Pernahkah kamu bertemu seseorang yang, meskipun wajahnya tampan dan memikat, punya kemampuan luar biasa untuk membuat darahmu mendidih? Ya, itulah bosku, Aeron Nathaniel Wijaya. CEO paling menyebalkan yang pernah ada. Kalau ada penghargaan untuk "Bos Paling Menyebalkan Sedunia", aku yakin dia akan memenangkan juara satu, dua, dan tiga sekaligus.
Setiap hari bekerja dengannya adalah sebuah ujian kesabaran. Aku, Luna Aurelia Putri, sekretaris pribadinya, mungkin sudah menjadi orang yang paling pantas mendapatkan penghargaan "Karyawan Paling Sabar Sedunia". Karena tanpa kesabaran, aku pasti sudah menyerah dan berhenti sejak hari pertama bekerja di perusahaan ini.
Bayangkan ini: pagi-pagi sekali, ketika aku baru saja menginjakkan kaki di kantor, telepon kantorku sudah berdering. Dan siapa lagi yang menelepon kalau bukan si perfeksionis menyebalkan itu.
"Luna, masuk ke ruanganku sekarang." Tanpa basa-basi. Itu kalimat pertamanya setiap hari. Tidak ada ‘selamat pagi’, tidak ada ‘bagaimana kabarmu?’. Hanya perintah.
Aku baru saja meletakkan tas di mejaku dan belum sempat menghela napas panjang ketika perintah itu datang. Bukannya aku ingin dikasihani atau apa, tapi... bisakah aku setidaknya menikmati satu cangkir kopi dulu sebelum harus berhadapan dengannya?
"Baik, Pak," jawabku sambil menekan perasaan malas yang menggumpal di dadaku. Setiap kali menjawab panggilannya, aku selalu merasa seperti robot. Bukan hanya karena nadanya yang datar tanpa emosi, tapi juga karena cara dia memperlakukanku seolah-olah aku hanya bagian dari alat-alat kantornya—seperti mesin fotokopi atau printer.
Aku mengetuk pintu ruangannya dengan hati-hati, meskipun aku tahu dia sudah menunggu di balik pintu itu. "Masuk," terdengar suara tegasnya dari dalam, sama sekali tidak ramah. Seolah-olah aku harus merasa bersyukur diberi izin untuk masuk ke wilayah kekuasaannya.
Ruangannya besar, dingin, dan minimalis—seperti pemiliknya. Hampir tidak ada sentuhan pribadi di sana. Semua terlihat begitu rapi dan steril, kecuali satu benda: laptopnya yang hampir selalu terbuka di atas meja, penuh dengan grafik dan laporan. Aku selalu berpikir, kalau ruangan ini bisa bicara, pasti dia akan mengeluh betapa kaku dan membosankan pemiliknya.
Di balik meja, duduklah Aeron Nathaniel Wijaya. Pria dengan wajah tampan yang bisa membuat siapa saja tergila-gila... jika saja dia tidak begitu menyebalkan. Wajahnya, dengan garis rahang tegas, mata yang tajam, dan bibir tipis yang jarang sekali tersenyum, bisa membuat hati wanita mana pun berdetak lebih cepat. Tapi tidak untukku. Setiap kali aku melihatnya, yang kutemukan hanyalah rasa frustrasi dan kesal yang tak kunjung hilang.
"Aku ingin jadwal meeting ini diubah." Lagi-lagi, dia berbicara tanpa basa-basi, langsung menuju poin. Oh, bukan hanya itu—perintahnya juga datang begitu mendadak.
Aku menatapnya bingung. "Maaf, Pak, jadwal meeting-nya sudah disusun sesuai rencana yang Bapak setujui minggu lalu."
"Aku tahu. Tapi aku ingin ubah sekarang."
Aku menarik napas panjang. Dia selalu begini. Semuanya sudah tersusun rapi—terjadwal dengan baik dan sesuai harapannya—lalu tiba-tiba saja, dia mengubah segalanya. Dan siapa yang harus mengatur ulang semuanya? Tentu saja aku, Luna si sekretaris. Aku sering berpikir, apakah dia menganggapku punya kekuatan sihir yang bisa mengubah waktu sesuka hati?
"Baik, Pak," jawabku akhirnya, mencoba tetap tenang meskipun dalam hati aku ingin melemparkan pena yang ada di tanganku ke kepalanya.
Oh, itu belum apa-apa. Masih ada banyak hal yang membuat Aeron Nathaniel Wijaya masuk dalam daftar bos terburuk sepanjang masa.
Misalnya saja, kebiasaannya yang membuatku harus lembur hampir setiap hari. Kau pikir, ini karena dia sangat sibuk? Salah! Terkadang, dia hanya sengaja menambah tugas-tugas yang sebenarnya bisa diselesaikan esok hari, hanya supaya aku tetap berada di kantor lebih lama. Entah mengapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya ingin menyiksaku secara perlahan. Mungkin ini cara dia bersenang-senang—melihat betapa frustasinya aku sambil menatap jarum jam yang terus bergerak maju.
Seperti tadi malam, misalnya. Tepat ketika aku sudah siap-siap pulang, Aeron tiba-tiba saja datang ke mejaku.
"Luna, aku butuh laporan ini selesai malam ini juga."
