Bima mendudukkan istrinya di bibir ranjang dan mengusap bahunya penuh kelembutan. “Terima kasih, karena kamu masih mau mendengarkan aku, Sayang.”
“Sayang, aku memang ingin Intan kembali tapi kamu jangan khawatir, posisimu aman di hatiku. Intan pun kembali karena hidupnya sebatang kara, Sayang. Ia tidak memiliki siapapun, jadi tempat pulang terakhirnya adalah padaku.”
“Intan hanya menginginkan kedamaian di rumah ini, kembali dan memastikan bahwa semuanya aman terkendali. Kamu dan Intan bisa bekerja sama dalam mengurus aku dan juga rumah ini. Intan juga berharap, diantara kalian tidak akan ada lagi yang namanya perselisihan.”
“Aku tahu betul, Intan saat ini sudah bisa menerima kamu, Sayang. Mungkin, beberapa waktu yang lalu memang masih belum baik-baik saja hatinya dan masih tidak terima dengan kedatanganmu.”
“Lalu, kamu tidak memikirkan perasaanku juga, Bima?”
“Hei, kata siapa? Aku begitu sangat memikirkan semuanya. Aku ingin hidup kita damai dan tenang, Sayang. Aku mohon, setuju dengan semua ini ya. Aku janji akan bersikap adil.”
“Bima, dengan setiap malam kamu berada di dalam kamarnya saja itu sudah sangat tidak adil. Lalu, kamu masih mau bicara bahwa bisa bersikap adil dengan semua ini? Kamu ini sedang bercanda atau bagaimana?”
“Hei, tenang … jangan marah-marah dulu. Hal yang seperti itu, masih bisa kita bicarakan semuanya dengan sangat baik-baik, Sayang. Bisa kita atur lagi saat Intan sudah kembali ke rumah ini, untuk sementara kita setuju saja dulu.”
“Kamu jangan khawatir, nanti aku akan bicara dengannya dan mengajukan penawaran. Aku yang akan mengatur waktu untuk kalian, karena aku adalah suami kalian. Jadi, kamu jangan sedih ya, aku tetap akan bersama denganmu juga kok.”
“Aku sudah sangat memikirkan semuanya dengan sangat baik sayang. Nantinya, aku akan membuat beberapa kesepakatan dengan Intan, salah satunya adalah membuat jadwal setiap malamnya diantara kalian berdua agar tidak ada yang tindih tanggung jawab. Aku akan membuat Intan menjadi lebih kooperatif dengan semua ini.”
Rika menggeleng lemah. “Jadwal? Apa kamu pikir, semua ini hanya soal jadwal tidur malam, Bima? Tidak! Ini juga tentang perasaan, tentang kepercayaan yang sudah hancur. Kamu memberikan banyak janji padaku dan aku percaya lalu dihancurkan begitu saja dalam waktu yang singkat.”
“Iya, Rika. Aku tahu, tapi kita bisa memulai semuanya dari sesuatu yang lebih mudah bukan? Kita bisa membuat peraturan yang jelas pastinya, berbicara secara terbuka juga tentang perasaan kita semua dan berusaha lebih keras lagi untuk bisa saling memahami satu sama lainnya.”
Rika menatap Bima dengan sorot mata sendu, matanya mulai berkaca-kaca. Sedih rasanya karena merasa harapan sederhananya bisa hancur dalam seketika karena semua ini.
“Aku hanya ingin kita bahagia, Bima. Aku juga ingin anak ini merasa sangat bahagia dengan kehadiranmu. Tapi, aku juga tidak tahu bahkan merasa tidak yakin, apakah aku bisa menerima Intan kembali.”
“Aku mengerti, aku paham. Aku juga menginginkan hal yang sama. Aku ingin kita semua merasa sangat bahagia. Tapi, mungkin ini adalah salah satunya cara agar keluarga kita menjadi utuh kembali.”
Rika terima sejenak, sejujurnya merasa tidak setuju dengan apa yang diinginkan oleh suaminya. Tapi, ketika menatap pria itu yang sudah terlihat sangat lelah juga putus asa, hatinya merasa tidak tega. Di dalam hatinya merasa sangat dilema sekali, bingung sikap apa yang harus diambil setelah ini.
Satu sisi, merasa merasa sangat marah dan tersakiti oleh sikap Bima yang langsung setuju begitu saja. Tetapi, sisi lain ia juga melihat suaminya masih begitu sangat mencintai kakak madunya. Rasanya sakit dan terluka, ia hanya berharap bahwa hanya dia saja yang menjadi cinta untuk sang suami, namun ternyata semua itu hanya sebuah harapan belaka saja.
“Baiklah, Bima. Aku akan berusaha untuk mencobanya tapi aku masih tidak yakin dengan hatiku ini. Aku melakukan semuanya bukan karena aku setuju dengan semua ini, tapi aku melakukan semua ini karenamu, Bima.”
“Karena aku, begitu sangat mencintaimu ….”
“Terima kasih, Sayang. Aku juga begitu sangat mencintaimu dan berharap, keluarga kita akan bahagia selamanya.”
*
Malam ini, langit gelap begitu sangat pekat, hanya dihiasi oleh beberapa bintang yang bersinar samar. Intan melangkah keluar dari taksi, karena menolak diantara oleh suaminya, benar-benar membatasi diri sebelum adanya keputusan dari syarat yang diajukan olehnya. Ia melangkahkan kakinya melewati gerbang rumah Rina.
Saat ini, rumah Rina sahabatnya itu adalah tempat berlindungnya dalam beberapa waktu belakangan ini. Setelah semua yang terjadi dalam kehidupannya, beruntung masih ada yang bersedia untuk menampungnya.
Rina sudah memang sejak tadi, sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu. Mendengar suara taksi yang berhenti tepat di depan rumahnya, ia langsung bangkit dan menyambut kedatangan Intan dengan pelukan hangat. Namun sayangnya, malam ini Intan tidak ingin berbicara banyak hal karena merasa lelah dengan segala macam pikiran yang ada.
“Bagaimana pertemuan kalian?”
“Berjalan lancar sekali, Rina. Sesuai dengan apa yang aku inginkan dan rencanakan,” jawab Intan tersenyum lelah.
“Apa kamu sudah merasa yakin dengan semua ini, Tan?” tanya Rina menatap lekat sahabatnya.
Intan membalas tatapan sahabatnya dengan penuh kepedihan dan sendu. “Aku tidak tahu, apa yang aku lakukan saat ini benar atau salah. Aku juga tidak tahu langkah yang aku ambil ini sebenarnya mau di bawa kemana. Tapi, aku harus tetap melakukan semua ini, Rina. Mungkin, ini adalah salah satu caraku untuk bisa bertahan. Aku juga sudah terlalu lama sekali merasakan sakit yang luar biasa ini. Dan, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa merasakan perasaan yang lebih baik setelah luka ini terus basah karena disiram air keras secara terus-menerus.”
Rina menghela nafas panjang, merasa kasihan sekali sebenarnya pada Intan. Ia tahu betul bagaimana wanita itu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya, kerja keras pulang malam untuk lembur, demi mendapatkan banyak bonus dari perusahaan. Semua itu dilakukan demi untuk menyenangkan hati keluarga suaminya, tapi ternyata balasannya yang didapatkan olehnya sungguh sangat luar biasa menyakitkan sekali. Lukanya terlalu dalam yang dirasakan oleh Intan.
“Intan, aku akan selalu mendukung apapun yang kamu lakukan, hanya saja … aku merasa sedikit khawatir akan sesuatu hal,” jeda Rina masih menatap lekat wajah Intan. “Aku tidak mau, semakin dalam kamu melakukan banyak hal, malah membuat hatimu semakin sakit karena merasakan luka sendirian.”
“Tapi, bukankah semua ini juga atas saran darimu?”
“Memang, hanya saja aku memperingatkan untuk tidak terlalu dalam bermain-main. Aku tidak mau kamu kembali terluka, itu saja.”
“Tenang saja, Rina. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri. Intan yang sekarang, bukan lagi Intan yang dulu. Aku tahu bagaimana caranya mengurus hatiku yang terluka.”
“Kau yakin?”
“Iya, aku yakin!”
“Baiklah. Apapun bantuan yang kau butuhkan, katakan saja! Aku akan siap membantumu, Intan.”
Intan kembali terdiam, memikirkan kata-kata Rina yang justru membuatnya kembali berpikir keras. Memang menyadari, kalau apa yang dilakukannya mungkin tidak akan pernah membawa sebuah kebahagiaan yang sejati. Hanya saja … ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bisa melanjutkan hidupnya tanpa lagi merasa terlalu hancur.
Setelah obrolan singkat tersebut, mereka berdua kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Intan kembali ke kamarnya yang disediakan oleh Rina dalam beberapa waktu ini. Sesampainya di dalam kamar, Intan langsung mengunci pintu agar tidak lagi diganggu oleh Rina. Mulai membiarkan dirinya tenggelam dalam kehampaan dan kesunyian yang saat ini sedang dirasakan olehnya.
Duduk di tepi ranjang, memandang lurus ke depan. Ia terus saja memandangi bayangan dirinya yang ada di dalam cermin, tepat terletak di sudut ruangan. Wajahnya masih terlihat sangat cantik sekali, di usianya yang sudah menginjak delapan puluh tujuh tahun, harus menghadapi cobaan rumah tangga yang begitu menyakitkan.
Dari pantulan cermin tersebut, terlihat matanya yang sembab akibat tangisan panjang yang terus menghantuinya dalam beberapa hari terakhir ini. Memang, cermin tak akan pernah bisa membohongi siapapun, semuanya terlihat jelas di dalam sana, bahkan lukanya pun terlihat sangat jelas.
Tiba-tiba, Intan tersenyum sinis saat melihat bayangannya sendiri di dalam cermin. “Mereka mungkin berpikir, bahwa aku ini adalah wanita yang lemah,” gumamnya pelan.
“Mereka tidak pernah tahu, sekalipun aku ini adalah wanita yang lemah. Maka, akan bisa berubah menjadi wanita yang sangat kuat jika sudah mendapatkan luka yang mendalam,” tambahnya.
Intan memiliki sebuah ide untuk membalaskan semua rasa sakit yang dirasakan olehnya pada mereka semua. Pertemuannya tadi dengan Bima, berhasil membuatnya percaya dengan segala macam drama tangisan yang dibuat olehnya. Tersenyum penuh arti saat mengingat pertemuannya tadi, melihat sorot mata pria itu penuh dengan penyesalan yang mendalam. Dan, Intan akan lebih membuat suaminya itu merasakan penyesalan yang lebih mendalam karena sudah menyakiti hatinya lebih dari ini.
Wanita cantik itu mulai merancang sebuah rencana balas dendam dengan sangat hati-hati sekali. Ia masih sangat ingat betul, bagaimana rasa sakit hati yang dialami olehnya ketika Bima memutuskan menikah lagi dengan Rika. Padahal, mereka sudah menikah cukup lama, melewati semuanya dengan bersama-sama tapi ternyata kedatangan orang baru dalam kisah yang belum selesai berhasil membuat semuanya hancur berantakan.
Alasan utamanya masih sama, yaitu karena Intan masih belum juga hamil sampai saat ini. Sedangkan, tekanan dari Badriah yang selalu saja mengatakan sangat ingin menimang seorang cucu, semakin membuat hidup wanita itu terasa semakin di neraka. Ia masih ingat betul, setiap hari selalu mendapatkan sindiran tajam dari mertuanya dan setiap kali Bima selalu membela Ibunya, hati wanita itu semakin merasa hancur.
Dan, puncak kehancurannya adalah saat Bima benar-benar menikahi Rika, itu adlah pukulan terakhir yang paling hebat bagi Intan. Ia merasakan luka yang sangat dalam karena dikhianati oleh suaminya sendiri. Dalam hatinya, ia bersumpah untuk membuat mereka semua merasakan sebuah penderitaan yang sama, bahkan lebih dari apa yang dirasakan olehnya. Kali ini, memulai semuanya dengan Bima, karena pria itu yang sudah paling banyak berperan dalam menghancurkan hidupnya.