“Ya Allah, maafkan hati ini yang tak bisa berbohong. Hatiku sakit saat melihatnya, mengingatkanku akan kesalahannya yang sudah memisahkanku dengan perempuan-perempuan yang kusayangi.”
Bhanu Pov
Aku mengabaikan perempuan itu meski dia memanggil namaku. Biarlah, nanti ada Ina dan Mbok Isah yang bisa membantunya. Toh dia hanya terjatuh, tidak sekarat seperti Ghendis yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Kulajukan mobilku dengan kecepatan penuh. Aku bisa sampai dengan cepat ke rumah sakit karena mobilku yang ngebut ditambah jalanan yang sepi. Usai memarkirkan mobil, aku langsung berlari menuju ruang ICU. Aku tak peduli jika aku menabrak orang atau perawat. Sungguh yang menjadi fokus utamaku saat ini hanyalah Ghendis.
Saat aku tiba di ICU, bertepatan dengan keluarnya Bastian dan perawat dari ruang Ghendis. Masih dengan terengah aku langsung menanyakan keadaan Ghendis pada Bastian.
“Bas, gimana Ghendis?” tanyaku dengan d**a naik turun namun pandanganku mengarah pada Ghendis yang masih terlihat damai dalam tidurnya.
“Alhamdulillah, sekarang udah stabil, Bhan. Tadi keadaannya memang drop. Tapi sekarang sudah membaik lagi.”
“Alhamdulillah.” Aku merasa sesak yang menghimpit d**a langsung hilang seketika. Terima kasih sudah mau bertahan, Dhis, batinku.
“Bas, kapan sebenarnya Ghendis bisa sadar?” tanyaku parau.
“Lo udah berulang kali nanyain itu, Bhan. Dan masih akan gue jawab dengan jawaban yang sama. Gue juga gak tahu. Kita terus berdoa aja buat Ghendis, ya?”
Kuhanya bisa mendesah lelah. Kutatap Ghendis dari kaca pembatas. Lalu Bastian memintaku untuk masuk, coba bicara pada Ghendis sebentar. Aku pun memakai pakaian sesuai SOP ruang ICU. Aku menitikkan air matanya sambil menggenggam tangan Ghendis yang terbebas dari infus.
“Bangun, Sayang. Kamu gak kangen sama Mas?” Aku dengan cepat menyusut air mata yang sudah menetes. “Ibu udah pergi, bayi kita udah pergi, pernikahan kita gagal, lalu kamu ninggalin Mas sendiri?” tanyaku lirih. Sedangkan yang kutanya masih asyik terlelap dengan bantuan alat yang menempel di tubuhnya.
“Bangun, jangan tinggalin Mas sendiri, Sayang. Mas gak sekuat itu,” ucapku diiringi air mata yang kembali meluruh. Aku merasa duniaku sudah hancur. Jika saja memungkinkan, aku ingin menginap berada di sisi Ghendis sepanjang waktu. Tapi, aturan ruang ICU tidak mengizinkannya. Ghendis hanya boleh diawasi oleh dokter dan perawat. Aku hanya bisa menjenguknya selama batas waktu tertentu.
“Terima kasih sudah bertahan, Sayang. Mas mohon segeralah bangun, masih banyak rencana dan cita-cita yang belum kita wujudkan,” ucapku sambil menyeka air mataku.
Mengingat kehilangan berturut-turut yang kualami membuat amarah kembali membuncah dan hanya satu nama yang harus bertanggungjawab atas semuanya … Qiana.
“Kamu harus tanggung jawab, Qiana!”
===
Aku merenung di dalam kamar. Saat ini aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Saat ku kembali dari rumah sakit, jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dari balkon kamar, aku menatap langit malam yang kelam bertaburan bintang dan mencengkeram pagar pembatas sambil menengadahkan kepalanya. Biasanya saat mengalami hal-hal berat dalam hidupku, ada ibu yang selalu siap sedia menyemangatiku. Tapi kini, aku tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku … sendiri.
Jika Ghendis memutuskan untuk pergi juga menyusul anak kami dan ibuku, berakhir juga hidupku di dunia ini.
“Ibu, apa yang harus Bhanu lakukan?” tanyaku pada hamparan langit malam. Aku menghela napas panjang. Ujian ini terlalu berat bagiku. Kehilangan seorang ibu yang sudah menjadi hidup dan matiku semenjak berpisah dari lelaki itu adalah pukulan telak bagiku. Ditambah sang pujaan hati yang kini terbaring koma. Dua perempuan yang menjadi sandaranku saat aku penat dan sedih kini tak ada di sisiku. Lantas, untuk apa lagi aku hidup di dunia ini?
