Anggita tengah berada disebuah universitas swasta ternama di Jakarta. Anggita bersama Kiara, sahabat baik Anggita semenjak di bangku SMA untuk mengambil formulir pendaftaran. Anggita dan Kiara janjian untuk bertemu langsung di Universitas Trisula dan mengambil formulir bersama-sama.
Dua tahun silam, Anggita mengalami kecelakaan saat Anggita hendak pulang ke rumahnya. Akibat dari kecelakaan itu Anggita pun tidak mengingat apapun mengenai dirinya. Anggita pernah berusaha mengingat masa lalunya namun hasilnya sakit kepala hebat datang dan membuat Anggita pingsan seketika. Karena kecelakaan yang Anggita alami dua tahun silam, keluarga Anggita semakin protektif pada Anggita. Anggita tidak mendapat izin dari keluarganya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia karena menurut keluarganya, Anggita tidak bisa hidup sendiri.
Akhirnya Anggita memutuskan kuliah di Universitas Trisula dan Anggita akan tinggal bersama Oma nya di Jakarta selama Anggita melanjutkan pendidikannya dibangku perkuliahan. Anggita lebih memilih menuruti kemauan Papa, Mama, Angkasa serta Omanya karena Anggita begitu ingin kuliah di luar Bandung. Anggita juga ingin mencoba hidup mandiri namun kondisinya tidak memungkinkan.
"Kiaraaa!" Teriak Anggita sambil melambaikan tangannya pada Kiara yang sedang mencari-cari keberadaan Anggita.
Kiara memutar bola matanya malas karena Anggita semakin hobi meneriakan namanya membuat semua orang menoleh dan membuat Kiara menjadi pusat perhatian. Kiara buru-buru mendekati Anggita sebelum Anggita kembali berteriak meneriakan nama lengkapnya.
"Git! Bisa kan loe ubah kebiasaan loe di Bandung. Jangan dibawa-bawa ke Jakarta sih! Malu gue!" ucap Kiara dengan nada kesal.
Anggita pun terkekeh, "Maaf.. Maaf.. Gue lupa.. Abis loe nggak liat-liat gue padahal gue uda kasih tangan,"
Kiara memutar bola matanya lagi. "Ya kan bisa gak usah pake toa," ucap Kiara kesal.
Anggita pun mengamit lengan Kiara dan mengajak Kiara menuju ruang pengambilan formulir pendaftaran. Anggita mencoba mengalihkan Kiara sebelum Kiara semakin kesal dan marah padanya. Anggita pun segera mengajak Kiara beranjak dari tempat mereka berdiri.
Anggita dan Kiara sedang berjalan dan melewati ruang kaca dimana didalamnya ada beberapa mahasiswa dengan seorang pria yang sedang berdiri dan Anggita perkirakan pria itu mungkin Dosen atau paling tidak asisten dosen. Anggita terdiam ditempat ketika melihat pria tersebut.
Anggita mematung ditempat memandang pria yang sedang memberi arahan dalam ruang kaca itu. Pria itu menggunakan kemeja navy lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Rambut pria itu disisir ke arah belakang sedikit berantakan. Sebuah kaca mata bertenger di hidung macungnya, Rahangnya terpahat sempurna menambah kesan maskulin dan tatapannya begitu tegas saat berbicara.
Dalam sekejap air mata Anggita jatuh tanpa Anggita rencanakan. Air mata itu jatuh menatap pria itu yang terasa familiar dimata Anggita. Hati Anggita tiba-tiba berdebar cepat memandang pria itu. Anggita merasakan hatinya berubah begitu berdebar-debar dan terselip rindu disana membuat Anggita bingung.
Kiara memperhatikan Anggita dan mengikuti arah pandangan Anggita dengan kening berkerut. Pasalnya Kiara kaget dengan keterdiaman Anggita dan yang membuat Kiara semakin terkejut dan bingung adalah tiba-tiba Anggita menangis hanya dengan memandangi pria yang berada didalam sebuah ruang kaca.
"Git?" panggil Kiara menyadarkan Anggita dari lamunannya.
Anggita kembali kedunia nyata dan mengusap Air mata yang mengalir dipipinya. Hatinya mengenal pria itu. Anggita merasa familiar dengan orang itu tapi Anggita tidak bisa menginggatnya. Anggita mencoba mengingat-ingat orang itu namun kepalanya kembali sakit.
"Git, Kok diem? Eh, Loe kenapa? Kok muka loe pucet," ucap Kiara panik. Kiara memapah Anggita dan membawa Anggita duduk dikursi yang berada didekat mereka.
"Loe kenapa? Sakit kepala lagi?" tanya Kiara lagi masih dengan nada panik.
Anggita menarik nafas perlahan mencoba menenagkan dirinya. Anggita mencoba diam sejenak agar sakit kepalanya hilang. Kiara yang menyadari kondisi Anggita pun membiarkan Anggita mengambil waktu untuk diam sejenak. Keduanya berharap kondisi Anggita perlahan membaik.
"Loe kenal orang itu?" tanya Kiara lagi.
Anggita menggeleng.
"Kepala loe masih sakit? Jangan dipaksa Git, nanti juga loe inget semuanya," ucap Kiara sambil mengelus lengan Anggita dan Anggita tersenyum tipis menanggapi ucapan Kiara.
Empat tahun berlalu dan tidak satu pun kenangan masa lalunya yang ia ingat. Kecelakaan yang Anggita alami membuat Anggita harus berusaha lebih keras untuk belajar dalam segala hal agar Anggita tidak ketinggalan karena kondisinya. Beruntung Anggita termasuk dalam kategori anak pandai sehingga Anggita tidak begitu kesulitan ketika harus belajar banyak hal.
Anggita dan Kiara pun kembali berjalan ke ruang pendaftaran setelah Anggita merasa lebih baik. Anggita kembali mengingat-ingat wajah pria itu. Anggita berharap kalau pria itu adalah salah saatu orang dari masa lalunya, Anggita akan segera mengingatnya.
Anggita sedang menunggu Kiara mengambil formulir ketika HP nya bergetar. Nama Angkasa muncul pada layar pipih itu. Anggita tersenyum tipis dan mengangkat panggilan dari Angkasa.
"Ta, kamu dimana? Mas Asa udah sampe dirumah Oma," ucap Angkasa disebrang sana.
"Tata dikampus Mas, lagi ambil formulir pendaftaran. Mas Asa baru sampe?"
"Iya, kamu sama siapa? tadi dianter Oma?"
"Sama Kiara Mas. Iya tadi Oma sama Mang Didi anter cuma Tata di tinggal di kampus,"
"Pulangnya kabarin Mas ya. nanti Mas jemput,"
"Nggak usah Mas, Tata bareng Kiara aja,"
"Dijemput Mas Asa atau Dijemput Mang Didi itu pilihan kamu Ta," ucap Angkasa dengan penekanan.
Anggita menghela nafasnya. Angkasa semakin protektif pada Anggita dan jika sudah seperti ini Anggita akhirnya hanya bisa mengalah.
"Dijemput Mang Didi aja. Mas Asa mending istirahat aja. Pasti Mas Asa capek," ucap Anggita dengan nada menyerah.
Angkasa menghela nafasnya. "Ya sudah. Nanti pulangnya hati-hati. Ingat jangan pergi sendirian ya Ta, jangan naik motor juga, jangan lupa-"
"Jangan lupa liat kiri kanan kalau mau nyebrang kan Mas? Iya Tata inget semua ucapan Mas Asa. Mas Asa gak perlu khawatir," ucap Anggita memotong ucapan Angkasa.
Angkasa tersenyum tipis. Angkasa hanya khawatir dengan Anggita. Angkasa tidak bisa melihat kejadian dua tahun silam kembali terjadi. Kecelakaan dua tahun silam adalah masa sulit bagi keluarganya. Melihat Anggita tidak berdaya di ranjang pasien dan ketika Anggita siuman tidak seorang pun dari keluarganya yang Anggita kenali.
Saat itu, ketika Anggita tidak mengenali siapa pun, Mama Anggita histeris. Anika menangis dalam diam. Papanya berusaha menengangkan Mamanya dan Angkasa tau Papanya sama terpukulnya. Angkasa sendiri kaget bukan main. Angkasa menyesal. Andai saja Angkasa berkuliah di Bandung, maka Angkasa pasti ada disamping Anggita dan mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.
"Iya, adek Mas emang paling pinter. Jaga diri ya Ta," ucap Angkasa mengakhiri pembicaraan.
"Iya Mas, nanti sampai rumah Tata ke kamar Mas Asa,"
"Ya sudah, Mas tutup ya teleponnya,"
"Iya.." jawab Anggita singkat.
Anggita memasukan teleponnya dan mengangkat wajahnya. Pandangannya bertemu dengan pandangan pria yang tadi sedang memberikan arahan diruang kaca yang Anggita lewati. Pria itu sedang menatap Anggita tidak berkedip.
Anggita membalas tatapan pria itu tanpa sadar hingga pandangan mereka terputus saat Kiara datang.
"Git, ini formulirnya," ucap Kiara sambil menyodorkan formulir pada Anggita namun matanya malah melihat formulir yang berada di tangannya yang lain.
Anggita terkesiap dan menerima formulir yang Kiara berikan.
"Baca deh, kita harus lampirin foto copy raport Git," ucap Kiara sambil masih melihat formulir pendaftaran yang berada ditangannya.
Anggita membaca formulir pendaftaran yang Kiara berikan. Anggita mencari syarat yang tertulis di formulir itu. Anggita pun mengangguk menanggapi ucapan Kaira ketika menemukan syarat yang Kiara maksud.
"Kita sih bisa masuk nih Git, nilai rapot kita kan rata-ratanya 9, gue rasa diskon uang gedung kita bisa besar," ucap Kiara lagi.
Anggita mengangguk lagi sambil membaca.
"Gue daftar disini deh, kalo loe mau kita bareng," ucap Kiara lagi.
Anggita mengangguk dan mengikuti Kiara. Kali ini Kiara lah yang mengamit lengannya dan berjalan ke arah lobby kampus.
"Loe dijemput?" tanya Kiara sambil melepaskan tangan Anggita.
"Iya, Mang Didi jemput gue. Loe pulang naik transjakarta?"
Kiara mengangguk. "Gue duluan ya,"
Anggita mengangguk dan Kiara pun pergi meninggalkan Anggita sambil melambaikan tangannya. Anggita membalas lambaian tangan Kiara dan ketika punggung Kiara tidak terlihat lagi, Anggita mengambil HP nya dan mengirim pesan pada Angkasa.
Mas Asa : Mas, ini Tata udah mau pulang. Minta tolong bilang Mang Didi buat jemput aku ya,
Angkasa membaca pesan Anggita dengan cepat dan bukannya membalas pesan Anggita, Angkasa justru menelepon Anggita.
"Jangan kemana-mana, kamu tunggu di perpustakaan aja. Mang Didi udah Mas minta jemput kamu, inget ya Ta, jangan-"
"Inget Mas Asa. Tata inget harus hati-hati," ucap Anggita lagi-lagi memotong ucapan Angkasa.
Anggita sebenarnya lelah dengan sikap protektif Angkasa namun Anggita berusaha mengerti karena Angkasa pernah menjelaskan alasannya pada Anggita. Ketika sambungan telepon mereka terputus Anggita memilih menunggu di kursi tidak jauh dari lobby sambil mendengarkan musik dari earphonenya. Lagu favorite Anggita pun mengalun.
Lagi-lagi lagu Elvis presley berjudul i cant help falling in love with you kembali mengalun. Tanpa sadar Anggita mendengarkan lagu ini sambil tersenyum. Lagu ini akan selalu mengingatkan Anggita pada Radhikanya, entah apakah Anggita bisa menyebutkannya begitu. Anggita rindu. Anggita menyukai lagu ini. Anggita yakin sebelum ia kehilangan ingatannya, Anggita sering mendengarkan lagu ini. Lagu Elvis Presley ini sudah ribuan bahkan jutaan kali Anggita dengar tapi Anggita tidak pernah merasa bosan mendengarnya.
Sementara itu disebrang Anggita ada seorang pria memandang Anggita dengan tatapan rindu.
"Tata..." ucap pria itu dengan lirih.