Daniel menghempaskan tubuhnya pada sebuah bangku ditaman rumah sakit. Cowok itu memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Ia terpaksa menyetujui perjodohan konyol ini demi Omanya.
Setelah Opanya meninggal, Nina terlihat sangat kesepian dan Daniel lah yang selalu menemani Nina yang kebetulan juga sering tinggal dirumahnya. Daniel merasa tidak tega jika harus menolak permintaan Nina.
Daniel ingin Omanya sembuh seperti sebelumnya lagi, tidak sakit seperti ini. Mungkin ini adalah sati-satunya cara agar Nina kembali sembuh, meski tidak masuk akal.
Seketika ia teringat dengan sosok yang mengisi hatinya sekarang. Bagaimana dengan Floria jika ia harus menikah? Ia sungguh tidak ingin kehilangan Floria.
Bagaimana ia harus menjelaskan kepada Floria tentang ini. Tidak mungkin ia harus memberitahu Floria tentang perjodohannya dengan seseorang yang bahkan Daniel tidak kenal. Ia tidak ingin menyakiti Floria. Kebahagiaan Floria adalah prioritasnya sekarang.
Daniel memejamkan matanya lalu memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Floria gak boleh tau soal ini." gumamnya pelan.
Daniel menghembuskan nafasnya kasar. Ia tidak akan memberitahukan tentang ini kepada Floria karna ia belum siap untuk kehilangan Floria dalam hidupnya.
Daniel menimbang-nimbang, apakah ia harus memberitahu Cakra tentang ini?
Cakra adalah sahabat Daniel sejal kecil. Segala yang menyangkut Daniel, Cakra pasti mengetahuinya. Tapi apakah ia harus memberitahu Cakra juga tentang ini?
Daniel menghembuskan nafasnya kasar, lalu ia merogoh ponsel disaku celananya, kemudian menekan tombol 9 yang langsung terhubung dengan nomor Cakra.
"Hallo."
*****
Arsy memeluk boneka teddy bearnya erat, menumpahkan tangisnya pada boneka itu. Bahkan boneka itu juga terlihat seperti menangis karena basah oleh air mata Arsy.
Sudah lebih dari satu jam Arsy menangis, bahkan Aldi sudah bulak-balik selama empat kali untuk mengetuk pintu kamar Arsy, berharap Adiknya membukakannya pintu.
Arsy sungguh tidak siap untuk semua kenyataan ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Harusnya ia kabur dari rumah? Haruskah ia bunuh diri?
Sepertinya untuk opsi kedua, Arsy tidak akan melakukannya.
Arsy mengusap hidungnya yang mampet dengan tissue, matanya sebab sekali. Arsy merasa ngantuk sekarang setelah menangis hebat selama lebih satu jam.
Arsy menarik selimitnya sebatas d**a, menarik teddy bearnya untuk ikut masuk kedalam selimut lalu ia memejamkan matanya.
Hampir saja ia masuk ke alam mimpi, sebuah ketukan menyadarkan kesadaran Arsy lagi.
"Sy?" teriak Aldi. Sudah kelima kalinya Abangnya itu berdiri didepan pintu kamarnya.
"Sy, buka pintunya, Sy, Abang mau masuk." teriak Aldi lagi.
Arsy menghela nafasnya lelah. Telinganya sudah panas karena Abangnya itu
"Arsy?!"
Arsy menyibakkan selimutnya, berniat membukakan pintu untuk Aldi.
Aldi langsung masuk ketika pintu terbuka tidak terlalu lebar.
"Sy?" panggil Aldi lembut.
Arsy tidak menyahut, gadis itu melangkahkan kakinya kembali ke atas ranjangnya.
Hati Aldi mencelos melihat Arsy yang nampak berantakan sekarang. Seragam masih menempel ditubuh mungilnya, rambutnya berantarakan dan matanya sembab.
Aldi duduk dibibir kasur, Arsy langsung menangis lagi. Ia sungguh tak sanggup dengan semua ini.
Aldi menarik Arsy kedalam pelukannya. Hatinya merasakan sakit ketika melihat Arsy seperti ini.
"Jangan nangis." kata Aldi pelan.
Arsy menggeleng dalam pelukan Aldi. "Arsy gak mau, Bang, Arsy gak mau." ujarnya sambil terisak.
Aldi mengangguk meski tidak terlihat oleh Arsy. "Abang ngerti, Sy, tapi gak ada yang bisa kita lakuin." ujarnya lembut.
"Harus ya Arsy nerima perjodohan itu, Bang?"
"Abang pikir memang itu harus. Kamu mau mengelak gimana pun juga percuma, perjodohan itu bakalan tetep ada."
"Tapi Arsy belum siap, Bang. Arsy bahkan gak tau orang yang dijodohin sama Arsy itu siapa dan kaya gimana?" Arsy menjeda ucapannya, menarik ingusnya yang hendak keluar. "Gimana kalo dia jelek, gendut, item atau bahkan tua yang kaya dinovel-n****+ itu." ucapnya ngawur.
Aldi terkekeh kecil. "Kamu gak denger tadi Om Dimas kan bilang cowok itu seumuran sama kamu."
Arsy mengerucutkan bibirnya. "Tapi kan—"
Aldi melepaskan pelukannya. "Udah. Kamu buang jauh-jauh pikiran jelek kamu tentang cowok itu. Kalo kamu masih bayangin kaya gitu, kamu bakalan semakin gak terima." ujar Aldi.
"Tapi Arsy masih sekolah, bagaimana bisa Arsy harus nikah?" tanya Arsy dengan polosnya.
Aldi mengelus rambut Arsy. "Kamu bicarain baik-baik dengan Papa dan Mama ya?"
Arsy mengangguk. Arsy berharap nanti akan ada keajaiban diantara pembicaraannya dengan orang tuanya.
Arsy berpikir memang hidupnya sedang berada dibawah sekarang. Arsy memang tidak merasa kalo hidupnya berada diatas, namun tanpa ia sadari sesuatu itu telah terjadi.
"Hidup aku sial banget, Bang. Andai aku lahir lebih dulu dari Abang, apa aku akan ngalamin ini juga?"
"Hus, jangan ngomong kaya gitu. Dengerin Abang, apa yang Tuhan rencanakan untuk kita, pasti itu yang terbaik." ujar Aldi.
Arsy mendongak. "Apa dia yang terbaik?"
*****
Saat memasuki makan malam, Arsy sengaja tidak bergabung bersama yang lainnya dimeja makan. Selain karena Arsy tidak ingin bertemu dulu dengan kedua orang tuanya, nafsu makannya juga menghilang sejak tadi sore.
Arsy menatap kosong layar monitor laptopnya yang menampilkan slide power point salah satu mata pelajaran besok. Arsy berusaha mengalihkan pikirannya dengan berniat belajar untuk besok, namun tetap saja masalah perjodohan itu tidak bisa ia hindari.
Arsy memeluk kedua lututnya. Menatap enggan layar monitor laptopnya yang perlahan mulai meredup. Pandangannya tak teralihkan bahkan ketika seseorang masuk kedalam kamarnya.
"Makan dulu, Sy." ucap Aldi.
"Gak laper, Bang." sahut Arsy.
"Bohong banget. Ini Abang bawain spaghetti kesukaan kamu. Makan bareng buruan sebelum dingin."
"Abang aja yang makan." ucap Arsy enggan.
"Ini banyak, Abang gak bisa ngabisinnya." sahut Aldi.
"Taruh aja lagi."
"Ayolah, Sy. Abang udah cape-cape masak ini."
Arsy menghela nafasnya, menurunkan kedua kakinya lalu menghampiri Aldi yang duduk diatas kasurnya.
"Mama sama Papa ada ngomong sesuatu?" tanya Arsy.
Aldi memasukkan suapan pertamanya. "Ada."
"Apa?"
"Katanya ya tadi, Papa pengen beli kaos kaki baru." celetuk Aldi.
"Serius, Bang, ih."
Aldi terkekeh. "Udahlah, Sy, gak usah terlalu dipikirin."
Arsy mengambil garpu sambil mendesah pelan. "Gimana gak dipikirn mulu sih, Bang. Tiap aku mau coba ngalihin perhatian aku, pasti masalah itu tiba-tiba aja keinget. Kesel banget. Rasanya pengen amnesia deh."
Aldi lagi-lagi terkekeh. "Abang tau ini berat banget. Abang juga gak ngerti apa yang kamu rasain. Tapi ya mau gimana lagi?"
Lagi, Arsy mendesah pelan. Menyebalkan.
*****