Aku terkejut mendapati istriku Zahra tiba-tiba bangun sambil berteriak, membuatku seketika terjaga karena aku tidur tepat di sebelahnya. "Sayang, ada apa? Kau tadi bermimpi buruk?"
Kulihat kucuran keringat membasahi seluruh wajah dan lehernya. Napasnya tersengal. Kuminta dia untuk tenang dan coba mengatur napasnya baik-baik sambil kuelus bagian belakang tubuh istriku. Aku tahu dia pasti tadi mengalami satu mimpi yang buruk. Tetapi aku tidak mengetahui seberapa buruknya mimpi itu. Ini jelas bukan pertama kalinya Zahra mengigo atau bermimpi buruk. Selama lebih kurang dua tahun aku menemaninya tidur, sesekali kudapati istriku sering bermimpi tak baik, namun tak ada yang membuatnya menjadi seperti malam ini. Ini pertama kalinya aku mendapati Zahra begitu shock dan tertekan hanya karena sebuah mimpi.
"Sayang kau sudah tenang?" tanyaku. "Istighfar. Tunggu sebentar, aku ambilkan minum dulu ya."
"Tak perlu sayang," cegatnya.
Zahra langsung beranjak dari tempat tidur kami untuk melihat putra sulung satu-satunya yang sedang terlelap tidur di sudut kiri kamar. Zahra nampak tenang tatkala ia melihat putra semata wayang kami masih tertidur pulas dan dengan damainya.
Nuruta Hudan, itulah nama dari cahaya mata kami yang lahir dua tahun yang lalu. Nuruta, sebuah cahaya yang indah dan kekal, sementara Hudan berarti petunjuk. Nama tersebut bagaikan doa dan harapan yang kami berdua ukirkan padanya, agar kelak ia senantiasa menjadi cahaya yang terang lagi bersinar indah laksana petunjuk dalam kegelapan.
Istriku Zahra nampak mengusap-usap kepala Nuruta. Aku beranjak dari tempat tidur untuk menghampirinya. Kusentuh kedua pundak Zahra, kubisikan padanya, "Nuruta baik-baik saja." Zahra menoleh padaku, menatap kedua mataku dengan nanar.
Kedua mata kami saling bertemu.
"Ada apa?" tanyaku. Tanpa bertanya dan berkata-kata Zahra tiba-tiba memeluk erat diriku.
"Jangan tinggalkan aku," bisiknya. "Jangan tinggalkan kami berdua." Lanjut Zahra dengan lirih.
Aku tidak tahu apa yang sedang istriku bicarakan, namun aku tahu pasti bahwa ini adalah efek dari mimpi buruk yang baru saja tadi Zahra rasakan. Kucoba kembali menenangkan dirinya, kuminta istriku untuk banyak-banyak beristighfar. Zahra tiba-tiba saja menangis pelan. Sebenarnya mimpi macam apa yang tadi diperlihatkan padanya? Aku lantas bertanya pada Zahra seperti apa gerangan mimpi yang tadi hinggap dalam tidur sunyinya.
Zahra kemudian kembali duduk di tempat tidur kami. Sambil terisak pelan ia mengisahkan dengan begitu detail apa-apa saja yang ia lihat tadi di alam mimpi. Mulai dari kisah yang paling absurd hingga yang paling wajar. Di dalam mimpinya, Zahra menceritakan tentang kehancuran seluruh dunia yang diperlihatkan padanya. Kiamat, bahasa sederhananya adalah kiamat. Itulah yang tadi disaksikan oleh Zahra. Tentang asap hitam yang membunuh seluruh manusia yang ada, hingga bagaimana ia menyaksikan Ka'bah dan apa yang ada di dalamnya.
Zahra mengisahkan padaku bagian demi bagian dari mimpi buruknya. Setelah itu aku hanya tersenyum, mau tergelak namun kutahan karena rasanya itu tidak tepat kulakukan. Sama saja aku tidak menghargai istriku kalau begitu. Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana Zahra bisa sangat terpengaruh dengan sebuah mimpi absurd dan abstrak semacam itu.
Alih-alih meledek Zahra, aku hanya kembali memeluknya untuk menenangkannya. "Itu hanya mimpi sayang, kamu tak perlu merisaukan apapun yang ada pada sebuah mimpi. Memang, ada mimpi yang membawa pesan-pesan kebenaran, namun tidak semua mimpi bisa kau khawatirkan. Kebanyakan hanyalah bunga tidur dan buah dari berbagai macam rentetan pikiran. Apalagi setelah aku mendengar mimpimu itu, aku menjadi tahu penyebabnya. Karena akhir-akhir ini kau begitu sibuk mengurus dan memikirkan tentang perjalanan haji kita nanti. Sampai-sampai itu masuk ke dalam pikiranmu dan menjadi mimpimu."
Zahra mengangguk, "mungkin saja." Ucapnya. "Aku memang terlalu fokus dengan persiapan keberangkatan ibadah haji kita. Aku sudah menantikan ini sejak lama dan tak pernah berhenti untuk memikirkannya. Mungkin pikiranku terlalu lelah menyiapkan ini dan itu,"
"Makanya, kau juga harus menyiapkan mental dan kesehatanmu. Jangan sampai sakit. Jadi tak perlu lagi memikirkan mimpi itu. Kau lihatlah, aku ada disini bersamamu. Nuruta juga. Kami berdua masih baik-baik saja. Simpan energimu, tak lama lagi kita akan berangkat menuju tanah suci, menunaikan ibadah haji untuk pertama kali. Sesuatu yang sudah lama kita cita-citakan dan kita mimpi-mimpikan, iya kan? Sebentar lagi itu akan terwujud."
Zahra sekali lagi memelukku erat, seakan ia tak pernah ingin melepaskannya. Aku balas memeluk mesra istriku, kedua mataku mengarah ke jam dinding dimana waktu telah menunjukkan pukul 4 lewat 10 menit. Aku mengajak Zahra untuk menunaikan sholat tahajud bersama sebelum waktu Subuh tiba. Kami berdua lalu mengambil wudhu dan menunaikan sholat tahajud berjamaah. Kuharap mimpi itu tidak menjadi beban pikiran bagi Zahra. Semoga kegelisahannya luntur dan luruh tatkala ia tundukan kepalanya di hadapan Tuhan yang maha kuasa. Kuharap beban itu menjadi ringan, karena dalam beberapa hari lagi kami akan berangkat menyingsing perjalanan kami menuju ke pelataran suci rumah Tuhan.
***
Tinggal beberapa hari sebelum kami bertiga berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Semua urusan surat menyurat dan administrasi lainnya seperti passport, visa, vaksin dan medical check-up semuanya telah diurus. Manasik atau simulasi haji juga telah rampung kami laksanakan tempo hari, yang memaksa kami harus bolak balik Banjarmasin-Banjarbaru berturut-turut selama tiga hari. Melelahkan, namun sepadan dengan pengetahuan yang kami dapatkan. Kami mendapatkan gambaran bagaimana situasi serta detail teknis tata cara peribadatan ibadah haji, atau apa yang harus dilakukan nanti ketika sudah berada di tanah suci.
Bersemangat dan tak sabar, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan kami pra-keberangkatan. Mengingat ibadah haji kali ini memang adalah yang pertama kalinya bagi kami. Namun untukku rasa canggung dan takut menaiki pesawat terbang kembali menghampiri. Sudah hampir tiga tahun semenjak terakhir kali aku menumpangi pesawat. Perjalanan melelahkan dari dan ke Palestina. Aku malah sudah lupa bagaimana rasanya. Itu pertama dan terakhir kalinya aku ikut penerbangan internasional melintasi banyak negara.
Kini aku akan melakukan penerbangan sejenis itu lagi. Durasi penerbangan ke Saudi dan ke Palestina hampir-hampir sama, bahkan ke Saudi jauh lebih lama. Memakan waktu 17 jam. Sepertinya aku memang tidak suka naik pesawat. Kurasa ini sudah masuk kategori sebuah phobia. Antara aku dan pesawat, kami tidaklah cocok.
Dalam perjalanan haji nanti aku tidak hanya akan ditemani oleh Zahra, tetapi juga putra semata wayang kami, Nuruta. Karunia Allah yang terbesar sejauh ini bagi kami berdua, Nuruta Hudan. Putra kami yang sekarang telah berusia 2 tahun 3 bulan itu juga akan turut serta menemani kami menuju tanah suci. Bukan tanpa alasan, aku dan Zahra sudah memutuskan bahwa kami akan memperkenalkan Nuruta Hudan sedari dini kepada kesucian dan kemegahan tanah suci. Bukan megah dalam arti bangunan atau mesjid yang ada disana, melainkan kemegahan historis serta napak tilas perjalanan sejarahnya.
Alasan lainnya kami membawa Nuruta turut serta adalah karena sikap istriku Zahra yang terlalu melekat padanya, begitu pula Nuruta yang sangat melekat pada ibunya. Nuruta aslinya pendiam, suka anteng dan pintar anaknya, dia tidak begitu rewel. Mungkin sifat-sifat itu ia wariskan dariku. Namun tatkala ibunya telah hilang dari pandangan matanya walau hanya sekejap, maka Nuruta seketika akan berubah menjadi anak yang susah diatur, suka menangis dengan keras dan sulit diredakan. Intinya Nuruta takkan bisa menerima jika ibunya pergi jauh darinya walau hanya sesaat, misalnya saja seperti pergi ke pasar, ke depan kompleks untuk membeli sesuatu, atau bahkan sekedar masuk ke dalam kamar kecil. Atas pertimbangan itulah aku dan Zahra memutuskan juga akan membawa Nuruta pergi menunaikan ibadah haji bersama kami. Kami harap pengalaman ini akan selalu Nuruta kenang sebagai kenangan manis dan berharga dari masa kecilnya. Kenangan tak terlupakan saat kelak ketika ia tumbuh dewasa, dan saat dirinya bisa menginjakkan kembali kakinya disana. Siapa yang tahu? Insha Allah dan kuaminkan saja.
Ibu mertuaku awalnya menolak ide ini. Katanya dengan adanya Nuruta disana maka ibadah haji kami berdua pasti akan terganggu dan akan kurang khusyuk nantinya. Fokus Zahra pasti akan terbagi. Namun kurasa itu hanyalah salah satu alasan ibu mertuaku saja. Alasan utamanya mungkin karena beliau sendiri khawatir, sebab Nuruta memang masih sangat kecil. Dan ibu mertuaku juga tak ingin jauh dari cucu kesayangannya itu walau hanya untuk sementara waktu.
Aku dapat memaklumi. Bagi ayah maupun ibu mertuaku yang sekarang juga tinggal di Banjarmasin, mereka berkeinginan kuat bisa menghabiskan waktu bersama dengan Nuruta selama sebulan lebih jika kami tinggalkan ia pergi ke tanah suci. Tapi Nuruta malah tak bisa kami tinggalkan. Zahra dan Nuruta tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sama halnya seperti kedua mertuaku, aku juga sangat menyayangi putraku Nuruta Hudan. Dia segalanya bagiku semenjak ia dilahirkan. Tak pernah sekalipun terbayangkan olehku bagaimana jadinya jika harus berpisah dari Zahra dan Nuruta. Keduanya merupakan sosok paling penting di hidupku sekarang. Rasanya aku tak sanggup membayangkan dalam kehidupan ini, harus berpisah jauh dari mereka berdua. Bagaimana jika kelak itu terjadi?
Naudzubillah Mindzalik! La Hawla Wala Quwatta Ila Billah.
Nuruta sekarang lagi lucu-lucunya. Cara dia berjalan atau cara dia bicara hendak mengatakan sesuatu, sungguh menggemaskan. Sebagai orangtua tentu aku takkan melewatkan kesempatan dan pengalaman sekali seumur hidup dengan banyak menghabiskan waktu bersama Nuruta. Maka dari itu aku menolak tawaran kerja kantoran di instansi keagamaan semenjak Nuruta lahir. Aku memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu bekerja dari rumah saja. Untungnya alhamdulilah pekerjaanku sebagai penulis dan kolomnis memang bisa dilakukan di rumah. Aku masih aktif menulis buku dan saat ini sedang menggarap beberapa draft akhir naskah yang sebentar lagi akan terbit. Dari sinilah aku bisa menafkahi Zahra dan Nuruta, serta masih bisa mengalokasikan waktu untuk mereka berdua.
Kehadiran istri maupun anak sama seperti harta, semua hanyalah titipan. Salah dalam memaknai dan menyikapinya, maka segala nikmat itu akan menjadi sia-sia. Karena sejatinya itu semua bukan hanya rahmat, tetapi juga sebuah ujian. Apakah kita lebih baik atau lebih buruk setelah memilikinya. Dan yang namanya titipan tentu harus dijaga sebisa kita. Dijaga bukan dalam artian takut hilang karena kehilangan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dijaga dalam arti dipelihara sedemikian rupa, dibimbing, atau diarahkan kepada hal-hal baik yang tidak menjerumuskan. Dijaga agar senantiasa berada dalam kasih sayang dan rahmah Tuhan. Fondasi inilah yang selalu kubentuk dan kubangun tatkala dipercayakan oleh Allah Swt menjadi seorang kepala keluarga.
***
Pagi ini aku duduk dengan santai di salah satu kursi di meja makan. Zahra meletakan Nuruta di dekatku karena ia sendiri sedang sibuk untuk menyiapkan sarapan pagi.
Iseng-iseng kutanyakan pada Nuruta, "Nuruta lebih sayang Aba atau Ama?"
"Sayaaaang," tegur halus Zahra sembari mengisi gula pada sebuah toples.
Aku tertawa kecil.
"Aba, Aba," celoteh si kecil Nuruta.
"Denger nggak tadi apa kata Nuruta? Dia bilang Aba," ucapku bangga seraya meledek Zahra.
"Ya jelas aja. Hampir 90% kata yang paling sering Nuruta ucapkan adalah Aba." Balas Zahra membela dirinya. Tak lama kemudian Nuruta juga memanggil-manggil ibunya.
"Ama. Amaaa," rengek Nuruta ingin menghampiri ibunya tatkala ia mendengar suara Zahra yang tadi bicara dari arah dapur.
"Nah kan, dia juga memanggilku." Gantian Zahra yang tersenyum bangga.
"Iya, iya." Gumamku tertawa sembari memegang erat Nuruta.
Nuruta biasa memanggil kami sebagai Aba dan Ama. Abah adalah ungkapan ayah dalam bahasa Banjar, juga penutur bahasa Austronesia rumpun Melayik lainnya seperti dalam Sunda. Nuruta belum bisa melafalkan kata Abah dengan benar sehingga terdengar menjadi Aba. Tapi sebenarnya Aba atau Abba sendiri juga berasal dari bahasa Arab. Aba juga panggilan ayah dalam bahasa India, bahkan pada bahasa Aramaic kuno atau Suryani. Aku mengingat betul tatkala menonton film yang berfokus pada penyaliban Yesus Kristus yang memakai full bahasa Aram yakni Passion Of The Christ arahan Mel Gibson. Saat penyaliban, Yesus menyebutkan kata 'Bapa' atau Father sebagai Abah.
Aku sebenarnya hendak mengenalkan dan membiasakan Nuruta pada frasa 'Buya' untuk panggilanku, tapi untuk saat ini Aba juga tidak masalah. Untuk panggilan Zahra ibunya, Nuruta kami memakai kata Ama, mungkin karena efek dari seringnya Nuruta menonton serial kartun televisi buatan Malaysia yang menyebut ibu atau mama sebagai Ama. Selain Malaysia, Korea juga memakai frasa yang sama yakni Ama untuk memanggil ibu.
Di usia Nuruta saat ini gerak tubuhnya sangat gesit, tangannya pun bergerak dengan sangat cepat saat memegang sesuatu lalu memasukkannya ke dalam mulut. Benar kata orang, salah satu hal tercepat di dunia adalah tangan balita yang menyuap apa saja ke dalam mulutnya. Benar-benar tak bisa dicegat tepat waktu.
"Sepertinya anak kita berbakat," ucap Zahra. "Kau lihat kertas yang ada di atas meja? Itu coret-coretan Nuruta. Padahal usianya masih dua tahun."
Aku mengambil kertas yang Zahra maksud. Dipenuhi coretan-coretan krayon warna tak jelas dari Nuruta. Akan tetapi, tiba-tiba saja seolah aku membaca sebuah pertanda di dalamnya.
Di kertas itu, walau nampak tak jelas, ada gambar persegi berwarna hitam. Lalu ada tiga sosok absurd yang ia gambar dengan warna merah menyala. Satu sosok lagi agak besar. Berwarna hitam. Jika diperhatikan baik-baik, ini seperti sesosok makhluk berjubah dengan sabit.
Ka'bah? Ah, hanya kebetulan saja Nuruta menggambar kotak dengan krayon hitamnya.
Saat kutatap datar Nuruta, dia hanya tersenyum manis ke arahku. Anak-anak memang masih polos dan belum terkena takhlif atau pun beban dosa. Mereka masih murni. Ketika tersenyum, di pipi sebelah kiri putraku Nuruta terlihat lesung pipi yang sangat indah, persis sama seperti yang dimiliki oleh ibunya, Zahra tatkala tersenyum ataupun tertawa.