Chapter 4

1135 Kata
Selamat membaca Respati menuruni tangga dan menghampiri Ambar yang masih duduk di sofa. "Bunda, Respati pamit pulang," tuturnya sopan dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan ibu mertuanya. "Loh, Lidra mana? Nggak ikut pulang bareng kamu?" tanya Ambar heran karena tidak mendapati Respati turun bersama dengan Lidra. "Lidra bilang mau menginap di sini, Bun," sahut Respati ringan. "Kamu nggak sekalian nginap juga?" "Enggak, soalnya Respati nggak bawa persiapan apa-apa. Tadi niatnya cuma mau nyusul Lidra, tapi Lidra ternyata masih mau di sini," ungkap Respati. "Owalah, ya sudah pulangnya hati-hati, ya. Salam juga buat mama papa kamu." "Iya, Bun. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Ambar. Setelah masuk ke dalam mobil, Respati berteriak sekencang mungkin untuk menyalurkan seluruh emosi yang menderanya. Dia melajukan mobil meninggalkan halaman rumah orang tua Lidra sembari menahan kesal. "Arrgh!" teriaknya sembari memukul stir kemudi kasar. Tiba-tiba saja rahang Respati mengeras ketika mengingat kembali kejadian saat di kamar Lidra. Dia mengepalkan tangan erat hingga buku-buku jarinya memutih, lalu pria itu kembali memukul stir kemudi untuk menyalurkan amarah di dalam dirinya yang masih meledak-ledak dan belum mereda meski sudah memukul stir. "s****n!" Respati terus mengumpat dan mengoceh tidak jelas di sepanjang jalan karena masih tidak terima dengan perlakuan Lidra yang kurang ajar kepadanya. Memangnya wanita itu pikir dia siapa berani mengabaikannya? Sesampainya di rumah, Respati melangkah masuk ke dalam dengan raut wajah kesal karena suasana hatinya yang sedang tidak bagus. "Mas Respati dari mana?" tanya Anggun lembut ketika berpapasan dengan Respati. Entah Respati mendengarnya atau tidak, namun dia justru melangkah begitu saja melewati Anggun dan tidak menggubris pertanyaan adik angkatnya itu. Pria itu membuka pintu kamar dan membantingnya keras hingga menimbulkan bunyi suara yang memekakkan telinga. Anggun terkesiap dan tersentak kaget saat melihat Respati yang tiba-tiba membanting pintu kamarnya dengan sangat kencang. Sebenarnya apa yang membuat Respati sampai kesal seperti itu? ***** "Sudah sore, sepertinya aku harus pulang," ujar Eric sembari melirik arloji mewah yang berada di pergelangan tangannya. "Kenapa buru-buru, Mas? Nginap aja di sini, lagipula kita juga sudah lama nggak ketemu," sahut Lidra. "Nggak bisa, aku ada acara penting setelah ini," tolak Eric ringan. "Yahh ...." Lidra tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Besok kalau ada waktu, aku ajak kamu jalan-jalan," tutur Eric tersenyum simpul berusaha untuk menghibur Lidra. "Aku besok sudah balik ke rumah mama Rike. Dan mama pasti nggak akan kasih ijin aku pergi. Karena aku juga baru saja sembuh dan pulang dari rumah sakit," ujar Lidra pelan. "Tenang saja, aku sendiri yang akan minta ijin sama ibu mertua kamu. Toh kita juga palingan cuma makan siang dan jalan-jalan sebentar. Lagipula aku juga mikirin kondisi kamu yang baru mengalami kecelakaan, jadi nggak mungkin ngajak kamu pergi sampai berjam-jam. Pokoknya besok aku kabarin kalau bisa." "Kalau gitu sekarang aku pulang dulu. Jaga kesehatan dan jangan tidur malam-malam," tutur Eric perhatian dan mencium kening Lidra penuh kasih sayang. Kemudian ia turun dari tempat tidur dan berjalan keluar. Sedangkan Lidra hanya menatap punggung Eric dari belakang dengan tatapan sayu seakan tidak rela jika pria itu pergi. Namun dia juga tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal. Jam menunjukkan pukul 18.36. "Kamu hanya menginap satu malam di sini?" tanya Santoso kepada putrinya di sela-sela makan malam. "Iya, Yah. Aku bilang sama mama Rike cuma satu hari di sini, jadi besok pagi sudah harus balik ke sana," jawab Lidra ringan. Santoso hanya manggut-manggut. "Suami kamu tadi nggak ikut ke sini juga?" "Enggak, dia kan kerja, Yah," sahut Lidra tak peduli. "Tadi nak Respati sempat ke sini nyusul Lidra sebentar. Tapi habis itu dia langsung pulang duluan karena Lidra masih mau di sini. Apalagi kan tadi ada Eric, jadi semakin betah lah anak kita ini," timpal Ambar. "Loh, kapan anak itu pulang dari Australia?" tanya Santoso heran. "Katanya kemarin sampai di Indonesia," jawab Ambar ringan. "Terus sekarang Eric di mana? Sudah pulang?" "Pulang tadi sore. Padahal aku sudah nyuruh dia nginap di sini, tapi dia katanya nggak bisa karena ada acara penting," jelas Lidra. Santoso menghela napas berat. "Anak itu memang selalu saja sibuk. Padahal kalau dia masih di sini Ayah mau ngajak nonton bola bareng." "Maklum lah, Yah. Namanya juga pengusaha sukses, koneksinya di mana-mana. Masih untung dia tetap bisa pulang ke Indonesia di tengah-tengah kesibukannya dan jadwalnya yang padat," tutur Ambar. "Giat bekerja memang bagus, tapi kalau terlalu berlebihan kan ya nggak baik juga buat dia, Bun." "Nggak baik gimana, Yah?" tanya Ambar bingung. "Jadi susah dapet jodoh karena nggak ada waktu buat cari pasangan. Waktunya cuma buat kerja terus, makanya sampai sekarang nggak punya pendamping hidup," pungkas Santoso yang sedikit kesal dengan keponakannya yang terus menunda pernikahan di saat usianya sudah cukup matang untuk membangun rumah tangga. "Padahal sudah kepala tiga, tapi masih saja belum menikah," keluh Santoso yang tidak mengerti dengan apa yang tengah Eric pikirkan hingga terus menunda pernikahan. "Baru juga 31 Yah, belum sampai 39. Jadi masih muda lah, belum terlalu tua juga." Ambar membela Eric. "Tapi kalau terus seperti itu juga nggak bagus, Bun. Apalagi dia sudah terlalu dewasa dan cukup umur untuk menikah." "Itu biar jadi urusan anaknya saja, Yah. Lagipula dia juga kelihatan santai-santai saja meskipun sendiri. Mungkin memang masih belum siap dan masih ingin bebas. Kalau sudah siap nanti juga cari pendamping sendiri tanpa disuruh," jelas Ambar tersenyum. "Apa kita kenalkan saja sama anak temannya kenalan Ayah? Dia anaknya cantik, sopan, dan juga berpendidikan tinggi. Siapa tau mereka cocok," ujar Santoso antusias. Lidra yang sedari tadi fokus makan dan hanya diam mendengarkan pembicaraan orang tuanya mulai ikut menimbrung. "Mending nggak usah, Yah. Biarkan mas Eric memilih pasangannya sendiri. Kita nggak usah ikut-ikutan, takutnya nanti mas Eric justru merasa nggak nyaman dan berpikir jika kita terlalu ikut campur dengan urusan pribadinya. Meskipun sebenarnya niat kita baik, tapi tetap saja terkadang ada yang merasa sensitif dengan hal seperti itu. Kalau terus-terusan didesak, orangnya justru merasa tertekan. Lagipula kalau dia memang mau, dia pasti akan mencarinya sendiri." "Nah, betul tuh kata Lidra," sahut Ambar setuju. ***** "Mama kenapa kasih ijin Lidra menginap di rumah ayah?" Respati terlihat kesal ketika sedang berada di meja makan. "Loh, memangnya kenapa? Toh dia juga nginap di rumah orang tuanya sendiri," balas Rike acuh. "Masalahnya dia jadi nggak mau aku ajak pulang gara-gara Mama sudah kasih dia ijin. Padahal aku suaminya, seharusnya dia bilang dulu ke aku kalau mau pergi ke mana-mana," pungkas Respati tidak suka. "Tadi kan kamu kerja, terus yang ada di rumah juga cuma Mama. Jadi ya wajar kalau Lidra pamitnya sama Mama." "Kan dia bisa telfon aku, Ma," tukas Respati. Rike berdecak kesal. "Ya sudah sih sama saja, ih. Ribet kali kau ini," pungkasnya ketus. "Bukannya ribet, tapi yang namanya pasangan kan harus saling mengabari satu sama lain," ujar Respati ringan. "Ya, ya, ya, terserah kamu saja lah," tukas Rike malas. Wibowo yang melihat itu justru tersenyum karena menyadari Respati mulai sedikit memperhatikan Lidra. Sedangkan Anggun hanya menatap Respati dengan tatapan yang sulit diartikan. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN