Seminggu berlalu setelah perbincangan 'seru' perihal nikah muda. Rupanya Naifah santai-santai saja. Ia lega, pikirannya mendominasi positif. Bapak tidak mungkin menikahkan Naifah. Sudah capek-capek membiayai sekolah rias yang terbilang tidak murah itu, masa iya mau buru-buru menikahkan sang anak. Ya, walau pun Naifah sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Bahkan, terkadang ia memberikan sejumlah uang kepada orang tuanya.
Malam nanti merupakan malam minggu. Bagi seorang Naifah, malam mingguannya hanya bergelut dengan keromantisan orang-orang yang menikah. Namun, sepertinya Allah tengah berbaik hati padanya. Malam ini, ia free job! Surga dunia memang.
"Mbak Erlin, gimana? Jadi kan yaa?" Naifah menempelkan ponselnya di antara telinga dan bahunya. Sedangkan kedua tangannya sibuk melipat baju yang menumpuk seusai kering dijemur itu.
"Yo iyo lah! Sek yo, aku sik meh ngadusi si thole." (Ya iya lah! Sebentar ya, aku masih mau mandiin anak laki-lakiku) Mendengar jawaban Erlin, Naifah memutar malas bola matanya. Sok sibuk sekali pikirnya. Hla tapi, kalau dipikir-pikir memang Erlin ya..sibuk. Berbeda dengan Naifah yang belum mempunyai tanggung jawab apa-apa.
"Iya sudah. Lanjutkan Mbak.."
Erlin, ibu muda beranak satu yang usianya baru menginjak satu tahun. Selain bekerja, Erlin juga merupakan seorang istri. Suaminya mengizinkan ia bekerja asal tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu.
Setelah menunaikan sholat ashar. Naifah berencana hendak bepergian dengan Erlin. Sesuai dengan janji yang mereka buat. Mereka berdua hendak pergi ke pusat perbelanjaan, untuk membeli beberapa alat make up yang sudah habis. Atau pun, menilik produk-produk terbaru. MUA haruslah update baik dalam hal tatanan riasan maupun alat yang digunakan.
"Lohh!? Nduk!! Berhenti! Mau kemana!?" Naifah yang baru saja hendak meraih sepatunya berhenti seketika. Ya memang salahnya, karena belum izin kepada kedua orang tuanya jika hendak bepergian.
Masih tetap melanjutkan aksi yang tertunda. Naifah mendudukkan dirinya lalu mengenakan sepatu putih bertali itu. "Nai mau jalan Bu. Sama Mbak Erlin-"
"Nggak bisa. Kamu harus di rumah!"
Naifah mengernyitkan dahinya, "kenapa memangnya Bu? Biasanya kalau Nai pergi pun ibu nggak pernah tuh cariin Nai." Gadis itu mempout bibirnya.
Dirinya mengaca pada kaca besar di kamarnya. Merapikan kemeja dan rok tutu andalannya. Tidak lupa memperbaiki jilbab square-nya.
Tampak dari kaca yang Naifah lihat, sang ibu tampak kebingungan. Ada apa ini?
Ibu mendekat pada Naifah, "jangan pergi ya Nduk? E-ee..nanti malam mau ada sensus!"
Naifah langsung berbalik badan, "sensus penduduk? Bukannya sudah seminggu yang lalu Bu? Ibu lupa?"
"Pokoknya nanti malam mau ada sensus. Kamu di rumah saja. Kalau pak RT datang, terus data keluarga. Terus yang ada cuma Ibu dan Bapak, gimana? Masa ibu mau bilang kalau kamu sudah almarhum!"
Naifah membelalakkan matanya, "astagfirullah Ibu! Ucapan do'a loh Bu!"
"Y-yaaa maaf! Yowis kamu di rumah saja ya? Ibu do'ain dapat suami ganteng, sabar dan setia."
"Aamiin Ya Rabb.." tanpa sadar Naifa menjawab. Ibu pun keluar dari kamar sang gadis.
"Ibu!!" Teriak Naifah sesaat setelah sadar ucapan sang ibu. Enak saja! Bahas-bahas suami. Naifah kan masih muda.
Akhirnya, mau tidak mau Naifah membatalkan acaranya dengan Erlin. Sedikit kesal dan kecewa memang. Tetapi, mau bagaimana lagi? Naifah tidak ingin menjadi almarhum sebelum di kubur. Errrr..ngeri!
Seusai sholat magrib, Naifah keluar kamar untuk menonton TV sembari menunggu kedatangan pak RT. "Nduk! Ganti baju!" Kali ini bapak berdiri di samping Naifah yang duduk di sofa. Naifah memicingkan matanya. Bapak sudah sangat rapih mengenakan kemeja batik panjang.
"Bapak mau kondangan? Siapa yang nikah Pak?" Bapak mendelik karena mendengar pertanyaan Naifah.
"Lohhh!? Kok kamu pakai baby doll toh, Nduk? Ganti!" Belum sempat bapak menjawab, ibu sudah datang saja. Sepertinya bapak dan ibu sedang kompak. Ibu sangat cantik dengan sarimbit yang ternyata couple dengan bapak. Jilbab satinnya itu loh! Mencorong banget.
"Ganti baju apa sih Bu? Ini sudah nyaman banget dipakai," kata Naifah sambil menarik-narik baby doll kesayangannya.
Ibu berkata, "nggak sopan Nduk! Apa kata pak RT?"
Raut wajah bapak malah kebingungan mendengar ucapan ibu. "Pak RT-"
"Bapak tunggu di ruang tamu saja." Ibu langsung menyeret Naifah ke dalam kamar.
"Bu, Ya Allah Ya Rasull. Ini kenapa Nai di suruh pakai sarimbit!? Mau menemui pak RT saja kok kaya mau menghadap paduka raja."
"Ssstttt..diam. Sing antheng (yang tenang). Kamu dandan tipis Nduk! Ibu tunggu di ruang tamu." Naifah mengernyitkan alisnya.
Apalagi ini!? Seribet inikah hendak bertemu dengan pak RT untuk keperluan sensus. Heh, yang benar saja!
Naifah dengan raut wajah kesalnya, menutup pintu kamar. Lalu, berjalan ke ruang tamu menyusul kedua orang tuanya.
"Ayune anakku.." (cantiknya anakku) puji bapak. Naifah mendudukkan dirinya, bersama kedua orang tua.
Naifah mengabaikannya dan memainkan ponsel menonton video make up di Youtube. Beberapa saat, Naifah mencuri-curi pandang pada makanan yang baru ia sadari keberadaannya. Ada kue-kue tradisional seperti putu ayu, lapis, dan mendhut. Ditelannya ludah, enak sekali pasti.
Suara mobil terdengar samar-samar dari luar rumah. Naifah pun meletakkan ponselnya. Gadis itu hendak berdiri, sebelum bapak menahannya dan menyuruh dirinya untuk duduk manis saja.
"Assalamu'alaikum.."
"Waalaikumsallam. Monggo Pak Bu pinarak.." (*seperti mempersilahkan masuk dan duduk)
"Bapak!?" Seru Naifah.
Bapak menoleh pada putrinya. Ingin sekali menyumpal mulut Naifah dengan mendhut!
Gadis itu menelan ludahnya sendiri. Bapak rupanya salah mengira. Naifah sebenarnya tidak memanggil bapaknya. Melainkan, memanggil sosok lelaki yang baru saja memasuki rumahnya.
Praka Yudan!
Naifah berpindah posisi. Ia mendudukkan dirinya di kursi samping ibunya. Sang ibu tiba-tiba saja langsung menghadiahinya dengan cubitan manis di pinggang Naifah. "Sakit Bu.." Naifah mengusap pinggangnya. Cubitan maut itu pasti mencetak warna keunguan.
"Bapak ngapain ke sini?" Pertanyaan itu langsung lolos dari bibir Naifah. Ibu pun kembali mendaratkan cubitan mesranya. Kali ini disertai dengan tatapan melototnya pengantar ke jembatan shirathal mustaqim! Naifah mencebik seketika.
"Ekhmm..langsung ke intinya saja. Saya hendak meminang Nduk Naifah untuk menjadi menantu saya. Istri Yudan, putra saya."
"Apa!?"
Bukan lagi cubitan. Tetapi sebuah tamparan tangan yang ibu layangkan pada bibir Naifah. "Ibu.."
"Diam dulu," peringat bapak. Naifah hanya cemberut dan menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa lagi berpikir. Apalagi ketika di kepalanya hanya terngiang-ngiang ucapan bapak-bapak yang ia yakini merupakan bapak dari Praka Yudan--si abang-abang TNI yang tidak tepat waktu itu!
Lamanya beberapa menit kedua belah pihak berbicara mengenai lamaran. Ya, Naifah baru sadar jika ini merupakan acara lamaran. Malam ini, tepatnya malam minggu. Seorang lelaki tampan, ahh..ralat. Lelaki tua, datang ke rumahnya untuk meminang dirinya. Ya Allah! Apa dosa Naifah!?
"Jadi, bagaimana Nduk? Kamu mau kan jadi menantu ibu?" Kali ini pertanyaan halus itu lolos dari bibir seorang wanita seumuran ibu. Wanita itu merupakan ibu dari Praka Yudan--lelaki yang telah membuatnya meng-cancel job make up!
Semua mata menatap Naifah. Jadi, benar kata bapak malam itu. Ia memang harus menikah dengan orang yang masih sehubungan darah dengan mantan pacarnya yang sudah meninggal. Bolehkan sekarang Naifah berpikir?
Tidak! Tidak bisa! Semua mata menatap dirinya. Menuntut sebuah jawaban.
Akhirnya, Naifah memberanikan diri mengangkat kepala. Yang pertama kali mencuri perhatiannya adalah tatapan bapak. Bapak menatap Naifah berbeda. Seumur-umur 20 tahun Naifah hidup, baru kali inilah bapak menatap dengan tatapan memohon seperti itu. Dan, jangan lupakan ibu! Ibu pun demikian.
Naifah pun menghela napas, "bismillah.." ucap Naifah lirih sekali.
"I-iya saya terima."
"ALHAMDULILLAH." Semua orang tersenyum mendengar jawaban Naifah.
Ibu Praka Yudan segera menyerahkan kotak yang Naifah yakini merupakan cicin. Praka Yudan pun berdiri. Naifah masih membeo. Hingga sang ibu menepuk-nepuk bahunya. Gadis itu pun sadar, dan berdiri.
Semua orang pun berdiri dan menyaksikan Praka Yudan menyematkan cincin itu di jari manis tangan kiri Naifah.
"Terima kasih," ucap Praka Yudan dengan tersenyum.
"..." Naifah tidak membalas apa-apa. Ia segera melepaskan tangan kirinya dari tangan sang praka.
Entah, senyum Praka Yudan asli atau buatan. Yang jelas diam-diam Naifah merasa aneh melihat senyuman itu. De javu.
Tiba-tiba sekelebat bayangan memori lampau terputar di kepalanya. Naifah baru sadar! Senyum itu..sangat mirip sekali dengan almarhum Argan.
"Astagfirullah.." Naifah memegangi dadanya.
***