Part 10: His Evil's Word

1393 Kata
“Ya Allah, Engkau tahu aku merasa lelah dengan ini semua. Kehidupanku sudah terasa gelap dan pahit. Apakah aku masih harus menerima pahitnya diabaikan? Bolehkah aku meminjam kekuatan-Mu ya Rabb?” Qiana Pov Sebenarnya apa yang terjadi dengan lelaki itu? Apakah kesalahanku begitu fatal sehingga ia mendiamiku begitu lama? Huh, aku menghela napas kasar, bingung dengan apa yang harus kulakukan. Lelaki itu juga sedang menghindariku. Dia tak pernah satu meja denganku untuk sarapan atau makan malam. Berdasarkan info dari Ina dan Mbok Isah, lelaki itu pergi pagi sekali dan pulang larut malam saat aku sudah terlelap tidur. Pernah sengaja aku menunggunya hingga melewati jam tidurku, tetapi apa yang kudapat? Lelaki itu menghubungi Mbok Isah dan memberitahu jika hari itu ia tidak pulang dan menginap di kantornya. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah pertanyaanku mengenai wafatnya sang ibu begitu membuatnya terluka? Tak bisakah dia memaklumi pertanyaanku? Dengan ketidaannya di rumah ini, membuatku semakin merasa asing. Tapi meski ia menghindariku, aku tak mengadu kepada kedua orang tuaku. Aku tak ingin membuat mereka tambah khawatir akan kondisiku. Selama lelaki itu tidak bermain kasar fisik padaku, aku masih bisa toleran. Meski ia mendiamiku, setidaknya masih ada Ina dan Mbok Isah menemaniku. Saat ini aku sedang makan siang dan seperti biasa ditemani oleh Ina dan Mbok Isah. Meskipun kami belum saling mencintai sebagai suami istri, dinginnya hubunganku dengan dia membuatku tak nafsu makan. “Mbak Qia sakit? Ada yang dirasa? Kok makannya gak semangat?” tanya Ina padaku. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Nggak, Na. Emang lagi gak nafsu makan aja,” jawabku singkat. “Bu Qiana ingin dimasakkan sesuatu?” tanya Mbok Isah padaku. “Ah, nggak, Mbok. Terima kasih, menu ini saja sudah cukup.” “Baik, Bu. Ayo makannya yang lahap, Bu!” bujuk Mbok Isah menyemangatiku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Oh ya, apa ada kabar dari Kak Bhanu, Mbok?” tanyaku. Tak kudengar jawaban langsung dari Mbok Isah. Setelah diam beberapa saat, barulah beliau menjawab pertanyaanku. “Belum ada kabar dari Den Bhanu, Bu. Tapi nanti coba Mbok hubungi, ya? Atau Bu Qia mau hubungi beliau langsung mungkin?” tawar Mbok Isah. “Ah jangan, Mbok!” tolakku langsung. Aku khawatir jika ia malah semakin menghindar. “Hmm, kami belum terlalu akrab. Mbok Isah aja ya?” “Baik, Bu.” Setelah selesai makan siang, Mbok Isah membereskan piring dan meja makan. Lalu Ina tiba-tiba menyarankanku untuk menghubungi lelaki itu langsung seperti yang dikatakan oleh Mbok Isah. “Aku takutnya dia malah gak mau angkat, Na,” ungkapku. “Ya kan belum dicoba, Mbak. Dicoba dulu, ya?” “Jangan deh, kamu aja ya yang telepon?” ucapku coba untuk bernego. “Hmm, atau Mbak mau main ke kantornya Pak Bhanu? Mbak belum pernah main ke sana semenjak nikah, kan? Sambil bawa makan siang mungkin?” usul Ina lagi. “Ayo Mbak pilih mau yang mana?” Apa yang dikatakan Ina memang benar. Aku belum pernah datang ke kantor lelaki itu sejak kami menikah. Tapi tentu aku tidak berani karena tidak mau dianggap lancang. Jika mataku tidak buta, mungkin aku mau mempertimbangkan saran Ina itu. Tapi, keadaanku yang sekarang membuatku harus menolak usul Ina yang terakhir itu. Aku tak mau kedatanganku yang buta ini membuatnya malu di kantor. Siapa lelaki normal yang mau punya istri buta sepertiku? Selama dia sendiri belum mengenalkanku dengan rekan-rekan kerjanya, aku lebih baik tetap bersembunyi seperti ini. Dengan terpaksa akhirnya aku menyetujui idenya yang pertama. “Aku pilih yang pertama aja, Ina. Mendingan telepon aja. Aku belum berani untuk menunjukkan diri sebagai istri di tempat kerjanya. Aku … aku gak pantas, Na. Aku takut nanti dia malu kalau teman-teman kantornya tahu kalau dia punya istri yang buta.” Ina terdiam tak buka suara. Lalu dia meminta kontak lelaki itu pada Mbok Isah dan menghubunginya. Ia memberikan ponsel yang masih dalam sambungan pada lelaki itu. Tanganku keringat dingin dan hatiku cemas. Semoga saja lelaki itu mau bicara panjang kepadaku. Aku putuskan akan meminta maaf padanya sebagai bahan obrolan kami. Setelah beberapa saat, aku merasa lega karena ia menjawab panggilan dariku. “Halo, dengan siapa ini?” tanyanya langsung. Aku diam sejenak sebelum buka suara. “Assalamu’alaikum, ini Qia, Kak Bhanu.” Setelah aku buka suara, tak terdengar lagi sahutan dari seberang. “Ada apa?” tanyanya singkat dan dingin. “Apa Kak Bhanu pulang malam ini? Hmm, Kak, Qia mau minta maa …. “ “Maaf kita lanjut nanti, ya? Aku ada rapat penting.” Klik! “Kak … “ Dia dengan teganya memutus sambungan panggilan sebelum aku selesai mengungkapkan maksudku. Aku merasa kesal dan sedih. Aku pun mengembalikan ponsel pada Ina. Entah bagaimana ekspresi Ina menatapku saat ini. Mungkin dia merasa kasihan padaku. Biarlah. Aku sudah tak peduli. Aku hanya ingin sendiri saat ini. “Tolong bantu aku ke kamar ya, Na?” “Baik Mbak.” === Aku mendengar suara hujan yang cukup deras saat aku baru saja bangun tidur. Ya, kegiatanku cukup membosankan memang. Hanya makan, tidur, duduk-duduk cantik, buang air, huh. Aku memanggil Ina untuk minta tolong menuntunku ke teras belakang. Sudah lama aku tidak menikmati suasana hujan di sore hari. Aku rindu menyentuh rintiknya dan mencium bau aroma tanah khas yang muncul jika hujan tiba. Kupanggil Ina tapi tak ada jawaban. Aku pun memantapkan diri untuk berjalan sendiri keluar dari kamar menuju teras belakang. Dengan tertatih menggunakan tongkat, akhirnya aku berhasil keluar dari kamar. Sedikit demi sedikit aku sudah menghafal tata letak di kamarku. Hanya ruang di luar kamar yang belum bisa kuhafal dengan baik. Setelah berhasil keluar kamar, aku mencari keberadaan Ina atau Mbok Isah dengan satu tangan yang memegang tongkat dan satu tangan lainnya kugunakan untuk meraba benda atau dinding yang ada di dekatku sambil aku belajar untuk menghafal. “Ina! Mbok Isah! Kalian ada di mana?’ teriakku. Hening. Tak kudengar jawaban apa pun atas panggilanku tadi. Aku tetap melangkahkan kakiku. Sekarang aku benar-benar tidak tahu aku sedang ada di mana. Naasnya saat aku melangkah tiba-tiba saja aku menginjak lantai yang licin dan aku tergelincir sambil menubruk sesuatu dan terdengar bunyi barang pecah. “Aww! Ya Allah, sakit!” pekikku. “Tolong! Ina, Mbok Isah.” Aku berusaha menahan air mata yang sudah mendesak di pelupuk mata. Saat aku berusaha untuk bangkit, tangan kiriku tak sengaja mengenai pecahan beling sehingga aku kembali memekik kesakitan. “Mbak Qia!” “Bu Qia!” Kudengar suara keduanya bersamaan memanggilku. Kurasakan keduanya mendekat dan langsung membantuku berdiri. Kaki dan pinggangku terasa sakit sekali. Aku dibantu oleh Ina sedangkan Mbok Isah berusaha menyingkirkan pecahan beling agar tidak ada yang melukaiku. “Mbak Qia duduk di sofa tengah dulu, ya? Maaf ya Mbak, tadi Ina sama Mbok Isah rapiin baju di belakang.” “Iya, gak apa-apa, Na.” Aku saja yang memang belum bisa mandiri dan aku sama sekali tak berniat untuk menyalahkan keduanya. Aku merasa marah dan benci bersamaan. Marah pada diriku sendiri karena ketidakberdayaan yang membelenggu dan benci karena aku menjadi lemah. “Itu kotak obatnya ada di dekat lemari dapur, Mbak Ina,” ucap Mbok Isah memberitahu Ina. Kurasakan Ina beralih menjauhiku pasti untuk mengambil kotak obat itu. Tak lama ia sudah kembali duduk di sebelahku dan mengambil tangan kiriku yang terluka. Tiba-tiba saja suara bariton yang sudah lama tak kudengar beberapa hari ini muncul kembali menyapa indra pendengaranku. “Ada apa ini? Kenapa guci kesayangan almarhummah ibu bisa pecah?” tanya lelaki itu. Aku belum bisa menjawab pertanyaannya karena masih shock. Apalagi saat kutahu aku memecahkan guci kesayangan ibunya. Aku merasa kesalahanku makin banyak padanya. “Maaf aku gak sengaja tadi, Kak. Aku lagi jalan, lalu aku menyenggol guci itu karena kepeleset. Aku minta maaf,” jawabku. “Kamu bantu Mbok Isah saja, Na. Biar saya yang obati Qiana.” “Baik, Pak.” Aku tadinya tidak setuju dan ingin tetap Ina yang mengobatiku. Tapi, aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bicara dengannya. Jika di waktu lain belum tentu kami bisa punya kesempatan untuk bicara berdua. Aku hanya diam sambil membiarkannya membalut lukaku dengan kasa. Aku yakin itu adalah kasa karena aku bisa merasakannya. Sesekali aku meringis kesakitan jika gerakannya menimbulkan nyeri. “Kamu harus paham dengan kondisi kamu sekarang. Jika kamu tidak bisa melakukan sesuatu, kamu tidak perlu gengsi untuk meminta tolong pada orang yang ada di rumah ini. Keadaan kamu sudah berbeda dengan dulu, tolong buang jauh egomu. Jangan membuat orang lain kesulitan dengan kondisi kamu.” Deg!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN