Zeline menghampiri pamannya di teras yang sedang membaca koran pagi ini. Sepertinya para wanita penguasa rumah belum terbangun.
"Paman," panggilnya.
"Ada apa, Nak?" Haris melipat korannya.
"Aku cuma merasa ada yang aneh dari Kak Cintya."
"Aneh kenapa?"
"Auranya kayak cemas banget gitu."
"Ya itu wajar kalau sudah menuju hari pernikahan."
"Oh, pernikahan itu buat cemas ya." Zeline masih ragu karena awalnya Cintya terlihat biasa saja. "Apa aku juga bisa menikah nantinya?"
"Pasti ada saatnya. Zel, maaf ya kamu dilarang hadir oleh bibimu." Penyesalan Haris kembali semakin menumpuk.
"Tidak apa, Paman. Aku 'kan juga tidak suka tempat ramai." Zeline tersenyum ke arah Haris. Dia tak mau melihat Haris selalu dalam bayang-bayang penyesalan. Zeline sudah sangat bersyukur masih ada Haris yang menyayanginya di dunia ini.
Sementara asyik mengobrol tak disangka salah satu penguasa bangun dari tidurnya yaitu Fenny, dia langsung memarahi Zeline karena bersantai. Haris tentu membela keponakannya yang membuat Fenny tidak bisa melakukan kekerasan fisik pada Zeline. Begitulah kehidupan Zeline tiap hari penuh dengan teriakan dan penindasan tiga penguasa, tapi jika Septya ada di rumah menjadi empat penguasa. Septya bisa dibilang lebih sadis daripada Cintya dan Listya. Zeline sebagai yang termuda dan target penindasan hanya bisa pasrah. Sudah mirip-mirip cerita Cinderella, bukan?
Hari pernikahan pun tiba. Akad dan resepsi akan dilaksanakan di aula hotel bintang lima. Semua disiapkan secara besar-besaran oleh Broto dan Rossy. Ini adalah pernikahan anak mereka satu-satunya tentu segala hal harus tampak sempurna.
Keluarga Haris sudah datang lebih dulu. Cintya diberi ruangan sendiri untuk didandani oleh penata rias. Sementara Haris, Fenny, dan Listya memakai ruangan bersama.
Fenny dan Listya yang sudah selesai berdandan pergi ke ruangan Cintya, namun betapa terkejutnya mereka ketika Cintya tidak ada. Penata rias juga tidak tahu karena tadi selesai didandani Cintya meminta mereka untuk keluar saja.
"Cintya angkat teleponnya?!" Fenny tampak marah. Teleponnya bahkan di reject dan ketika menghubungi kembali panggilan tidak tersambung sudah jelas ponsel Cintya sengaja dimatikan.
Listya segera menemui Haris memberi tahu kalau kakaknya hilang, itu terdengar oleh Broto dan Rossy. "Ada apa ini Haris, apa anakmu tidak mau menikah?" tanya Broto dengan wajah cemas. Apakah mereka harus menanggung malu, bagaimana bisa pesta pernikahan megah, tapi pengantin wanitanya kabur.
"A—aku juga tidak tahu Broto." Haris terlanjur malu akan kelakuan sang putri.
Darren yang melihat kecemasan orang tuanya berusaha mendekat. Dia tadi ia sedang berbicara dengan penghulu.
"Apa!?" Darren benar-benar tak percaya mendengar apa yang diberitahu sang mama.
Perempuan sialan! Dia kabur di hari pernikahan. Aku akan sangat malu kalau tidak jadi menikah hari ini! Darren mengumpat beberapa kali dalam hati. Koleganya dan para model diundang hadir, pengusaha besar teman papanya pun juga sudah hadir di sana. Kalau tidak jadi menikah selain malu, bisa-bisa rumor gay semakin mencuat.
Mereka berdiskusi di sebuah ruangan. Setelah memeriksa CCTV ternyata tidak ada gambar yang menangkap Cintya dan juga ada CCTV yang rusak.
Broto dan Rossy benar-benar kecewa pada Haris dan keluarga terlebih pada Cintya sang calon pengantin. Namun, pada dasarnya kedua suami istri itu tidak bisa marah, jadi mereka memilih diam.
"Bagaimana kalau menikah dengan Listya?" Fenny bersuara memberikan idenya agar masih bisa berbesanan dengan keluarga konglomerat dan terhindar dari malu.
"Mama, aku udah punya Lingga!" protes Listya. Tentu Broto, Rossy, dan Darren tidak setuju. Kalau dipaksakan pun akhirnya akan buruk karena Listya sangat mencintai kekasihnya. Bisa-bisa gadis itu memilih selingkuh. Fenny benar-benar merasa otaknya buntu. Ini bukannya berbesanan, tapi malah bermusuhan. Coba saja di sini ada Septya pasti anak pertamanya itu menggantikan, sayangnya Septya memilih tidak pulang karena masih ada tugas dan dia sedang serius mengerjakan tesisnya yang sudah hampir selesai.
"Bagaimana dengan Zeline?" Haris sekarang yang memberi usul. Bisa saja dengan keponakannya itu menikah menjadi awal yang baik bagi Zeline untuk mendapatkan kebahagiaan. Apalagi keluarga Broto adalah keluarga baik.
Fenny yang mendengar itu terlihat tak suka, begitu juga Listya. "Zeline keponakan kamu? Katanya dia sedang sakit?" tanya Broto. Memang Fenny selalu bilang bahwa Zeline sakit cukup parah hingga tak pernah bertemu dengan keluarga Broto.
"Dia sudah baik-baik saja, kalau semua setuju aku akan menjemputnya," balas Haris. Broto segera menanyakan apa Zeline mempunyai kekasih tentu jawabannya tidak.
"Saya setuju, Om Haris tolong jemput Zeline ke sini. Saya yang akan memberitahu untuk mengundur acara akad dan tentunya resepsi." Darren segera mengambil keputusan. Menurutnya sama saja mau menikah dengan siapa. Perempuan memang makhluk yang menyebalkan. Karena kejadian ini bertambah buruknya persepsi Darren terhadap sosok perempuan, ya kecuali mamanya, juga Aliqa, lalu tantenya, bunda Aliqa. Hanya beberapa perempuan yang menurut Darren memiliki sikap wajar.
***
Haris memarkirkan mobil, berlari masuk ke dalam rumah. "Zeline!" panggilnya. Zeline pun bergegas keluar dari kamar.
"Paman kenapa?" Begitu heran karena sang paman tampak ngos-ngosan.
"Ayo Nak ikut Paman." Zeline langsung saja ikut ke mobil Haris dan mobil itu melaju dengan cukup cepat membuat Zeline panik.
"Sebenarnya ada apa, Paman?"
"Kamu mau ya menikah dengan Darren?"
"A—apa?" Zeline sampai tergagap tak percaya.
"Cintya kabur, Nak. Harusnya kemarin Paman percaya sama kamu kalau Cintya auranya berbeda. Entah dia kabur ke mana, ponselnya dimatikan." Zeline tidak habis pikir, bagaimana bisa Cintya kabur di hari pernikahan.
"Tapi, kenapa aku yang gantikan?" Zeline merasa takut, dia bahkan tak kenal Darren dan keluarganya, meski yang ia tahu sepertinya keluarga Broto orang baik menurut auranya, tapi aura seseorang tentu bisa berubah sesuai kondisi, apalagi jika mereka tidak menyukainya.
"Zel, ini bisa menjadi kesempatan kamu untuk menemukan kebahagiaan kamu sendiri, Nak. Karena Paman dan keluarga paman hanya bisa memberi luka untuk kamu." Haris sangat berharap jika Zeline bahagia dengan keluarga baru.
Di saat Haris memberi harapan kepada Zeline. Fenny malah memfitnah Zeline.
"Apa katamu!? Sebenarnya Zeline itu tidak sakit, tapi dia adalah gadis yang mempelajari ilmu hitam, makanya kamu memintanya untuk tidak bertemu kami." Broto tak habis pikir, sedangkan Rossy sudah terlihat takut. Mereka hanya mengobrol bertiga sekarang, sementara Darren sedang di aula tempat acara.
"Kenapa kalian menyarankan Zeline dan tidak bilang apa-apa tadi?" tanya Broto kembali, Haris juga tidak memberitahunya.
"Suamiku sebenarnya sudah terpengaruh ilmu hitamnya. Jadi, dia tidak akan ingat kalau Zeline penganut ilmu hitam. Tadi aku tidak bilang karena takut terjadi pertengkaran dengan suamiku. Dia pasti akan membela Zeline mati-matian," terang Fenny meyakinkan. Wanita itu benar-benar berhati busuk.
"Ya sudah kita batalkan saja," usul Rossy. Broto tampak menyetujui, tapi Fenny mempunyai saran lain.
"Kalau saranku lanjut saja pernikahan ini karena sudah banyak tamu yang hadir. Nanti setelah Septya, putriku pulang dari Aussie beberapa bulan lagi, minta Darren menceraikan Zeline dan menikahi Septya." Fenny tentu lebih memilih Darren untuk menikah dengan Zeline sekarang, jika tidak, hilang sudah keluarga Broto dari genggamannya.
"Tapi, Zeline itu—"
"Tidak apa-apa, asal kalian jangan mengusiknya saja. Jauhi saja dia ketika bertatap muka, Septya pulang tidak akan lama lagi."
"Kalau Zeline marah saat Darren menceraikannya dan malah mengusik keluarga kami dengan ilmu hitam, bagaimana?" tanya Rossy.
"Tenang saja itu tidak akan terjadi karena aku tahu kelemahannya." Fenny tersenyum dalam hati karena suami istri itu setuju dan dia tidak akan kehilangan tambang emasnya.