#2 Interogasi Gagal, Tawaran Nikah Lancar

1375 Kata
Seorang gadis dengan wajah ditekuk itu sesekali menyeruput sirup yang rasanya sudah tidak semanis tadi, saat baru saja dihidangkan. Naifah, gadis itu sudah bosan berkali-kali memainkan ponselnya. Membuka tutup menu di ponselnya. Kali ini ia beralih menatap jam tangan cream yang menempel manis di tangan kirinya. "Katanya prajurit itu disiplin, tepat waktu!" "Kalau tahu gini, aku nggak jadi cancel make up-in orang tadi! Sejam nungguin hlooo! Cewek cantik serasa dianggurin. Ya Allah Ya Rasul.." Naifah menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Ia kembali hanyut dengan ponselnya. Hingga suara kursi terseret terdengar. "Ekhm! Maaf saya terlambat." Naifah mendongak, menatap lelaki yang duduk di depannya. Dengan masih mengenakan baju loreng hijau, dan lengan digulung sesiku itu. Seorang lelaki tanpa dosa yang membuatnya menolak rezekinya hari ini. "Langsung ke intinya saja Pak!" Lelaki itu mendelik, tidak suka dengan nada bicara Naifah yang memerintah. "Maaf. Saya terlambat karena ada-" "Saya tidak ingin tahu Pak. Silahkan bicarakan langsung yang hendak Bapak sampaikan." Praka Yudan--lelaki yang tengah duduk di depan Naifah itu menghela napas. Benar-benar wanita tidak sabaran, pikirnya. "Baik. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih karena sudah menuruti ajakan saya untuk bertemu.." 'Bapak ini jago pidato apa gimana sih!? Nggak ngerti banget kalau aku tuh bete!!' Batin Naifah, tanpa sadar salah satu tangannya yang berada di bawah meremas rok tutu unyu-unyunya. "..ekhm. Langsung saja pada pertanyaan pertama." Naifah memutar bola matanya malas. Apa-apaan ini!? Seperti lomba cerdas-cermat saja! "Apakah kamu mengenal Arganta Rais?" Naifah yang tadinya hendak menyeruput sirup hambar itu pun langsung mematung. Bagaikan tersambar petir di siang hari. Bagaimana lelaki ini tahu tentang lelaki masa lalu Naifah? "B-bagaimana anda tahu tentang Argan?" "Jawab saja!" Naifah menggelengkan kepalanya. Gadis itu pun dengan geraka cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang ada di atas meja. Lalu, berdiri hendak beranjak. "Mengapa kamu melarikan diri?" Praka Yudan lebih sigap dari Naifah. "Lepaskan! Atau saya teriak?" Lelaki itu pun melepaskan cekalan tangannya pada Naifah. "Jangan lagi mengorek data tentang masa lalu saya! Anda tidak berhak sama sekali." Naifah pergi begitu saja. Praka Yudan tidak kehabisan akal. Lelaki itu meneror sepupunya dan bertanya tentang alamat Naifah. Ia harus segera mungkin memastikan dugaannya dan melakukan tindakan yang memang sudah lama harusnya ia lakukan. Tidak begitu sulit menemukan alamat rumah sang MUA. Praka Yudan turun dari mobilnya. Dilihatnya seorang ibu tengah menyapu teras. Wanita itu terpaku akan kedatangan tamu berseragam tentara. "Assalamu'alaikum.." "Waalaikumsallam, Le. Cari alamat siapa?" Praka Yudan tertawa kecil mendengarnya. "Apa benar ini rumah Naifah, Bu?" Ibu itu mengangguk cepat. Seketika mengajak sang praka masuk ke dalam rumah, "duduk dulu Le! Ibu ke belakang sebentar." Praka Yudan tidak bisa menahan wanita itu. Ia yakin seratus persen, jika wanita itu hendak memberinya minum. Ya, layaknya seorang tamu diperlakukan. Usai menyeruput teh hangat buatan ibu Naifah. Ya, Praka Yudan memang sedang beruntung karena menemui orang yang tepat. Ibu dari gadis yang benar-benar membuatnya penasaran untuk mengungkapkan sebuah kebenaran. Yang berhubungan dengan almarhum sang adik. "Apakah ibu mengenal Arganta Rais?" Ibu seketika langsung mengangguk. "Dia mantan pacar anak ibu, Naifah. Tapi Le sayangnya dia sudah meninggal. Kenapa Le?" "Alhamdulillah.. akhirnya saya menemukan calon istri saya." Ibu mengernyitkan dahinya. Tidak mengerti sama sekali maksud dari sang praka. "Izin Bu. Saya hendak mempersunting Naifah untuk saya jadikan seorang istri-" "Loh!? Le, kenapa tiba-tiba..." Akhirnya, Praka Yudan menjelaskan semuanya tentang wasiat sang adik sebelum kematiannya. Argan--adik Praka Yudan berpesan agar kelak ia menikahi Naifah yang saat itu masih menjadi pacarnya. Awalnya, Praka Yudan memang tidak mempedulikan wasiat itu. Bahkan, dirinya berusaha melupakan wasiat sang adik. Tetapi, entah mengapa? Argan selalu hadir di mimpi-mimpinya selama satu tahun belakangan ini. Padahal sudah tiga tahun lamanya ia meninggal dan tidak pernah hadir di mimpi sang kakak. "Jadi, maksud kamu menikahi anak saya karena wasiat?" Suara bariton itu tiba-tiba hadir ditengah-tengah perbincangan kedua orang itu. "Ini bapaknya Naifah Le." Ibu memperkenalkan bapak yang baru saja pulang dari kantor. Lelaki paruh baya itu langsung mendudukkan dirinya di samping ibu Naifah. "Iya Pak. Tetapi, saya berjanji tidak akan pernah melepaskan Naifah. Karena saya hanya ingin menikah satu kali dalam seumur hidup." Mantap dan tegas Praka Yudan menatap bapak Naifah. Bapak mengangguk-angguk dan tersenyum. "Berapa umur kamu?" "29 Pak." Ibu membelalakkan matanya, "j-jangan-jangan kamu tidak segera menikah karena..." "Iya Bu. Saya terus teringat akan wasiat yang belum saya penuhi." Beberapa saat kemudian, hening. Praka Yudan masih tetap mengangkat kepalanya, menatap kedua orang tua yang sepertinya tengah bertelepati. Berbicara dengan batin masing-masing. Menimang-nimang tentang masa depan Naifah--putri semata wayangnya. "Bawa kedua orang tuamu ke sini untuk melamar Naifah. Kapan saja..pintu rumah selalu terbuka Le," kata Bapak, yang seketika langsung membuat bibir ang praka menyunggingkan senyum. Praka Yudan pun berpamitan. Ia sudah lega, rasanya beban sedikit terangkat. Soal Naifah? Ia tidak peduli. Yang jelas restu kedua orang tua Naifah telah dikantonginya. Masalah perasaan anaknya, bisa dibidik kapan saja. Toh, kalau sudah SAH..akan lebih leluasa berpacaran dan menciptakan sebuah perasaan. Seusai kepergian Praka Yudan. Ibu menahan bapak yang hendak beranjak. "Pak, kenapa bapak bisa semudah itu percaya dengan tentara tadi? Kata bapak, bapak tidak kepingin punya menantu tentara?" Bapak tersenyum, "Bu, ini garis takdir yang tidak bisa kita rubah. Sudahlah, ikuti saja kata hati bapak. Bapak yakin, lelaki itu lelaki baik-baik. Kalau masalah menantu tentara, bapak mengalah. Allah sepertinya menuliskan takdir Naifah menjadi ibu persit selain tukang rias.." Ibu dan bapak tertawa pelan. Lalu, ketukan pintu terdengar. "Waalaikumsallam Nduk..." "Loh-loh!? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?" Tanya bapak sesaat sebelum Naifah beranjak ke pintu kamarnya. "Nggak apa-apa kok Pak. Naifah capek," ucap Naifah tenang, sembari tersenyum tipis. Ibu dan bapak hanya mengangguk-angguk saja. Membiarkan sang anak beristirahat. Mereka berpikir, mungkin jasa make up-nya sedang ramai. Maklum, musim orang menikah! Malam harinya, ibu dan bapak larut dengan acara TV. Sedangkan, Naifah baru saja dari dapur membuat secangkir kopi. "Nduk.." Naifah yang merasa terpanggil pun langsung mendekat pada kedua orang tuanya. Mendudukkan dirinya di sofa single. "Bapak mau dibuatkan kopi?" Tawar Naifah. Bapak mengalihkan pandangannya pada secangkir kopi, tinggal setengah yang berada di atas meja. Naifah paham, jika sang ibu telah lebih dahulu membuatkan kopi. Gadis itu pun tersenyum, menyadari dirinya yang kurang fokus. Bapak berdehem lalu ibu mematikan TV. Naifah mendongak, mengalihkan pandangannya dari cangkie kopi yang ada di tangannya. "Nduk, kamu mau kan menikah muda?" "Apa!?" Ibu memegangi dadanya. Teriakan Naifah sungguh mencengangkan. "Bapak!? Maksud bapak ini apa toh? Naifah ini masih 20 tahun hloo Pak. Ya, belum pantas menikah.." "Kata siapa!? Dulu ibu menikah umur 19 Nduk. Bapakmu ini umur 28 tahun. Beda usianya jauh sekali. Tetapi langgeng sampai saat ini," sahut Ibu ketika sang anak mempermasalahkan usia. Naifah memutar bola matanya. Sesaat kemudian, ia tersadar. Gejolak di dadanya tidak sanggup lagi ia bendung. "Bapak? Apa bapak berniat menjodohkan Naifah?" Lamanya beberapa menit hingga bapak kembali menatap Naifah setelah menyeruput kopinya. "Bapak tidak menjodohkan kamu. Tetapi, ada seorang lelaki yang berniat serius dengan anak bapak. Kesungguhannya membuat bapak tidak ragu. Apa kamu mau Nduk?" Air mata jatuh mengalir begitu saja. Naifah menyekanya dan menahan isak tangis yang keluar seiring berputarnya detik jarum jam. "Nduk.." ibu hendak memegang bahu Naifah. "Tidak apa-apa Bu..." Naifah menolak halus uluran tangan sang ibu. "..memangnya siapa lelaki yang hendak menikahi Naifah Pak?" Pertanyaan itu meluncur dengan nada tenang. Walau sedikit teriring tangis yang masih berusaha Naifah tahan. Bapak tersenyum, setidaknya sang anak peduli dan ingin tahu siapa lelaki yang hendak menjadi calon suaminya itu. "Kamu ingat almarhum Argan?" Tangis Naifah semakin pecah saja. Kenapa hari ini banyak sekali yang menyinggung soal Argan--mantan kekasihnya? Naifah hanya mengangguk, tidak sanggup menjawab. "Lelaki yang hendak menikahi kamu...masih sehubungan darah dengan almarhum Argan." Seketika kedua mata Naifah membelalak. Takdir apa ini!? Perbincangan di ruang keluarga itu membuat Naifah tidak bisa memejamkan matanya hingga pukul satu dini hari. Akhirnya ia putuskan untuk menjalankan sholat malam. Meminta ditenangkan hatinya, sekaligus meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa. "Ya Allah.. jika memang dia takdirku yang telah engkau tuliskan di Lauhul Mahfuz, aku meminta dia lelaki baik-baik yang kelak akan menyayangi dan mencintaiku hingga ajal menjemput. Lelaki yang pekerja keras dan mau berusaha untuk pernikahan kami. Lelaki yang hatinya selalu untuk-Mu, sehingga membuat aku semakin dekat denganmu..." "..dan, lelaki yang penyabar dan setia. Aamiin ya rabbal 'alamin Istajib Du'ana Ya Allah." Naifah mengakhiri pintanya pada Yang Maha Kuasa. Seusai merapikan mukena dan sajadah, ia kini mencoba memejamkan matanya. Dan, berharap semua do'a-do'anya mengangkasa dan didengar oleh-Nya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN