Segera kubuka pintu kamarku. Isinya tumpukan tiga dus dan tiga koper penuh berisi barang-barangku ada di sana. “Ini. Sepertinya terlalu banyak kalau dipindahkan sekarang, ya?”
“Tidak juga. Ayo kita bawa sedikit-sedikit ke mobilku,” ajaknya.
Menuruti permintaan Jack, aku membawa dua koper. Waktu mau mengangkat dus yang ada, Jack menggeleng. “Biar aku yang bawa. Kau cukup bawa kopermu saja.”
Jadi aku menarik dua koper itu sambil berjalan menuju ke mobil Jack. Jack langsung membukakan pintu bagasi mobilnya, lalu mengambil alih koper-koper itu. Dimasukkannya ke dalam bagasi mobilnya, juga satu dus besar yang dibawanya.
“Begini saja. Bagaimana kalau aku mengambil barang-barangmu yang tersisa? Kau jaga di sini.”
“Kau yakin, Jack? Maaf jadi merepotkanmu.”
“Ya, aku yakin. Sama sekali tidak merepotkan. Kuncimu?”
Kuserahkan kunci apartemenku padanya. Sesudah itu, kutunggu dia kembali. Tidak butuh waktu lama, Jack sudah membawa dua dus kecil dan satu koperku yang tersisa. Dengan cekatan dia memasukkan koper ke dalam bagasi. Dua dus kecil tidak cukup dimasukkan ke dalam bagasi, jadi dimasukkan ke mobil di bagian belakang.
“Jack, aku mau mengembalikan kunci pada pengurus apartemen dulu. Sekaligus berpamitan padanya. Apa kau mau ikut?”
Jack menggeleng. “Biar aku tunggu di sini. Terlalu banyak barang di sini. Lebih tenang kalau aku menunggu di sini.”
“Baiklah. Aku tidak akan lama.” Sesudah itu, bergegas aku berjalan ke apartemen sebelah, tempat Anne, pengurus apartemenku tinggal. Kubel apartemennya. Tidak lama dia pun membukakan pintu.
“Hei, Daphne, sungguh kejutan. Apa kabar?”
“Anne, maaf aku tidak lama. Aku mau mengembalikan kunci apartemenku. Selebihnya hanya Josie yang akan melanjutkan tinggal di apartemen.” Kuserahkan kunci apartemen pada Anne. “Terima kasih selama lima tahun ini kau sudah sangat baik padaku.”
Anne ternganga, lalu memelukku. “Ada apa, Sayang? Kamu baik-baik saja? Kalau ada masalah dengan sewa, aku akan bicara dengan Wayne supaya memberi kelonggaran padamu.” Wayne adalah pemilik apartemen ini. Di awal-awal menyewa apartemen ini, memang aku sempat minta kelonggaran membayar sewa karena saat itu aku mengandalkan beasiswa dan belum mendapat pekerjaan. Baru sesudah bekerja di JAP, Inc. aku bisa membayar sewa setiap bulan tanpa terlambat satu kali pun.
“Bukan itu, Anne. Ini masalah pribadi, sama sekali bukan berkaitan dengan sewa. Aku juga menyesal harus pergi dari apartemen ini, tapi itu yang terbaik.”
“Apa ada penghuni apartemen lain yang mengganggumu?”
Aku terdiam beberapa saat. “Sebenarnya… aku bermasalah dengan Josie. Jadi aku tidak bisa tinggal lagi di sini.”
“Aku sangat menyesal mendengarnya, Daphne Sayang. Kalau saja ada apartemen kosong, aku bisa menawarkan tempat yang lain. Semoga kau bisa segera mendapatkan apartemen lain.”
“Terima kasih banyak, Anne.” Kupeluk Anne sambil menepuk bahunya perlahan. “Aku sudah ditunggu. Jadi, selamat tinggal, Anne.”
Anne mengangguk, lalu tiba-tiba tersenyum cerah. “Orang yang menunggumu yang naik mobil sedan silver?”
“Ya, benar. Darimana kau bisa tahu?”
Anne terbahak. “Karena aku tadi melihat sekilas kalian keluar dari mobil itu, lalu keluar lagi sambil membawa dus. Dari jauh kulihat dia sangat keren! Apa dia pacarmu, Daphne?”
Aku sampai tersipu mendengar pertanyaan Anne yang blak-blakan. “Bukan, dia bosku.”
“Bosmu? Aku berani bertaruh dia tertarik padamu.”
“Tidak mungkin. Dia hanya berbaik hati saja.”
Anne menggeleng-geleng. “Terserah kamu saja, Sayang, tapi ini sudah malam, hari Senin pula. Tidak ada laki-laki sebaik apa pun yang mau membantu bawahannya pindahan hanya berduaan saja. Catat kata-kataku, dia pasti sedang melakukan pendekatan denganmu, atau kalaupun belum, dia akan melakukannya.”
Aku terbahak. “Bisa saja kau, Anne. Baiklah, aku pergi dulu. Terima kasih banyak atas bantuanmu selama aku di sini. Selamat tinggal.”
Anne melambaikan tangannya, lalu masuk kembali ke dalam apartemennya Aku segera bergegas menuju ke mobil Jack.
Jack ternyata masih menunggu di luar mobilnya. Begitu melihatku, dia membukakan pintu mobilnya. “Sudah selesai?”
“Ya. Ayo kita pergi.”
Lalu lintas sangat padat malam itu. Sesudah 25 menit, akhirnya kami sampai di tempat tinggal Jack di Upper West Side. Oh ya, aku salah menyebut sebelumnya, ini bukan apartemen, tapi kondominium. Bedanya adalah apartemen itu menyewa, sementara kondominium adalah hak milik. Kondominium Jack ini adalah salah satu tempat tinggal paling bergengsi di New York, bahkan pernah dimuat dalam salah satu majalah arsitektur terkemuka di Amerika. Penghuninya adalah para pesohor, mulai dari aktor, atlet, CEO, dan konglomerat.
Begitu parkir, penjaga pintu segera membukakan pintu untukku. “Selamat malam, Bu.”
“Selamat malam,” sapaku.
“John, bisa tolong bantu membawakan barang ke tempatku?”
“Tentu, Pak Peterson. Dengan senang hati.”
Jack memberikan kunci mobilnya pada John, “Di bagasi dan di bagian belakang ada beberapa dus dan koper. Terima kasih, John.” Sesudah itu dia menggandeng tanganku untuk berjalan ke arah elevator. Begitu masuk, Jack menekan tombol 28. Begitu bunyi berdenting, kami segera sampai di tingkat 28. Keseluruhan bangunan ini ada 35 tingkat. Dari dalam kondominium kami bisa melihat pemandangan Central Park dari atas, juga sungai Hudson.
“Daphne, kamarmu di sini.” Jack membukakan satu pintu kamar. “Nanti begitu penjaga pintu membawakan barang-barangmu, kau bisa merapikannya.”
Kutaruh tasku di atas kursi lalu melihat-lihat sekeliling. Kamar itu sangat luas. Didominasi tembok dan tempat tidur putih, karpet dan kursi abu-abu, dengan satu nakas krem di samping kanan tempat tidurnya. Persis seperti hotel bintang lima. Dari jendela aku bisa melihat beberapa bangunan di daerah Central Park. Memang kamar ini sangat mewah, tapi aku merasa tidak terlalu nyaman di sini. Terasa kurang hangat, entah karena warnanya atau karena luasnya. Yah, aku hanya akan di sini beberapa hari saja kuharap. Mudah-mudahan aku segera dapat apartemen baru.
Jack mengetuk pintu. Penjaga pintu sudah datang membawakan barang-barangku. “Tolong dimasukkan ke dalam, John, Alfred.”
“Baik, Pak Peterson.” Begitu melihatku, mereka segera menyapa dengan sopan. “Permisi, Bu. Kami membawakan barang-barang. Kata Pak Peterson, kami harus membawanya ke kamar Ibu,” kata John.
“Terima kasih banyak. Di sini saja.”
Sesudah selesai menaruh barang-barangku, mereka pun pamit.
“Mau makan dulu?” tanya Jack.
Aku menggeleng. “Aku mau mandi dulu. Nanti sesudah itu kita makan. Setuju? Apa mau aku yang masak?”
“Tidak usah. Ini sudah 7.45. Terlalu malam nanti selesainya. Aku pesan saja.”
“Baiklah.”
“Nanti kalau butuh bantuan untuk membereskan barang-barangmu, beritahu aku.”
“Tidak usah, Jack. Aku bisa sendiri, kok. Terima kasih, ya.”
Jack kemudian keluar dari kamarku. Aku segera menikmati mandi di kamar mandi yang ada di kamar itu. Kamar mandinya didominasi oleh lantai dan dinding marmer berwarna putih keabuan. Ada satu kabinet kamar mandi yang luas dilengkapi dengan wastafel dan kaca. Kabinet itu ada beberapa laci penyimpanan barang, juga ada satu lemari di samping kanan. Pembatas antara area kabinet dengan area shower ada satu kaca transparan. Di samping antara area kabinet dengan area shower ada satu bathup yang besar. Kelelahanku sehari ini langsung hilang. Buru-buru aku mandi dengan shower. Sebenarnya aku ingin berendam di bathup, tapi nanti terlalu lama.
Selesai mandi, aku berganti pakaian dengan kaos warna krem dan kulot selutut warna coklat tua. Sesudah mengikat rambut panjangku hanya membentuk ekor kuda sederhana, aku keluar kamar. Begitu memasuki area ruang keluarga, jelas terlihat bahwa daerah ruang keluargauang duduk itu bersambung dengan ruang makan, tanpa sekat ruangan. Di ruang keluarga terdapat karpet putih, sofa putih dan abu-abu muda, meja coklat tua, dan nakas abu-abu tua. Sementara itu di ruang makan, terdapat karpet hitam, kursi abu-abu, meja abu-abu tua yang warnanya sama dengan nakas di ruang keluarga, lemari penyimpanan besar berwarna hitam.
Makanan malam sudah menunggu di meja makan. Ternyata Jack memesan chinese food dari restoran di dekat kondominiumnya. Sejenis masakan iga, udang renyah, sup asam pedas, bebek peking, mie goreng, dan ayam dimasak dengan brokoli.
“Ayo makan. Aku sudah lapar sekali,” ajak Jack. Kemeja putih tangan panjang, setelan jas dan celana panjang hitamnya sudah berganti dengan kaos panjang abu-abu dan celana pendek hitam, terkesan santai dan segar.
Waktu makan kami habiskan tanpa mengobrol. Semua hidangan terasa sangat enak.
“Masih mau lagi?” tawar Jack.
Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku kekenyangan.” Sesudah itu aku mencuci semua piring, sendok dan garpu yang kami pakai, lalu menyimpan sisa sedikit masakan yang ada ke kulkas di daerah dapur.
“Besok apa kau akan cuti, Daphne?”
Aku termenung beberapa saat. “Pekerjaan sebagian besar sudah selesai, yang masih harus dikerjakan bukan yang mendesak. Mungkin besok dan lusa sebaiknya aku cuti untuk mencari apartemen baru.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan memberitahu Debby.” Debby adalah bagian personalia.
Aku mengangguk. “Terima kasih, Jack untuk makan malamnya. Ini enak sekali. Juga untuk menawarkan tinggal di sini sementara. Segera sesudah dapat tempat baru, aku akan pindah.”
Jack menatapku beberapa lama. “Aku ada satu ide. Bagaimana kalau kau menyewa kamar saja dariku?”
“Menyewa kamar darimu? Di sini?” Aku terbahak. “Jack, gajiku sebulan bisa habis hanya untuk sewa kamar di sini.”
Jack tersenyum kecil. “Tidak semahal itu. Berapa kau habiskan untuk menyewa apartemenmu yang sebelumnya?”
“Itu 2 kamar. Aku membagi dua biayanya dengan Josie. Jadi aku membayar sekitar 900 dolar sebulan.”
“Begini saja, bagaimana kalau kau menyewa kamarmu dengan biaya 750 dolar sebulan, tapi dengan catatan kau tetap harus mengurus laundry dan juga menyiapkan espresso untukku pada hari Sabtu? Tanpa tambahan bonus seperti biasa.”
Aku tertegun. Ini penawaran yang sangat bagus. “Kau serius, Jack?”
“Tentu saja. Aku tidak akan menawarkannya kalau tidak serius. Jadi?”
“Boleh kupikirkan dulu?”
“Tentu, tapi tawaranku tidak untuk selamanya,” sahutnya.
“Jack!” protesku sambil tertawa. “Kalau kau mulai memakai nada tawar-menawar dengan pihak importir padaku, itu tidak lucu.”
“Baiklah.” Dia ikut tertawa. “Akan kuberi waktu untuk berpikir sampai besok.”
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Rencana kencanmu! Aku baru ingat. Kalau aku tinggal di sini, apa tidak mengganggu?”
“Kenapa harus mengganggu?”
Aku ragu-ragu untuk menjawab itu. Pasti wajahku sudah merona karena pipiku terasa panas. “Uhm... , kau tahu kalau dia harus menginap dan sebagainya?”
Jack terbahak-bahak mendengar hal itu. “Pemikiranmu jauh sekali, ya? Kujamin, kalau dia setuju untuk kencan denganku, maka kau tinggal di sini pasti tidak akan jadi masalah sama sekali.”
Aku tercenung mendengar hal itu. “Berarti calon kencanmu itu wanita yang menakjubkan, Jack. Aku sendiri tidak bisa membayangkan seandainya ada di posisinya bisa berbesar hati menerima bahwa pasanganku tinggal bersama wanita lain.”
“Begitulah,” jawabnya dengan ringan.
“Aku jadi semakin penasaran. Siapa dia, Jack?”
Jack hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaanku. “Nanti juga kau akan tahu, Daphne.”
“Oh, ayolah, Jack. Kita akan jadi teman serumah, maksudku sekondo. Masa kau tidak mau memberitahuku?”
“Sudahlah, nanti kau akan tahu dengan sendirinya. Tidak seru kalau kuberitahu sekarang. Waktunya belum tepat.” Wajah Jack tiba-tiba menjadi serius.
Aku tidak jadi untuk mendesaknya. “Baiklah kalau begitu.” Walaupun penasaran setengah mati, cepat atau lambat pasti aku akan tahu juga.