedang.
Rumah nenek lumayan jauh dari rumahku, aku tinggal dipusat kota sedangkan rumah nenek berada dipinggir kota bahkan hampir masuk perbatasan kota sebelah yaitu kota Reog.
Jika biasanya aku bersama Papa membutuhkan waktu satu jam setengah, sedangkan jika aku mengendarai sendiri hampir dua jam. Karena
Papa dan Mama sudah mewanti-wanti ku sejak tadi. Tidak boleh ngebut, tidak boleh menyalip mobil depan, pelan-pelan saja yang penting sampai dengan selamat.
Nasihat kedua orang tuaku yang tidak pernah kulupakan hingga tiba dirumah nenek. Syukurlah kini aku sudah memarkir motorku dihalaman rumah nenek.
Rumah nenek adalah rumah kuno jaman dulu, lebih tepatnya joglo. Namun jangan salah nenek adalah seseorang yang sangat telaten menjaga kebersihan. Rumahnya yang hampir 45 tahun itu masih terawat indah dan baik.
Aku mulai turun dari motor setelah memandangi rumah di depanku ini dari halaman. Tak lupa aku mengambil bikisan yang kubawa dari rumah tadi. Mama menyarankan aku untuk membawa bingkisan kesukaan nenek yaitu roti bolu rasa pandan.
Rumah itu masih tertutup rapat meskipun jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Aku mengetuk pintu dengan pelan. Namun belum juga ada jawaban dari dalam.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku yang tak lain adalah bik Surti tetangga sebelah nenek. Aku tersenyum kearahnya dan bertanya.
"Tiangipun teng pundi nggeh bik?" Tanyaku menggunakan bahasa daerah orang sini.
"Orangnya kemana ya bik?"
"Waduh mbak, mbok Mirah ora enek omah. Wonge melu pak Yudi nek omahe."
"Haduh mbak, nenek Mirah tidak dirumah. Beliau ikut pak Yudi kerumahnya."
Aku menghembuskan napasku panjang, jauh-jauh dari kota sampai kesini tidak ada orangnya. Sungguh kesialan hari ini ada-ada saja.
"Napa tasek dangu bik?"
"Apa masih lama ya bik?"
"Aku kok ora eruh to mbak, uwes pirang-pirang dino sakjane nek omahe pak Yudi. Tapi kapan mulihe aku nggak ngerti."
"Aku tidak tahu mbak, sudah beberapa hari sebenarnya dirumah pak Yudi. Tapi masalah kapan pulang saya tidak tahu"
"Nggeh mpun nek ngoten, matursuwun nggeh bik."
"Ya sudah kalau begitu, terimakasih ya bik"
"Iya mbak podo-podo"
"Iya mbak sama-sama " Bik Surti langsung pergi dari hadapanku dan aku pun segera naik keatas motor kembali.
"Loh kok udah pulang Lyd? Katanya mau pulang agak malam?" Pertanyaan Mama terdengar setibanya aku di dalam rumah. Aku melirik jam dinding menunjukkan pukul dua siang.
"Nenek nggak dirumah." Balasku lesu seraya melirik Mama yang sedang sibuk mencari sesuatu di depanku.
"Emangnya nenek kemana?"
"Kerumah paman Yudi." Paman Yudi adalah adik papa. Nenek memiliki tiga anak yang paling tertua adalah Papa, kedua paman Yudi dan yang terakhir adalah bibi Aminah.
Anak ketiganya memilih membuat rumah sendiri, namun yang paling dekat dengan rumah nenek adalah paman Yudi.
Mungkin sekitar setengah jam perjalanan dari rumah nenek tapi aku tidak memilih kesana karena tujuan utamaku adalah rumah nenek.
"Kan deket, kenapa nggak kesana aja?"
"Males Ma, aku kan pengennya kerumah nenek bukan kerumah paman." Aku mengerucutkan bibirku tanda kesal.
"Ya udah lain kali aja kesana lagi sama suamimu."
"Ya kalau ma--"
"Assalamualaikum" tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara baritone menyela pembicaraan kami.