3. Beban Nayra

1015 Kata
Nayra menggeliat. Semalaman dia tidak tidur. Pikirannya kacau. Bagaimana bisa dia mendapat banyak uang dalam waktu yang cukup singkat. Tidur yang kurang tentu membuat Nayra malas untuk bangun. Gadis itu merenung kembali. Mencari jalan keluar untuk semua masalahnya. Pusing karena tidak menemukan solusi, Nayra mendesah. Namun, hari semakin siang. Akhirnya Nayra mengabaikanmalas. Gadis itu beranjak dari ranjang. Kakinya mengayun ke kamar mandi. Walau pusing Nayra harus bekerja. Nayra sudah berpikir semalaman. Dia akan mencoba meminjam uang pada Bapak Abdul. Walau sedikit sangsi karena hutangnya pada pria baik itu juga belum lunas. Beberapa bulan lalu tekanan darah tinggi nenek meningkat. Wanita sepuh itu harus dilarikan ke rumah sakit. Nayra terpaksa meminjam uang pada Bapak Abdul untuk membayar biaya rumah sakit nenek selama seminggu. Beruntung Bapak Abdul orang yang baik. Lelaki itu tidak pernah menagih. Tidak pula memotong gaji bulanannya Nayra. Namun, mengajukan syarat agar Nayra mau menikah dengan Azriel putranya. Nayra telah selesai mandi. Gadis manis itu tetap menjalankan ibadah dua rakaat. Selain melaksanakan kewajiban, dia juga berpasrah diri pada Sang Pencipta. Usai beribadah Nayra menghampiri nenek. Wanita sepuh itu tengah sarapan seorang diri. Hanya ada nasi putih dan tempe goreng di meja kayu tua itu. Nayra sama sekali tidak berselera. "Davi mana, Nek?" Nayra bertanya usai meneguk teh tawar yang nenek buat untuknya. "Dari tadi belum keluar kamar." Bibir tua itu menjawab seraya mengunyah makanannya. "Ya ... sudah aku berangkat ya." Nayra meraih tangan keriput itu untuk disalim. "Gak sarapan?" tanya Nenek perhatian. Nayra hanya menggeleng. Langkahnya masih lesu saat meninggalkan rumah. Ketika dia tengah mengikat sepatunya, seseorang sudah berdiri di hadapannya. Nayra mendongak. "Ibu Lia?" Dia menyapa santun. Sedikit gugup karena pemilik rumah ini menatapnya malas. "Cepat kosongkan rumah ini, lusa penyewa baru rumah ini akan datang," usir Ibu Lia tanpa basa-basi. Dirinya juga berkacak pinggang. Sama sekali tidak bersahabat. "Ma-maksud Bu Lia, apa?" Bibir Nayra terkaget mendengar pengusiran itu. "Kamu itu langganan telat bayar sewa rumah, Nay. Saya males tiap bulan nagih," jawab Bu Lia sedikit mengomel. "Lebih baik saya sewakan rumah ini pada orang yang niat bayar," lanjutnya ketus. "Saya juga niat bayar, Bu," sahut Nayra serius, "kasih saya waktu." Nayra berjanji sembari mengatupkan kedua tangannya. "Saya bosen mendengarnya, Nayra." Suara Bu Lia mulai meninggi. "Bu Lia, tolong jangan usir kami," mohon Nayra dengan memelas. Dia memegang tangan wanita berambut blonde di gulung itu. "Saya janji akan segera bayar." Kembali dia berjanji dengan sungguh-sungguh. Bu Lia mengibas tangan Nayra dengan kasar. "Jangan merayu lagi!" Matanya membulat. "Pokoknya jangan sampai saya suruh anak buah saya untuk menyeret kalian dari rumah ini!" ancamnya tanpa ampun. Usai meluncurkan ancaman, Ibu Lia melenggang pergi. Kakinya melangkah panjang-panjang. Dirinya sama sekali tidak memedulikan panggilan dari Nayra. Mata Nayra merebak ketika panggilannya tidak digubris Bu Lia. Namun, ia gegas mengusap air matanya yang mulai menitik tatkala melihat nenek dan adiknya terpaku di pintu. "Aku berangkat ya." Nayra pamit lagi. Dia mengacak lembut pucuk rambut sang adik. Walau kerap dibuat dongkol. Namun, rasa sayang pada adik semata wayangnya itu tidak pernah surut. Apa pun yang terjadi Nayra akan selalu menjadi tempat peraduan bagi Davi. Nayra mempercepat langkah. Harus sampai di tempat kerja lebih awal dari teman-temannya. Nayra tidak ingin teman-teman tahu kalau dia akan meminjam uang pada Bapak Abdul. Sialnya dia telat bangun tadi. Semalaman berpikir keras membuat Nayra baru bisa terpejam selepas subuh. Baru tiga jam terlelap dia harus lekas bangun. Nayra datang terlambat. Rumah makan tempat dia kerja sudah ramai. Di pintu masuk, dirinya berpapasan dengan Saga. "Nayra?" sapa Saga dengan tatapan lekat. Lelaki itu menelisik mata merah Nayra. Nayra sendiri tidak peduli. Gadis itu melangkah tergesa ke dalam. Dirinya cepat memakai seragam rumah makan ini. Dengan cekatan Nayra melayani tamu yang datang. Kesibukan membuat beban pikirannya sedikit teralihkan. Ketika suasana mulai sepi, Nayra memberanikan diri menghadap Bapak Abdul. "Nay." Nayra menoleh. Andi rekan kerjanya mendekat dengan wajah pucat. "Kamu mau menemui Pak Abdul?" tebak bapak muda itu. "Iya." "Mau pinjam uang?" Wajah Nayra memerah menahan malu. Dia memang terkenal paling suka meminjam uang pada si bos. "Nay, istriku hari ini harus dioperasi caecar, aku butuh banyak duit," tutur Andi memberi tahu. "Jadi aku mohon, biar aku dulu yang menghadap Pak Abdul ya?" pintanya bersungguh-sungguh. Nayra mengangguk. Dia membiarkan Andi memasuki ruangan Bapak Abdul. Dirinya mengalah dengan menunggu. Setengah jam menunggu, Andi keluar. Pria itu mengangguk pada Nayra. Senyum tipis terbit dari bibir Andi. Nayra menduga pasti Andi mendapat pinjaman dari Bapak Abdul. Selepas kepergian Andi, Nayra menarik napas panjang. Dirinya sedang menata hati. Semoga permohonannya tidak ditolak oleh Bapak Abdul. "Masuk!" suruh Bapak Abdul begitu Nayra mengetuk pintu. Nayra mengelus dadanya pelan. Setelah memantapkan hati dia masuk. Gadis itu melempar senyum manis untuk sang bos. "Eh, Nay." Bapak Abdul hanya sekilas melirik. Matanya fokus pada catatan dan kalkulator. "Ada apa?" tanya Bapak Abdul ketika Nayra tidak juga berbicara. "Eum ... Maaf, Pak, anu ... saya ... saya mau kasbon lagi," tutur Nayra terbata. Bapak Abdul yang tengah memeriksa catatan berhenti. Dia menatap gadis yang kian hari mengurus itu. "Kasbon bulan lalu juga belum dibayar." "Maaf, Pak, tapi saya sangat butuh pinjaman," mohon Nayra menghiba, "saya bisa diusir jika tidak bayar sewa rumah." Bapak Abdul membetulkan letak posisi kaca matanya. "Andi baru saja kasbon dengan jumlah yang banyak." "Ya saya tahu, Pak." "Makanya saya gak bisa minjamin kamu," tukas Pak Abdul tegas. "Tapi, saya sangat butuh." Sekali lagi Nayra berusaha membujuk. "Maaf." Pria itu menggeleng. "Sana kerja lagi!" Tangan Pak Abdul menunjuk pintu. Bahu Nayra menurun mendengar pengusiran itu. Dirinya keluar dengan langkah lesu. Hatinya kian gundah gulana. Nayra tidak bersemangat bekerja. Pikirannya terus melayang ke rumah. Bagaimana caranya dia menyelamatkan Davi dan juga sang nenek. Alhasil Nayra jadi banyak melamun. Untung Pak Abdul baik. Sehingga gadis itu tidak kena tegur. Selepas magrib, Saga bertandang ke tempat kerja Nayra. Namun, lelaki tidak datang sendiri. Dia membawa teman serta anak buahnya. Saat Nayra datang untuk melayani, Saga datar saja. Hanya menyapa sekilas. Lalu kembali sibuk dengan teman-temannya. Di ujung sana mata Nayra memperhatikan lelaki berwajah kalem itu. Permintaan gila Saga beberapa hari lalu terngiang lagi. "Haruskah kupenuhi permintaan Mas Saga?" Galau dan bimbang membuat Nayra memukul dadanya. Next.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN