2. Gadis Itu Bernama Nayra

1146 Kata
Saga tersenyum melihat Nayra bersikap sewot padanya. Beberapa kali ia mendapati gadis itu mendelik tajam, saat merasa dirinya tengah dipandangi oleh Saga. Saga sendiri melihat waktu. Saatnya berangkat kerja. Perlahan pria dua puluh delapan tahun itu melangkah mendekati Nayra. "Hanya satu tahun, Nay." Saga sedikit berbisik agar perkataannya tidak didengar oleh pemilik rumah makan ini. Lelaki tambun yang duduk di meja kasir itu kerap kali melayangkan pandangan pada karyawannya. Bapak paruh baya itu sebenarnya tidak suka pada Saga. Karena kedatangan lelaki gagah itu pasti selalu menarik perhatian Nayra. Nayra yang rajin akan selalu tertarik melayani Saga dengan baik. Bos Nayra tidak suka. Namun, karena Saga adalah pelanggan setia. Bahkan kerap membawa anak buahnya makan di sini, maka pria gempal itu diam saja. "Gimana, Nay?" Saga menanyakan kepastian karena sedari tadi gadis di hadapannya pura-pura sibuk mengelap meja. "Cari wanita lain saja!" Nayra membalas pelan, tetapi lumayan terdengar ketus. Selanjutnya gadis itu berlalu. Dia masuk dan tidak keluar lagi. Nayra memilih mengerjakan tugas lainnya yaitu membersihkan mangkuk-mangkuk kotor di bak cucian piring. "Berapa kali saya bilang jangan suka bermanis-manis di hadapan pria itu!" Teguran dari sang bos membuat Nayra menoleh. "Dia itu lelaki beristri," tegas sang bos sembari menatap tajam. Nayra menghela napas. "Dia pelanggan kita yang baik, Pak." "Ya, saya tahu itu." Si bos menyela cepat. "Bukankah moto kita memberikan pelayanan yang terbaik untuk pelanggan?" Nayra berkata tenang. Seluruh mangkuk sudah selesai ia cuci. "Aku dan Mas Saga adalah teman. Saya juga mengenal baik istrinya. Tidak ada apa-apa di antara kami," terang Nayra kalem. Si bos mendengkus. "Saya hanya tidak mau saja kamu dicap sebagai penggoda suami orang. Bisa jelek nanti citra rumah makan ini," kilah si bos membuat alasan. Nayra tersenyum simpul. Gadis itu maklum akan ketakutan sang bos. Sebenarnya alasan pria paruh baya itu tidak suka melihatnya dekat dengan Saga adalah karena dirinya juga menaruh hati pada Nayra. Bos Nayra yang bernama Bapak Abdul itu, pernah mengutarakan niat untuk mempersunting Nayra sebagai menantu. Namun, Nayra menolak. Selain anak Bapak Abdul yang jauh lebih muda darinya tiga tahun, pemuda itu juga bukan tipe Nayra. Apalagi Nayra kerap kali melihat putra bosnya itu gonta-ganti cewek. Alasan tersebut yang membuat Nayra sama sekali tidak menaruh minat padanya. Walau pun pemuda itu juga gigih menunjukkan cintanya pada Nayra. Tidak nyaman dengan posisinya, Nayra pernah meminta resign dari rumah makan ini. Namun, Bapak Abdul melarang. Baginya, Nayra sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri. Walau gagal menjadikan Nayra menantu, Bapak Abdul tetap bisa tetap mempertahankan Nayra sebagai karyawan kesanyangan. Nayra sendiri juga sudah nyaman bekerja di sini. Sudah hampir enam tahun dia mengadu nasibnya di rumah makan ini. Pendidikannya yang tidak tinggi membuatnya susah mencari pekerjaan lain. Gadget di saku bergetar. Lamunan Nayra buyar karenanya. Gadis itu merogoh ponsel android keluaran tiga tahun lalu. Biaya kuliah adiknya dan kebutuhan sehari-hari membuat gadis itu mengabaikan kebutuhannya sendiri. Termasuk mengganti ponsel tuanya yang sudah retak-retak layar ini. Nayra memutar matanya. Ada pesan masuk dari Saga. Mulutnya berdecak malas membuka pesan itu. [ Bagaimana, Nay? Kamu sudah memikirkannya bukan?] [ Dengar! Aku akan mencukupi segala kebutuhanmu, adik, serta nenekmu] [ Kamu tidak perlu lagi repot-repot berkerja di rumah makan milik bapak gendut itu] [ Biaya kuliah adikmu akan kutanggung semuanya] Bibir Nayra mendesis membaca pesan beruntun dari Saga. Harga dirinya merasa terkoyak karenanya. Sungguh dia tidak menyangka, jika Saga yang ia kenal baik bisa memandang rendah dirinya. [ Nay, kenapa cuma dibaca doang?] [ Kamu bersedia kan?] Nayra menghela napas yang terasa sesak. Dengan sedikit gemetar gadis itu mengetik balasan. [ Mas Saga, kamu pikir aku w************n yang rela menjual kehormatannya hanya demi uang?] Dengan gemas Nayra menekan tombol send. Tidak sampai dua detik pesannya telah bercentang biru. Kini bahkan Saga sedang melakukan panggilan untuknya. "Nay, kamu tidak menjual kehormatanmu, tetapi aku menyewa rahimmu," ujar Saga begitu sambungan terhubung. "Apapun alasannya, aku gak bersedia, Mas. Cari wanita lain saja," tolak Nayra tegas. "Ayolah, Nay! Aku mohon. Aku hanya ingin mewujudkan impian ibu." Saga tidak putus asa membujuk. "Kamu minta saja sama istrimu! Apa gunanya kalian menikah, jika kamu justru menitipkan benihmu pada wanita lain?!" ketus Nayra gemas. Gadis itu lekas memencet tombol merah. Namun, ponselnya terus meraung minta diangkat. Nayra mendengkus. Terpaksa mematikan gadgetnya demi menghindari panggilan tidak penting dari Saga. Nayra melirik jam bundar di tembok. Saatnya pulang. Gadis itu mengambil tas selempangnya yang tersimpan di loker. Penuh kesantunan dia pamit pulang pada Bapak Abdul. Nayra menaiki bus. Beberapa kali dia menggeleng. Kadang tersenyum juga. Bagaimana bisa Saga menjatuhkan pilihan pada dirinya sebagai tempat penanaman benih? Sampai depan rumah, Nayra agak mengernyit mendengar suara bentakan demi bentakan. Penasaran dengan apa yang terjadi, gadis itu menggegaskan langkah. Tampak Davi adiknya tengah ditunjuk-tunjuk oleh seorang ibu. Perempuan yang Nayra kenal sebagai ibu dari teman adiknya. "Ada apa ini?" tanya Nayra sedikit tidak terima melihat si ibu menonyor kepala adiknya. "Oh ... kebetulan sekali kamu pulang, Nay," sambut wanita itu menyeringai sinis melihat Nayra. "Ini lho, Nay, si Davi pinjam mobilnya Rian buat jemput pacarnya malah nabrak pembatas jalan," lapor ibu itu gemas, "mobil yang baru saya beli dua bulan lalu penyok-penyok jadinya," imbuhnya menggebu-gebu. Dada Nayra sesak mendengarnya. "Benar itu, Davi?" Mata Nayra menatap lelah adik semata wayangnya. Pemuda berumur sembilan belas tahun yang sedang duduk dirangkul sang nenek hanya menunduk seraya mengangguk pelan. "Dengar Nayra, saya gak mau tahu! Pokoknya kamu harus ganti rugi, kalo tidak saya akan menuntut adikmu. Biar dipenjara sekalian," ancaman perempuan itu terlihat bersungguh-sungguh. "Tolong jangan lakukan itu, Bu," mohon Nayra dan sang nenek serentak. Sementara Davi terus menunduk ketakutan. "Ya sudah ... pokoknya kalian harus segera ganti rugi! Saya kasih batas waktu tiga hari." Setelah mendelik pada Davi, wanita bertubuh subur itu pun berlalu. "Mbak Nayra, tolongin aku," mohon Davi begitu wanita itu tidak tampak lagi. Dia bersimpuh di kaki Nayra. "Aku takut, Mbak," jujur Davi bergetar. "Ngapain kamu gaya-gaya pinjam mobil punya orang, kalo kamu sendiri belum lancar nyetirnya?" tegur Nayra gemas sekaligus sedih. Gadis itu melepas pegangan Davi pada kakinya. "Biar Bela mau diajak jalan, Mbak," sahut Davi mulai berkaca-kaca, "Mbak Nay tahu sendiri kan kalo aku sayang banget sama Bela," terangnya dengan menahan tangis. Nayra menarik napas. Gadis itu menggeleng bingung. Dirinya gontai menuju kamar. Tas cangklong ia lempar. Gadis itu melempar badan pada ranjang sempitnya yang sudah tipis. Tidak lama neneknya masuk. Wanita lanjut usia itu mengelus pelan rambut sang cucu. "Gak usah dipikirin si Davi biar dia bertanggung jawab atas perbuatannya," suruh nenek pelan. "Tapi, Nek, kasihan Davi." "Biar saja," sahut nenek tenang. Bukannya wanita tua itu tidak sayang pada cucu lelakinya. Tetapi, Davi memang sering berulah dan menyusahkan keluarga. "Lebih baik kamu pikirkan uang sewa kontrak ini saja. Ibu Lia tadi pagi sudah menagih." Nayra mendesah risau. Dia memijit pelipisnya. Penat dan lelah. Dirinya terpaksa menunggak p********n sewa rumah demi bisa membelikan Davi smartphone. "Aku pusing, Nek," keluh Nayra mulai terisak. "Sabar, Nay." Sang nenek memeluk cucunya yang sudah tersedu. Next
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN