Selamat membaca
Keesokan harinya, Lidra sudah tiba di depan halaman kediaman mertuanya bersama dengan Maman.
"Makasih, Pak," kata Lidra sebelum turun dari mobil.
"Sama-sama, Mbak," sahut Maman ramah.
Lidra melangkah masuk ke dalam rumah, dan mendapati semua orang tengah berada di meja makan tengah bersiap untuk sarapan bersama.
"Assalamu'alaikum." Lidra mengucap salam dan membuat semua orang menoleh ke arahnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang serempak.
"Lidra sini, Nak," ujar Rike dengan raut wajah ceria sembari menepuk kursi di sebelahnya. Karena kursi yang seharusnya diduduki Lidra ternyata sudah ditempati oleh Anggun yang duduk tepat di sebelah Respati.
Lidra mengangguk dan melangkah menuju meja makan. Dia mencium punggung tangan Rike dan Wibowo terlebih dulu. Kemudian dia menyeret kursi dan duduk di sana dengan tenang, tidak memperdulikan tatapan seseorang yang kini tengah menatapnya tajam karena melewatinya begitu saja.
"Ehemm!" Respati berdehem cukup keras, namun itu tetap tidak bisa menarik perhatian seseorang.
Dia sudah bersiap membuka suara untuk memprotes sikap Lidra yang terang-terangan mengacuhkan dirinya, namun dia kalah cepat dengan Rike. "Kamu belum sarapan, kan?" tanya Rike lembut kepada Lidra.
"Belum, Ma. Tadi memang sengaja mau sarapan di sini," sahut Lidra ringan.
"Pas banget, ini Mama bikin kebab spesial buat kamu. Kamu kan suka sekali sama kebab," tutur Rike riang sembari mengambilkan kebab dengan ukuran kecil ke piring Lidra.
Respati memutar bola mata malas ketika Rike terus menyela ucapannya.
"Ya ampun, Ma. Nggak perlu repot-repot begini," pungkas Lidra merasa tidak enak.
"Repot bagaimana? Mama sendiri yang mau bikin, kok," balas Rike.
"Ayo, dimakan," sambungnya sumringah.
Lidra berdoa terlebih dahulu sebelum menyantap makanan yang telah ibu mertuanya buat khusus untuknya.
"Oh iya, kak Eric mau ngajak aku jalan-jalan, Ma. Soalnya kami kan jarang ketemu, dan kak Eric juga nggak sering pulang ke Indonesia. Jadi rencananya kami mau pergi berdua sebentar saja. Gimana? Boleh?"
Respati melotot tajam ke arah Lidra. Suaranya sudah berada di ujung tenggorokan bersiap untuk melarang Lidra, tetapi lagi-lagi dia kalah cepat dengan Rike.
"Jelas boleh lah kalau sama sepupu kamu," jawab Rike menyetujui.
"Serius, Ma?" tanya Lidra dengan mata yang berbinar-binar.
"Mana bisa begitu, Ma? Dia kan baru saja keluar dari rumah sakit. Seharusnya dia di rumah saja dan belum boleh pergi ke mana-mana," protes Respati lugas.
"Halah, apa sih kamu ini? Orang Lidra perginya juga sama Eric. Jadi nggak akan terjadi apa-apa dengan Lidra," balas Rike acuh.
Kemudian tatapan Rike kembali beralih ke arah Lidra. "Kalau sama Eric Mama percaya. Karena dia pasti akan jaga kamu dengan benar," sahutnya yakin.
Lidra tersenyum simpul. "Makasih, Ma," tuturnya terlihat begitu sumringah dan tidak menggubris Respati yang tidak menyetujuinya.
"Tetap saja kondisi Lidra masih belum stabil. Mama melarang dia untuk kerja, tapi kasih dia ijin buat pergi sama orang lain." Respati masih saja belum menyerah untuk membuat Lidra tetap berada di rumah.
"Sudahlah, kamu itu nggak usah terlalu khawatir yang berlebihan. Toh, Lidra juga perginya nggak sendiri," pungkas Rike ketus.
"Aku hanya memberitahu, bukan khawatir," ujar Respati menegaskan.
"Terus saja cari alasan," balas Rike.
"Sudah, sudah. Kalian berdua ini selalu saja bertengkar. Ini meja makan, bukan meja untuk berdebat. Kalau masih ada yang mau bicara lebih baik keluar saja," tukas Wibowo tegas karena jengah melihat pertengkaran antara istri dan anaknya.
Seketika suasana pagi itu menjadi hening. Selepas selesai menyantap sarapan, Wibowo bergegas berangkat kerja seperti biasanya. Sedangkan Respati memilih untuk berangkat agak siang, jadi hari ini Anggun berangkat sendiri naik taksi.
"Kenapa tidak berangkat kerja?" tanya Lidra singkat sembari melirik ke arah Respati yang justru sedang bersandar di punggung ranjang sembari memainkan laptopnya.
"Bukan urusanmu," pungkas Respati datar.
"Yah, terserah," balas Lidra acuh, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan handuk yang berada di pundaknya sembari membawa pakaian ganti.
"Ngapain bawa baju ke kamar mandi?" tukas Respati datar ketika mendapati Lidra membawa pakaian di tangannya.
"Buat ganti baju lah, memangnya buat apa lagi?" sahut Lidra ketus.
"Kita ini sudah menikah, apa perlu sampai harus ganti baju di dalam?"
Lidra menoleh ke arah Respati dengan raut wajah mencibir sembari menaikkan bibirnya sebelah ke atas. "Gak jelas jadi orang," gumamnya acuh, lalu masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu rapat.
Beberapa saat kemudian, ponsel Lidra yang berada di atas nakas berdering. Respati melirik dan mendapati nama seseorang tertera di layar ponsel Lidra. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil benda pipih itu, lalu menekan sebuah tombol untuk menerima panggilan tersebut.
"Ada apa?" tukas Respati dingin dan menukik tajam.
"Berikan telfonnya pada Lidra." Suara bariton dari seberang sana juga tak kalah dingin dari Respati.
"Lidra tidak ada," pungkasnya datar.
"Ck, b*****h sepertimu memang harus disingkirkan."
Respati tertawa sinis. "Siapa di antara kita yang sebenarnya seorang b*****h, eh? Lidra itu istriku, jadi aku yang lebih berhak atas dia bukan seseorang yang mencoba mengambil milik orang lain."
"Apa maksudmu kamu yang lebih berhak?" Suara Lidra terdengar dingin.
Dia berjalan dengan langkah lebar menghampiri Respati, lalu merebut ponselnya cepat dari tangan pria itu. "Aku bukan barang, dan aku juga bukan milik siapapun," tukasnya tegas.
Lidra berjalan menjauh dari Respati. "Maaf, Mas. Aku baru saja selesai mandi," ungkapnya.
"Nggak apa-apa. Hari ini aku bisa pergi, jadi sebentar lagi aku akan ke sana jemput kamu."
Sudut bibir Lidra tersungging ke atas membentuk senyuman lebar. "Oke, aku akan tunggu. Mama juga sudah kasih aku ijin pergi," ujarnya senang.
"Dandan yang cantik, ya," goda Eric.
Lidra tertawa kecil. "Iya, tenang saja. Nanti aku pakai bedaknya sampai lima senti."
Terdengar suara tawa yang menggelegar dari ujung sana. "Mau sekalian ikut pertunjukkan ondel-ondel atau gimana?" gurau Eric tanpa dosa.
Mereka berdua asik mengobrol dengan akrab melalui telepon sampai melupakan keberadaan Respati yang juga berada di kamar tengah mendengar percakapan mereka berdua. Rahang Respati mengeras, tangannya terkepal erat, telinganya terasa panas saat mendengar pembicaraan antara Lidra dan Eric yang tiada henti. Dia kemudian melangkah menghampiri Lidra dan merebut ponsel wanita itu kasar. Pria itu langsung mematikan sambungan telepon dan melempar benda pipih itu di atas kasur dengan raut wajah merah padam.
Sedangkan Lidra hanya menatap Respati dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Dia bersiap pergi untuk mengambil ponselnya, namun tangannya dicekal erat oleh Respati. Pria itu menarik tangan Lidra cepat dan mendorongnya kasar ke dinding sampai kepala Lidra terbentur cukup keras.
Tangan Respati mencengkeram pipi Lidra kuat hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana. "Aku tidak suka melihat istriku mengobrol dan dekat dengan laki-laki lain, jadi jaga sikap kamu!" desis Respati tajam dan mengintimidasi.
Alih-alih ketakutan, Lidra justru tersenyum sinis seperti seorang psikopat. Dia melepaskan tangan Respati yang berada di pipinya kasar.
"Pernikahan kita hanyalah sebuah status, dan aku juga tidak pernah benar-benar menganggap kamu sebagai suami. Jadi jangan pernah sok berlagak seperti seorang suami sungguhan, karena kamu bukan siapa-siapa bagi aku," desis Lidra tajam dan melewati Respati begitu saja yang hanya terdiam kaku di tempatnya saat ini berdiri.
TBC.