Bab 2. TKP

1944 Kata
Beberapa anggota polisi dikerahkan menuju tempat kejadian perkara. Terlihat kerumunan warga berada di sana. Bau busuk dari sampah dan potongan anggota tubuh itu, tak membuat warga enggan untuk melihatnya. Malah, terlihat beberapa dari mereka begitu semangat dan antusias untuk mengabadikan ambar melalu foto dan video. "Wow, rame banget, ya. Padahal tadi saya tinggal belum seperti ini," gumam Pak Andi. "Antarkan kami ke potongan itu ya, Pak. Biar saya pasang garis polisi, agar semua orang yang ada di sana menjaga jaraknya dengan penemuan kaki itu," ujar Devano. "Baik, Pak," jawab Pak Andi. Adnan yang mengemudikan mobil, memarkirkan mobilnya tepat di belakang kerumunan itu. Mereka satu persatu turun dari mobil. Pesona keempat polisi yang cantik dan tampan, membuat lawan jenis mereka sontak terpesona. Mereka terlihat begitu gagah dan memiliki daya tarik yang begitu kuat. Devano Aprilo berusia dua puluh lima tahun. Pria tinggi, putih dengan d**a bidang membuat dia begitu mempesona. Alis yang tebal, membuat dia terlihat begitu tegas kala berbicara. Adnan Susanto, berusia dua puluh lima tahun. Tinggi, berkukit kuning langsat, dengan lesung pipi di wajahnya, membuat dia menjadi pujaan wanita karena kemanisan wajahnya. Riko Syahputra, berusia dua puluh lima tahun. Tinggi ketiga pria gagah ini sama. Berkulit kuning langsat seperti Adnan, namun tatapan dia begitu tajam. Dia bak detective, tingkahnya yang misterius membuat wanita penasaran dengan dirinya. Jesica Oktavia, dia berusia dua puluh lima tahun juga. Menjadi polisi wanita satu-satunya dalam anggota mereka. Wajah yang cantik, kulit putih, wajah yang begitu sempurna sebagai wanita membuat wanita lain merasa iri. Dia menjadi pujaan laki-laki yang menatapnya. Bulu mata yang lentik, alis yang tebal dan lesung pipi di wajahnya menambah kesempurnaan itu. Keempat anggota polisi ini, merupakan satu angkatan sejak mereka sekolah menengah atas. Mereka dengan keyakinan penuh dan perjuangan yang begitu luar biasa, hingga sampai di titik ini. Persahabatan mereka perlu diacungi jempol. "Permisi, agak mundur ya semua. Biar kami sebagai pihak kepolisian melakukan tugas kami," perintah Devano dengan suara lantang. Warga pun memudahkan pihak polisi dengan cara sekali perintah langsung melaksanakannya. Devano dengan cepat memasang garis polisi mengitari tempat penemuan itu. "Pak, posisi Kakinya tadi seperti apa?" tanya Adnan. Pak Andi menjelaskannya kembali, walaupun di kantor polisi tadi sempat menjelaskannya. Kaki itu, terlihat menbengkan dan berwarna kebiru-biruan. Dar*ah yang mulai mengering pun terlihat di bekas pemotongannya. "Eh, sadis banget, ya. Sepertinya tersangka dengan santai memotongnya, buktinya di bekas pemotongannya begitu rapi. Apa dia seorang psikopat?" telisik Riko. "Wah, kali ini kasus yang sangat berat jika benar-benar pembunuhnya seorang psikopat. Ini hal yang begitu membahayakan bagi kita," jawab Jesica. Sedangkan Adnan masih menganalis korban ini. Mereka tak menemukan satu sidik jari apapun anggota tubuh ini. "Tak ada satupun sidik jari yang tertinggal. Seharusnya ada, tapi kenapa tidak?" gumam Adnan. "Pembunuhan ini, pasti sudah di rencanakan sebelumnya oleh pelaku. Kita tanya ke warga sekitar, tentang beberapa hari ini jika ada orang memiliki gelagat aneh di perumahan ini. Potongan tubuh itu, dikubur di tumpukan sampah, kemungkinan pelaku ingin menyembunyikan potongan tubuh ini," sahut Devano. "Kalau niat disembunyikan, kenapa hanya kaki?" Jesica bertanya-tanya. "Kita bawa ke kantor aja. Kita nggak mungkin menuntaskan ini di sini, kita cek DNAnya siapa tahu beberapa laporan orang hilang beberapa hari ini. Siaa tahu, ini salah satu korban yang hilang itu," perintah Devano. "Oke, laksanakan," jawab mereka bertiga secara bersamaan. Kantong jenazah di siapkan beberapa anggota mereka. Potongan tubuh di simpan di kantong itu, kemudian di bawa anggota yang lain masuk ke dalam mobil. Saat itu, sekelebat dalam penglihatan Devano tampak satu pria yang lama tak pernah ia jumpai. "Zein!" teriak D Riko seraya melambaikan tangannya. Ketiga anggota polisi lain juga ikut menoleh ke arah orang yang bernama Zein itu. Zein, tersenyum lalu menghampiri mereka. "Astaga, ternyata kalian. Aku lihat dari kejauhan kok ada kerumunan, aku samperin ternyata kata orang-orang ditemukan potongan tubuh manusia." Wajah Zein terlihat berbinar kala melihat mereka bertiga. "Nggak nyangka, kita ketemu saat kalian tugas seperti ini. Hebat!" Zein Andriano, dia seusia dengan tiga anggota polisi itu. Dia juga satu angkatan dengan mereka, hanya dia setelah lulus sekolah tak pernah ada kabarnya. Dia yang dari dulu memiliki rasa kepada Jesica, hanya tersipu malu kala melihat wanita itu terlihat gagah dengan pakaian tugasnya. "Kapan-kapan kita main bareng, yuk. Ini lagi tugas nggak bisa lama-lama," ujar Devano. "Iya, kalian yang super sibuk. Dilanjutkan duku, aku juga mau ke rumah temanku. Hati-hati dan bersemangat," ujar Zein, seraya menepuk bahu Devano yang berada di dekatnya. Mereka hanya menggoreskan senyuman di wajah melihat Zein melangkah pergi. Karena tugas, membuat mereka tak memiliki banyak waktu untuk bertegur sapa. Bahkan, setelah Zein pergi baru teringat soal nomor telepon yang harusnya mereka minta, jika memiliki keinginan untuk bertemu kembali. Setelah semua beres, mereka berempat kembali mengendarai mobil menuju kantor. "Cie, Jesica. Kelihatanya Zein masih naruh rasa ke kamu, ruh," celetuk Adnan. Dia sengaja mengejek Jesica, memang tak bisa dipungkiri tatapan Zein begitu terlihat sangat jelas. "Apaan, sih? Dah lama juga, siapa tahu dia sudah menikah. Jangan begitu, nggak baik," tegur Jesica. "Halah, Jes. Dulu semua anak di sekolah siapa sih yang nggak tahu, kalau Zein anak yang pinter, tampan dan santun memikiki rasa ke kamu. Saat yang lain berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya, justru kamu manusia langka yang menolak cintanya," tambah Devano. Zein menaruh rasa ke Jesica sejak pertama menginjak bangku sekolah menengah atas. Waktu pelaksanaan orientasi siswa, Jesica menjadi wanita yang cekatan membantu Zein terluka. Zein, pria yang tampan, berkulit putih. Dia menjadi juara kelas dan terkenal akan prestasinya. Dia juga menjadi ketua osis di masa itu, tapi tak membuat hati Jesica luluh dengan dirinya. Teman perempuan semasa sekolah mereka, sering mencuri-curi perhatian Zein, guna menarik hatinya, namun tak satupun dari mereka yang membuat Zein luluh. Namun, Jesica yang bersikap acuh, justru membuat Zein terpesona. Jesica yang memiliki sifat yang tegas, acuh dan bahkan berteman dengan ketiga laki-laki itu, membuat Zein terkadang merasa iri. Dia yang tak setampan Devano, Riko dan Adnan merasa minder terlebih dahulu. "Halah, kalian bilang gitu, biar aku bilang gini kan. Bukannya kalian yang menjadi pria tertampan di sana? Kalian juga, yang membuat semua wanita di sekolahan itu terenyuh kala melihat senyum kalian? Wih, najis." Jesica memalingkan wajahnya. Jika Zein, terkenal akan prestasinya justru ketiga pria tersebut terkenal akan ketampanannya. Pemain basket di sekolah itu, membuat hampir semua perempuan di sana dari adik kelas, kakak kelas bahkan teman seangkatannya terpesona. Mereka bertiga yang risih dengan perempuan centil, memilih untuk tak meresponnya. Jesica kerap di musuhi, gara-gara dianggap wanita yang ingin tebar pesona dengan mereka bertiga. Justru karena tingkah Jesica yang acuh, membuat mereka bertiga mau berteman dengan Jesica saat itu. "Memang elu itu, cewek aneh, Jes. Satu-satunya cewek yang acuh, bermental baja dari dulu. Saat yang lain centil, elu malah tomboi. Jangan-jangan elu wanita jadi-jadian," ejek Adnan. "Heh, mulut!" Jesica melirik Adnan yang duduk di dekatnya, tepatnya di kursi kemudi. Sesampainya di kantor polisi, mereka satu-persatu segera turun. "Pak, anggota tubuh yang ditemukan sudah kami bawa ke rumah sakit. Untuk melakukan uji forensik, akan dilakukan kapan?" tanya salah satu anggota polisi yang ikut bersama mereka. "Nanti sore saja, kita mau lihat data beberapa orang yang hilang belakangan ini," jawab Devano. "Baik, Pak," jawabnya. Mereka menuju ruang kerja mereka. Melihat beberapa laporan yang masuk akhir-akhir ini. "Kenapa kebanyakan yang hilang laki-laki, ya. Apa ini pelakunya seorang wanita psikopat?" gumam Riko saat melihat data yang ada. "Nah, iya juga. Kelihatannya aku pernah lihat pria ini, deh." Jesica menunjuk ke arah foto salah satu korban. "Iya, dia pernah berkomentar di foto kamu di aplikasi biru itu, deh," sahut Adnan. "Eh, benarkah?" Jesica hanya mengingat pernah tahu, tapi tak lupa di mananya. "Kita panggil ke dua orang tua mereka untuk datang ke kantor besok. Kita ambil darah mereka, untuk pengujian sampel DNA." Devano terlihat serius mengerjakan kasus ini. "Bentar-bentar, kondisi potongan kaki itu sudah membusuk, bahkan darahnya sudah terlihat mengering. Ini bakal susah buat mengidentifikasi ini semua. Apa tak ada barang bukti sama sekali yang kalian temukan lagi?" sahut Adnan. "Iya juga, ya," jawab Devano sembari menyenderkan tubuhnya ke bangku yang ia duduki. Mereka menghela napas dalam, kasus yang begitu sulit dipecahkan. Bahkan, dari semua kasus, yang terlihat begitu rumit baru kasus ini. Bahkan, lawan mereka tak main-main. Permainan yang sangat cantik ia gunakan untuk mengelabuhi anggota kepolisian. "Ya sudah, kita buat surat untuk memanggil keluarga korban yang hilang terlebih dahulu. Siapa tahu, dari keterangan mereka menemukan satu petunjuk yang mengarah ke pelaku," tambah Devano. "Bentar, menurut kalian ini pelaku lebih dari satu orang nggak, sih? Kalau hanya satu pelaku, nggak mungkin seorang wanita bisa melakukan ini sendirian," ujar Jesica, sembari menatap mereka satu-persatu. "Sama, ini yang menjadi pertanyaanku. Jika kebanyakan di kota ini adalah perempuan, kita dengan mudah menyimpulkan mereka korban perdagangan manusia, namun jika laki-laki susah bagiku," jawab Riko. Dia yang selama ini hebat akan menganalisis sesuatu pun merasa kesusahan. "Sudahlah, kita istirahat aja dulu. Kita juga bisa mati karena kelaparan," ujar Jesica seraya beranjak dari tempat duduknya. "Memang, cewek satu ini. Kalian ke kantin dulu aja, biar aku yang membereskan berkas ini," jawab Adnan. Dia yang selama ini rajin untuk membersihkan dan menyimpan segala sesuatu. "Eh, tahu ngga, sih. Gua punya pengagum rahasia tahu," ujar Riko. "Halah, sok ngartis, lu. Ogah yang fans sama elu, orang elu julidnya mita ampun." Tawa Jesica menggelegar ketika mengejek sahabatnya. Sifat jauh berbeda yang mereka tunjukan kala berkumpul berempat. Sifat jail yang mendominasi mereka semua. Bahkan ejekan, umpatan menjadi hak lumrah dalam persahabatan mereka. Sifat tegas, hanya ditunjukan saat melaksanakan pekerjaannya saja "Lah, beneran tahu. Aku dapet sekotak kado tadi pagi. Tapi belum sempat kubuka, sih. Ada bunga-bunganya, sepertinya cewek yang romantis sedang mengagumiku," ujar Riko sembari membayangkan cewek cantik nan lembut berada di hadapannya. "Hem, siapa tahu bapak-bapak romantis yang memberikannya." Devano tertawa lepas kala mengejek sahabatnya itu. Begitu juga dengan Jesica, dia pun ikut tertawa. "Bu, nasi sama ayam kecap seperti biasanya," ujar Jesica ke penjual di kantin itu. "Kita juga sama ya, Bu," ujar Riko seraya duduk di dekat Jesica. Ting!! Notifikasi ponsel Jesica kala ia mengaktifkan ponselnya. Dia selalu mematikan ponsel itu kala waktu jam kerja. Terdengar banyak notifikasi yang masuk, sehingga membuat jiwa jail Riko ingin mengejeknya. "Iya, Sayang. Bilang dong, baru mengaktifkan ponselnya," ejek Riko. Namun, berbeda dengan Devano, yang terlihat menatap Jesica begitu tajam. "Eh, jangan gitu Riko. Bapak satu ini kepanasan kelihatannya, lihat tuh apinya mengitari tubuhnya," ejek Adnan ke Devano saat baru sampai. "Apaan sih, kalian. Aku pernah cerita soal teman sosial mediaku nggak?" tanya Jesica. "Enggak, kapan kamu pernah cerita soal teman sosial media," jawab Devano yang memang sedikit ketus. "Nih, satu orang ini, beberapa kali aku blokir, bahkan aku beberapa kali juga buat akun baru dia tahu, loh. Siapa sih, sebenarnya dia." Jesica menunjukan ponselnya ketiga temannya itu. "Wih, suka sama elu, tuh," ujar Riko. "Heh, aku lagi serius tahu. Kadang takut juga tahu, kalau ada orang yang fanatik banget ke kita," jawab Jesica. "Kan tinggal kamu abaikan aja, Jes. Memangnya ganggu kenapa, sih?" tanya Devano. "Baca aja, tuh. Pesannya, dari jaman bahela sampai sekarang begitu, terus. Aku lama-lama takut juga," jawab Jesica. Mereka bertiga membaca secara bergantian. Di akun sosial media itu, terlihat foto profilnya hanya anime seorang laki-laki membawa bunga hinganbana. Higanbana, amaryllis cantik yang jadi perlambang kematian di Jepang. Bunga cantik yang masih tergolong dalam keluarga amaryllis ini disebut red spider lily. Namun warga Jepang lebih akrab dengan nama higanbana. Bagi warga negeri sakura, bunga cantik berwarna merah ini berkaitan dengan kematian. higanbana yang memiliki nama latin Lycoris radiata bukan bunga asli dari Jepang. Tanaman tersebut berasal dari daratan China, Korea. Higanbana kemudian masuk ke Jepang dan tumbuh subur di Kepulauan Ryukyu. Bunga kematian dari alam baka Menurut Japan Visitor, higanbana berasal dari kata higan yang berarti 'pantai yang lain'. Kata ini diartikan sebagai alam baka, tempat berkumpulnya roh-roh yang sudah meninggalkan dunia manusia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN