Sinar mentari mulai menembus jendela kamar Intan, memberikan kehangatan yang menyenangkan dan menenangkan jiwa. Intan membuka matanya perlahan, merasakan kedamaian yang sangat luar biasa, ia jarang sekali bisa merasakan kedalaman seperti ini beberapa waktu kebelakang ini.
Pikirannya pun mulai terasa lebih ringan dari sebelumnya, setelah ia memutuskan untuk tidak membiarkan dendam lebih dalam menguasai dirinya sepenuhnya. Tapi, semua rencana untuk membuat Bima, Rika dan Badriah menyesal masih ada di dalam benaknya dan akan terlaksana secara perlahan. Namun, kali ini ia akan menjalankan semuanya dengan sangat hati-hati juga kepala dingin, agar tidak dipengaruhi oleh emosi yang membara.
Intan segera bersiap dan turun ke ruang makan ia disambut hangat oleh Rina yang sudah menyiapkan sarapan pagi untuk mereka. Selama di rumah sahabatnya itu, memang lebih sering dimasakin makanan yang sangat enak-enak, itu juga karena memang sahabatnya hobi masak.
“Selamat pagi Intan. Bagaimana tidurnya semalam? Apakah kau merasa nyenyak?” tanya Rina dengan senyum lebar.
“Pagi, Rina,” jawab Intan membalas senyuman yang tidak kalah manisnya. “Semalam, aku tidur cukup nyenyak dari biasanya. Aku sudah merasa lebih tenang, ketika tidak terlalu memikirkan dendam, aku ingin pesanmu untuk tidak larut terlalu dalam agar tidak menyakiti hatiku sendiri. Tapi, aku akan tetap menjalankan semuanya dengan secara perlahan.”
“Aku senang sekali mendengarnya, aku hanya tidak ingin semua dendam ini justru akan menyakiti hatimu lebih dalam. Jadi, kamu harus selalu berhati-hati ya, dan aku akan terus selalu ada untukmu.”
“Rina, terima kasih karena kamu selalu berusaha ada untukku dan memberikan saran-saran baik untukku.”
Rina segera duduk di depan Intan dan menatap wanita itu dengan dengan penuh perhatian. “Intan, aku melihat kamu bahagia saja sudah lebih dari cukup. Apalagi mendengar bahwa kamu akan berusaha menjalani semuanya dengan hati-hati namun tepat sasaran, aku lebih senang mendengarnya. Kamu sekarang terlihat lebih tenang, aku juga merasa tenang. Semoga apa yang kamu rencanakan, semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada masalah nantinya.”
Intan mengangguk cepat. “Aku juga mengharapkan hal yang sama seperti itu. Sekali lagi, terima kasih Rina, kamu adalah sahabat terbaikku.”
“Sama-sama, Intan.”
“Ngomong-ngomong, kamu masak apa?”
“Nasi goreng seafood kesukaanmu. Ayo kita sarapan, setelah itu berangkat ke kantor.”
Mereka segera menghabiskan sarapan yang sudah dihidangkan dan setelah selesai sarapan, mereka langsung bersiap-siap untuk berangkat ke kantor bersama-sama. Di perjalanan menuju ke kantor, Intan merenungkan banyak hal, termasuk tentang Mahendra, bos yang selalu ada untuknya.
Tiba-tiba senyuman terukir indah dari bibirnya ketika mengingat pria itu, lalu kembali menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikirannya tentang, Mahendra. Rina melihat jelas tingkah aneh sahabatnya itu, hanya mampu tersenyum saja, karena tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Intan.
Sesampainya di kantor, Intan dan Rina langsung menuju ke ruangan mereka masing-masing. Tidak lama kemudian, saat wanita muda itu sedang fokus pada laptopnya, tiba-tiba Mahendra datang menghampiri dengan memberikan senyuman khasnya.
“Selamat pagi, Intan. Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Pak Mahendra!” pekiknya terkejut. “Maaf, Pak. Saya tidak menyadari kedatangan, Bapak.”
“Tidak masalah, saya juga melihat kamu sedang sangat fokus dengan pekerjaan. Tapi, dasar saja saya usil ingin menyapamu.”
“Jadi, bagaimana kabarmu hari ini? Apakah sudah lebih baik dari sebelumnya?” tanya Mahendra penuh dengan perhatian membuat wajah wanita itu sedikit memerah, karena selama ini Bima tidak pernah menanyakan kabarnya walaupun sering bertemu, tapi hal-hal kecil seperti itu percayalah bisa membuatnya bahagia.
“Saya, sudah lebih baik dari sebelumnya, Pak. Ya mulai bisa melewati semuanya dengan tenang walaupun hati masih selalu merasa panas,” kekehnya.
“Saya senang bisa melihatmu lebih ceria seperti hari ini. Terus ceria seperti ini, ya. Karena keceriaanmu, membuat semangatku lebiu berwarna,” jawab Mahendra.
Kata-katanya, berhasil membuat hati Intan menghangat. Entahlah, kenapa pria itu semakin hari semakin bisa membuat hatinya tidak baik-baik saja karena rasa hangat yang selalu diberikan. Akhirnya, mereka berbincang sejenak sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing, memang ajaib sekali. Bos yang selama ini bersikap dingin, mulai berubah menjadi manis dan itu membuatnya suka.
Sepanjang hari, Mahendra selalu saja terus memperhatikan Intan dari balik layar monitornya. Memang tidak ada pekerjaan sekali pria itu, padahal berkas menumpuk untuk segera di cek dan disebabkan, namun pikirannya justru terpaku pada wanita yang masih berhasil menduduki tempat tertinggi di dalam hatinya, hingga sampai saat ini.
Mahendra selalu saja berusaha untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja. Intan selalu merasakan getaran-getaran aneh setiap kali bersama dengannya, maka dari itu seringkali wanita cantik yang bekerja sebagai sekretaris pribadi itu selalu saja berusaha menghindari bosnya. Padahal, bosnya itu begitu sangat memperdulikannya.
Intan juga sadar atas semua kepedulian dan perhatian yang diberikan oleh Mahendra. Semuanya terlihat sangat tulus dan wanita itu juga menyadari, kepedulian yang tertandingi jika dibandingkan oleh Bima, suaminya yang bodoh itu. Wanita itu selalu berusaha keras untuk menahan semua perasaannya yang seakan tak bisa dicegah itu. Ia merasa tidak ingin jatuh cinta pada bosnya, sementara statusnya saja sampai saat ini masih sebagai istri sah Bima. Wanita itu juga tidak ingin membuat pria dingin itu terlibat dalam sebuah rencana balas dendamnya yang terasa sangat rumit.
Jam makan siang tiba, Mahendra segera menghubungi Intan melalui sambungan telepon. Ia berencana untuk mengajak wanita itu makan siang bersama di kantin kantor seperti biasanya.
“Intan, kamu hari ini makan siang bersama dengan Rina lagi di luar?” tanya Mahendra basa-basi.
“Tidak, Pak. Ada apa? Apakah ada rencana makan siang bersama dengan klien?”
“Tidak ada. Kamu mau tidak makan siang bersama denganku? Temani saya seperti biasa.”
Intan terdiam sejenak, sebenarnya ia merasa ragu jika makan siang bersama dengan Mahendra di kantor. Karena, gosip tentang mereka itu sudah melebar luas, khawatir nantinya akan menjadi salah paham. Tapi, bosnya itu selalu saja punya cara agar mereka bisa makan siang bersama.
“Hei, bagaimana? Mau tidak?”
“Baiklah, Pak. Ayo.”
Mereka akhirnya duduk bersama di salah satu meja di kantin. Keduanya terlihat sangat akrab sekali memang, berbincang ringan mengenai banyak hal sambil menikmati makanan yang sudah dihidangkan. Mahendra memang selalu tahu dan memiliki cara untuk membuat Intan merasa nyaman dan aman. Namun, di tengah perbincangan mereka yang lagi seru, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Bima langsung tertera di layar.
Intan memutar bola matanya, merasa malas sekali untuk menjawab telepon dari pria itu. Tapi, ia harus melakukannya demi untuk rencana yang sudah dibuat olehnya.
“Siapa? Kenapa tidak segera diangkat?”
“Bima. Saya malas menjawabnya, Pak.”
“Jawab saja, Intan. Siapa tahu ada hal yang penting.”
Akhirnya, karena tidak ada pilihan lain, Intan segera mengangkat telepon itu dengan nada datar. “Halo?”
“Intan, akhirnya kamu angkat juga teleponku.”
“Ada apa?”
“Kita sepertinya harus kembali bertemu dan membicarakan sesuatu hal,” jawab Bima terdengar sangat serius di seberang telepon.
“Tentang apa, Bima?” jawab Intan masih dengan nada datar dan berusaha untuk tenang, tidak emosi.
“Tentang kita, Sayang. Tentang syarat yang kau ajukan juga. Bagaimana, apakah bisa nanti malam kita bertemu lagi?” pinta Bima.
Intan terdiam sejenak, berpikir untuk menolak. Karena sejujurnya, ia masih malas bertemu dengan pria itu. Ia harus memberikan alasan yang sangat masuk akal pastinya agar tidak membuat pria itu curiga. “Hm … malam ini, ya?”
“Iya, bisa kan, Sayang?”
“Maaf, Bima. Tapi sepertinya tidak bisa, malam ini aku akan menemani bos untuk bertemu dengan klien. Jadi, sepertinya tidak bisa.”
“Hm … begitu, ya? Jadi kamu lembur? Ya sudah kalau begitu, nanti kalau ada waktu untuk bertemu, segera hubungi aku, ya.”
“Iya, Bima. Maaf ya, aku harus kembali ke meja, lagi ketemu klien.”
“Baik, semangat kerjanya.”
Setelah telepon berakhir, Mahendra menatap Intan dengan penuh perhatian dan juga tanda tanya besar.
“Ada masalah, Intan?”
Intan tersenyum kaku, sadar bahwa tadi ia sudah menyeret nama Mahendra secara tidak langsung. “Tidak ada apa-apa, Pak. Hanya sedikit urusan pribadi saja. Maaf, tadi secara tidak langsung, menyeret nama Bapak.”
Mahendra mengangguk mengerti. “Tidak masalah. Kalau memang kamu butuh sesuatu, katakan saja. Saya akan membantunya, jangan ragu untuk meminta bantuan.”
Intan kembali merasa tersentuh dengan perhatian yang diberikan oleh Mahendra, tapi tetap pada prinsipnya untuk menjaga jarak. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha mengurus semuanya terlebih dahulu, sendiri.”
“Baiklah. Tidak apa-apa, tapi ingat jangan sungkan meminta bantuan kalau kamu merasa sudah tak bisa lagi melakukan semuanya sendiri. Percayalah, aku akan selalu ada untukmu, Intan.”
Setelah makan siang, mereka kembali masuk ke dalam ruangan masing-masing. Pikirannya, mulai terus melayang-layang memikirkan penolakannya atas permintaan Bima untuk bertemu nanti malam. Memikirkan, apakah penolakannya itu adalah hal yang benar atau salah, tapi sungguh ia belum siap untuk memainkan drama lainnya lagi untuk saat ini. Karena, berpikir tidak akan mungkin secepat itu untuk menyakinkan Rika menerima semua syarat yang diberikan.