Halo, perkenalkan, namaku Luna Aurelia Putri. Mungkin dari luar, hidupku terlihat sempurna. Aku punya pekerjaan yang bagus sebagai sekretaris di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta, aku bekerja untuk seorang CEO yang—jika dilihat dari luar—mungkin dianggap sebagai pria yang tampan dan sukses, dan gajiku cukup besar untuk membuat orang iri.
Tapi kalau kamu ingin tahu kebenarannya? Pekerjaanku ini adalah sebuah ujian sabar yang tak ada habisnya. Kenapa? Karena bosku itu adalah Aeron Nathaniel Wijaya, CEO dingin dan arogan yang tidak pernah menunjukkan rasa peduli kepada siapa pun kecuali pada kesuksesan bisnisnya. Orang lain mungkin akan lari setelah bekerja untuknya selama seminggu, tapi entah bagaimana aku berhasil bertahan selama dua tahun ini. Ya, aku mungkin bisa dianggap sebagai sekretaris paling sabar sedunia.
Saat pertama kali aku diterima di perusahaan ini, aku mengira ini adalah kesempatan emas. Pekerjaan di perusahaan besar, dengan gaji tinggi dan tunjangan yang luar biasa. Lagipula, siapa yang tidak ingin bekerja dengan pria seperti Aeron yang, meskipun menyebalkan, Aeron itu pria yang sangat cerdas.
Dengan tinggi badan sekitar 180 cm dan wajah blasteran Korea-Indonesia, dia menarik perhatian banyak orang. Mata tajamnya sering mengintimidasi, terutama ketika dia berbicara tanpa menunjukkan emosi. Dari luar, dia tampak sempurna—seorang CEO muda yang sukses. Tapi kalau kau bekerja dengannya seharian seperti aku, kau pasti akan segera sadar bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan cara dia memperlakukan orang lain. Khususnya aku.
Aku ingat hari pertama bertemu dengan Aeron. Dia menatapku seolah-olah aku ini hanya bagian dari perabot kantor yang bisa dipindah-pindahkan sesuka hati. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan ramah. Hanya tatapan dingin dan perintah yang dilontarkan dengan nada tanpa emosi.
"Mulai hari ini, kamu sekretarisku. Jangan pernah buat kesalahan."
Tidak ada basa-basi, tidak ada ucapan selamat datang. Hanya perintah. Aku hampir ingin mundur saat itu juga, tapi aku sudah berkomitmen pada pekerjaan ini. Lagipula, aku bukan orang yang mudah menyerah. Jadi, aku bertahan. Dan dari sana, hari-hariku bersama Aeron Nathaniel Wijaya dimulai.
***
Meski Aeron punya sejuta kekurangan, ada satu hal yang bisa aku akui: dia sangat cerdas. Semua keputusan yang dia ambil selalu membawa perusahaan ini ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan ini berkembang pesat, dan meskipun aku sering merasa frustrasi dengan cara dia memperlakukanku, aku harus mengakui bahwa dia sangat profesional dalam pekerjaannya.
Namun, di balik sifat profesionalnya, ada satu hal yang selalu membuatku merasa aneh. Entah kapan tepatnya aku mulai merasakannya, tapi lambat laun, Aeron mulai menunjukkan sikap yang… berbeda padaku. Aku tidak bisa menyebutnya perhatian, karena dia tidak pernah bersikap manis atau romantis. Sebaliknya, dia justru semakin sering memaksakan kehendaknya. Tapi bukan sekadar urusan pekerjaan. Kadang-kadang, dia bertindak seolah-olah punya hak untuk ikut campur dalam hidup pribadiku.
Contohnya, ada hari ketika aku berencana untuk pulang cepat. Hari itu adalah ulang tahun ibuku, dan aku sudah berjanji akan datang lebih awal untuk merayakannya. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan, aku langsung mengemasi barang-barangku dan bersiap pulang.
Tapi tepat saat aku hendak meninggalkan kantor, sebuah pesan singkat muncul di layar ponselku.
"Luna, ke ruanganku sekarang."
Oh, tidak. Aku sudah tahu ke mana ini akan berakhir. Dengan langkah berat, aku kembali ke ruangannya, meskipun di dalam hati aku berdoa agar tugas kali ini cepat selesai. Ketika aku masuk, Aeron duduk di balik mejanya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sudah sangat aku kenal.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku, berusaha terdengar setenang mungkin.
"Aku butuh kamu menyelesaikan laporan ini." Dia mendorong tumpukan berkas ke arahku. Laporan itu cukup tebal, dan aku tahu pasti itu tidak akan selesai dalam hitungan menit.
"Maaf, Pak. Tapi saya sudah mengajukan izin pulang lebih awal hari ini. Ini hari ulang tahun ibu saya." Aku menatapnya berharap dia akan mengerti.
Aeron mengangkat satu alisnya, tatapannya seperti mengatakan bahwa alasan pribadi bukanlah hal yang penting di sini. "Laporan ini harus selesai sebelum besok pagi. Kamu bisa pulang setelah itu selesai."
Aku menghela napas panjang. Tentu saja, alasan pribadiku tidak ada artinya di matanya. "Baik, Pak," jawabku pasrah. Lagi-lagi, Aeron menang.
***
Hari-hari seperti itu bukan hal yang aneh bagiku. Tapi, momen paling aneh yang pernah terjadi antara aku dan Aeron adalah ketika dia tiba-tiba bersikeras mengantar aku pulang. Ya, CEO dingin yang tak pernah peduli pada orang lain tiba-tiba bersikeras untuk memastikan aku pulang dengan aman.
Hari itu, aku merasa sangat lelah setelah lembur. Sudah lewat jam sepuluh malam ketika aku akhirnya bisa keluar dari kantor. Jakarta di malam hari memang penuh dengan gemerlap lampu, tapi aku hanya ingin segera sampai di apartemen dan tidur. Sambil menunggu taksi di depan gedung kantor, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depanku.
Dan siapa yang ada di balik kemudi? Tentu saja, Aeron Nathaniel Wijaya.
"Luna, masuk," katanya tegas sambil menatapku melalui jendela mobil.
Aku terkejut dan tidak langsung merespons. "Maaf, Pak? Saya sedang menunggu taksi," jawabku sopan, meskipun dalam hati bertanya-tanya kenapa dia ada di sini dan kenapa dia mau mengantarku pulang.
"Taksi tidak aman di jam seperti ini. Aku akan antar kamu pulang." Perintahnya bukanlah sebuah saran, melainkan keharusan. Tatapannya yang tajam seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.
Aku mencoba menjelaskan. "Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah biasa naik taksi malam-malam begini."
"Luna, masuk ke mobil sekarang."
Aku berdiri terpaku sejenak. Jelas sekali, dia tidak akan membiarkan aku menolak. Tapi, kenapa? Sejak kapan dia peduli? Bukankah dia selalu bersikap dingin dan acuh tak acuh? Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Dengan berat hati, aku akhirnya menyerah dan masuk ke mobilnya.
***
Di dalam mobil, suasana hening dan canggung. Aku duduk di kursi penumpang, sementara Aeron mengemudi dengan fokus, pandangannya lurus ke depan. Rasanya aneh berada di sampingnya tanpa ada urusan pekerjaan yang dibicarakan.
Setelah beberapa menit dalam diam, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Pak, kenapa Bapak bersikeras mengantar saya pulang?"
Aeron tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap lurus ke jalanan di depannya. Hanya ada suara mesin mobil yang memenuhi keheningan. Aku mulai berpikir dia tidak akan menjawab, hingga akhirnya dia berbicara, meskipun tanpa menoleh kepadaku.
"Kamu penting untuk perusahaan ini. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."
Kalimat itu terdengar begitu datar, tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang tidak biasa dari cara dia mengatakan itu. Namun, aku tidak berani bertanya lebih jauh. Aku hanya mengangguk pelan dan kembali tenggelam dalam diam.
Tapi malam itu membuatku berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Aeron? Mengapa dia tiba-tiba menunjukkan perhatian yang tidak wajar? Dia tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya, dan sekarang, sepertinya dia semakin sering ikut campur dalam hidup pribadiku.
Aku tidak bisa memungkiri bahwa Aeron memang tampan, dan dalam situasi seperti ini, dengan lampu-lampu jalan yang menerangi wajahnya dari samping, dia terlihat semakin memikat. Tapi aku tahu lebih baik tidak jatuh hati pada pria seperti dia. Aeron Nathaniel Wijaya adalah pria yang dingin, penuh perhitungan, dan menyebalkan. Tidak ada tempat untuk perasaan romantis di antara kami.
Saat mobil berhenti di depan apartemenku, aku mengucapkan terima kasih dan bergegas keluar. Aku berharap bisa segera mengakhiri malam yang aneh ini dan melupakan semua kejadian di dalam mobil itu.
"Selamat malam, Pak," ucapku sopan sebelum menutup pintu mobil.
Tapi sebelum aku sempat berbalik, Aeron menatapku sekali lagi, kali ini dengan ekspresi yang sulit aku baca. "Luna, mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi naik taksi jika terlalu malam. Aku akan mengantarmu."
Aku terdiam. Ada apa dengan pria ini? Kenapa dia tiba-tiba begitu posesif?
"Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa mengurus diri saya sendiri."
"Aku tidak sedang bertanya."
Dan dengan itu, dia menutup jendela mobil dan melaju pergi, meninggalkanku berdiri di depan apartemen dengan kebingungan yang masih melingkupi pikiranku. Aeron Nathaniel Wijaya benar-benar membingungkan. Dia bisa begitu menyebalkan, tapi di saat yang sama, ada sisi dirinya yang membuatku sulit untuk benar-benar membencinya.
Aku masuk ke apartemen dengan pikiran yang penuh. Apakah ini hanya bagian dari sifat kontrolnya sebagai bos, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional di antara kami? Tapi satu hal yang pasti—hari-hari ke depan bersama Aeron akan menjadi semakin rumit.