===
Aku putuskan untuk menghindari perempuan buta itu. Aku pergi bekerja pagi sekali sebelum jam sarapan dan pulang saat malam hari. Bahkan aku kadang tidak pulang ke rumah. Aku rasa ini sudah berlangsung hampir satu minggu. Entahlah aku tidak mengingatnya dengan pasti. Jika aku sedang malas pulang, aku memilih untuk tidur di ruangan pribadiku yang ada di kantor atau pulang ke apartemen yang juga berlokasi di dekat kantorku. Aku benar-benar tak mau melihat wajahnya. Melihat wajahnya hanya akan memancing amarah dan benciku ke permukaan dan aku tak mau lepas kontrol. Jika sedang suntuk, aku malah pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Ghendis yang masih betah tertidur lelap. Dengan melihatnya, kepenatanku akhirnya hilang dan aku punya semangat lagi untuk melanjutkan hidupku.
Namun, ada hal yang mengusik pikiran dan hatiku. Akhir-akhir ini aku jadi kembali memikirkan nasib pernikahanku. Apakah aku masih sanggup untuk melanjutkannya? Pernikahan yang berlandaskan dendam itu. Atau harus kusudahi saja?
Aku mendesah pelan lalu kembali meneliti pekerjaan di laptopku. Tak lama sekretarisku datang dan memberitahukan agenda rapat yang harus kupimpin siang ini. Aku berterima kasih lalu bersiap untuk ke ruang rapat.
Saat aku masuk ke ruang rapat, seluruh karyawan yang ada di ruangan menyapaku dan aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala dan senyuman tipis. Aku tertegun sejenak saat menyadari kehadiran Arshan. Lelaki itu memang menghilang entah kemana sejak hari pernikahannya dengan perempuan buta itu batal, tapi ia memang tidak pernah mengajukan resign dari perusahaan yang kupimpin. Aku sengaja tidak meminta detektifku untuk mencari tahu tentang kepergiannya di hari itu. Biar saja, toh itu satu keberuntungan untukku jadi aku tak perlu tahu alasannya. Aku khawatir ia malah yang mengacau rencanaku. Tapi, semoga saja itu hanya kekhawatiranku.
Aku mengesampingkan rasa penasaranku sejenak karena aku harus bersikap professional sekarang. Aku segera duduk di kursi ku dan membuka bahan rapat siang ini.
===
Hari sudah beranjak petang dan ini adalah jam pulang kantor. Mungkin, jika aku menikah dengan Ghendis, aku akan semangat bersiap untuk pulang karena sudah ada orang tercinta yang menyambutku di rumah. Ah, betapa aku menginginkan hal itu jadi kenyataan! Ghendis, cepatlah sembuh, Sayang, doaku dalam hati. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan jika hal manis itu terwujud. Namun, ketika mengingat siapa yang ada di rumahku sekarang, senyumku lenyap dan wajahku kembali muram. Ah, sudah, aku tak mau membahasnya.
Kudengar pintu ruanganku diketuk dan muncullah sekretarisku, Reno.
“Pak, izin ada Mas Arshan yang mau menghadap Bapak,” ucapnya.
Aku tertegun sejenak. Lalu aku memperbolehkannya masuk lalu kusuruh saja Reno untuk pulang karena tak ada lagi pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya.
Aku langsung saja to the point padanya. “Ada perlu apa, Arshan? Ada masalah dengan para penulis atau editor?” tanyaku membuka obrolan yang pastinya tentang pekerjaan karena ini masih di lingkungan kantor. Aku membenarkan kacamataku dan kembali fokus pada laptopku sambil menunggu jawabannya.
“Apa tujuan Anda menikahi Qiana, Pak?” Pertanyaan yang dilontarkan untuk menjawab pertanyaanku. Bukankah itu sangat tidak nyambung?
Aku menghentikan jari-jemariku yang sedang menari di atas keyboard lalu, tersenyum sinis. “Masih berani kamu menanyakan itu pada saya setelah apa yang kamu lakukan pada mereka? Apa kamu amnesia?” tanyaku sarkas.
“Jawab saja, Pak. Saya mohon,” pintanya dengan memelas.
“Apa hak kamu untuk menanyakan itu pada saya?”
“Tentu saja saya harus tahu!” Mendadak nadanya berubah menjadi tinggi dan aku tidak suka itu. Siapa dia berani membentakku?
Aku melepas kacamata bacaku lalu menatapnya tajam. “Aku hanya ingin menyelamatkan Qiana dan keluarganya dari rasa malu karena pernikahan yang batal dan itu disebabkan calon pengantin lelakinya yang tidak bertanggungjawab! Seenaknya saja meninggalkan mereka di hari H akad nikah.”
“Tapi kenapa harus menikahinya, Pak?” tanyanya terdengar putus asa. Hey, sebenarnya ada apa dengan lelaki labil ini? Dia yang meninggalkan Qiana tetapi dia yang terlihat menyesal.
“Tolong lepaskan Qiana, Pak. Saya yakin Anda tidak mencintainya. Saya masih sangat mencintainya dan akan memperbaiki hubungan kami lagi,” pintanya.
Sungguh, aku tak tahan. Kuhadiahkan saja bogem pada wajahnya.
Bugh!!