Aku menatap jam di dinding, sudah pukul tujuh malam, dan laporan yang dia minta baru saja diberikan oleh tim keuangan tadi sore. "Pak, saya kira laporan ini baru akan direview besok?"
"Aku berubah pikiran. Aku ingin hasilnya malam ini." Ucapannya singkat, seolah-olah dia tidak sadar bahwa dia baru saja menghancurkan rencana malamku. Dan dia bahkan tidak merasa perlu memberikan penjelasan lebih lanjut. Itulah masalah dengan Aeron, dia memerintah seperti seorang raja, tanpa memikirkan orang lain.
Malam itu, lagi-lagi aku harus mengorbankan waktu istirahatku demi menyelesaikan tugas yang sebenarnya bisa dikerjakan esok hari. Aku pulang dengan rasa lelah yang menumpuk dan kantung mata yang semakin menghitam.
Terima kasih, Aeron, kau benar-benar berhasil menghancurkan sisa energiku.
***
Oh, dan jangan lupakan betapa menyebalkannya dia saat bersikap posesif. Aku tahu, ini terdengar aneh, tapi Aeron punya cara yang aneh dalam menjaga jarak. Sebagai bos, dia jelas bukan tipe yang akan menunjukkan kepedulian pada bawahannya—setidaknya tidak secara langsung. Tapi entah mengapa, dia selalu merasa perlu ikut campur dalam kehidupan pribadiku.
Seperti suatu waktu ketika aku berencana pulang lebih awal karena sudah membuat janji dengan temanku. Pukul lima sore, aku sudah bersiap-siap meninggalkan kantor, tapi tepat saat aku akan keluar dari lift, teleponku berdering.
"Luna, di mana kamu?" suara Aeron terdengar dari seberang telepon. Nada suaranya, seperti biasa, dingin dan penuh otoritas.
Aku menelan ludah. “Eh, saya sudah pulang, Pak. Ada keperluan mendesak?”
"Pulang?" Aeron terdengar seolah-olah kata itu adalah sesuatu yang tabu baginya. “Siapa yang memberi izin? Aku belum selesai dengan briefing sore ini. Kembali ke kantor.”
Aku tertegun. Kembali ke kantor? Hanya untuk briefing? Bukankah kita bisa menyelesaikannya besok pagi?
"Tapi, Pak, saya sudah punya janji...,” jawabku mencoba memberi alasan, meskipun aku tahu itu tidak akan mengubah apapun.
"Janji itu bisa ditunda. Aku butuh kamu di sini sekarang."
Dan begitulah, dalam hitungan detik, rencanaku hancur berkeping-keping. Aku kembali ke kantor dengan hati yang berat, bertemu Aeron yang bahkan tidak terlihat sedikit pun merasa bersalah telah mengganggu waktuku.
***
Ada juga kebiasaannya yang memaksaku untuk menemaninya dalam acara yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Sering kali, dia memintaku menemani dalam makan malam bisnis yang seharusnya bisa dihadiri oleh staf lain. Tapi, entah mengapa, dia selalu memilih aku. Bukannya aku tidak suka dengan makan malam di restoran mahal, tapi masalahnya adalah… makan malam bersama Aeron bukanlah hal yang menyenangkan.
Bayangkan, makan malam dengan pria yang sepanjang waktu hanya membahas pekerjaan, tanpa sedikit pun mencoba memulai percakapan pribadi. Setiap pertanyaannya tentang hidupku selalu diiringi tatapan tajam seolah aku sedang diwawancarai untuk posisi CEO, bukan sedang makan malam santai.
Dan lebih parahnya lagi, dia pernah datang terlambat ke sebuah makan malam bisnis yang sangat penting. Alih-alih memberi tahu aku sebelumnya, dia malah membiarkanku duduk sendirian selama hampir satu jam di restoran mewah, menunggu bos besar yang entah sedang sibuk apa. Ketika dia akhirnya muncul, yang dia katakan hanyalah, "Maaf, aku terlambat."
Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada rasa bersalah. Hanya kata maaf yang diucapkan dengan datar.
Aku hampir melemparkan sendokku saat itu juga.
***
Setiap hari adalah ujian kesabaran, dan meskipun aku sering merasa kesal, aku juga tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa Aeron, meskipun menyebalkan, adalah pria yang sangat cerdas. Semua keputusan bisnisnya selalu tepat, dan meskipun dia dingin dan otoriter, tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan ini berkembang pesat di bawah kepemimpinannya.
Namun, itu tidak membuatnya lebih mudah untuk ditangani. Bagaimanapun, bekerja untuk Aeron Nathaniel Wijaya adalah pengalaman yang menguras emosi dan fisik. Tapi, di balik semua itu, ada satu hal yang selalu membuatku bertahan—gaji yang dia bayarkan cukup besar untuk membuatku tetap tersenyum, meskipun hanya saat aku melihat saldo rekeningku setiap bulan.
Jadi, jika kamu bertanya kenapa aku masih di sini meskipun harus menghadapi semua ini? Jawabannya sederhana: aku butuh uang, dan Aeron, meskipun menyebalkan, adalah bos yang membayar dengan sangat baik.
Tapi jujur saja, kalau suatu hari nanti aku tidak lagi kuat menghadapi kebiasaan-kebiasaan menyebalkan ini, mungkin aku akan benar-benar melemparkan pena ke wajah tampannya.