5

1558 Kata
Pikiran Aletta kini berpusat pada bagaimana cara melakukan pembalasan. Dengan wajah yang ia miliki saat ini, Aletta yakin bisa menggoda Calvin. Namun, Aletta terlalu muak jika harus menjalin sebuah hubungan dengan Calvin meski saat ini ia memakai tubuh orang lain. Aletta memutar otaknya, apa yang harus ia lakukan agar bisa masuk ke dalam kediaman Calvin. Jika ia ingin menghancurkan Calvin dan Briella maka ia harus berada sedekat mungkin dengan dua orang itu. Pelayan. Aletta harus menjadi pelayan di kediaman itu. Dengan kesibukan Briella sebagai model, ia yakin Briella tak akan sudi melakukan pekerjaan rumah tangga. Briella juga tak akan menyerah dengan karirnya yang saat ini sedang cemerlang. Sudah pasti Calvin akan menggunakan pelayan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan Aletta tahu ke mana ia harus mencari informasi apakah Calvin sedang mencari pelayan atau tidak. Tanpa Aletta sadari taksi yang ia tumpangi telah sampai di depan kediaman Gretta. Ia segera membayar ongkos lalu turun dari sana. "Qyra, kau sudah kembali." Gretta menyambut Aletta dengan wajah lega. Sejak tadi ia menunggu keponakannya itu kembali. Ketika mendengar suara mobil berhenti di depan kediamannya, ia segera keluar dan benar saja, memang keponakannya yang turun dari taksi. "Ayo masuk. Makanan untukmu sudah siap." Gretta merangkul bahu Aletta. Merasa tidak nyaman, Aletta melepaskan rangkulan itu. Hal yang memang selalu pemilik tubuh sebelumnya lakukan jika dirangkul oleh Gretta. Laura yang baru keluar dari kamarnya terlihat sama leganya dengan Gretta. Syukurlah sepupunya kembali dengan selamat. "Laura, ayo kita makan." Gretta memanggil putri semata wayangnya. "Iya, Bu." Laura melangkah mendekat dengan wajahnya yang lembut. "Wah, sudah lama sekali ibu tidak memasak sup kepiting." Laura berbinar melihat lauk yang ada di meja makan. Ia segera mengambil tempat duduk dan membuka piring makannya. Gretta menyendokan nasi dan lauk ke piring Qyra dan Laura, lalu terakhir ke piringnya. "Kenapa kau diam saja, Qyra. Ayo makan," seru Gretta. "Selamat makan, Ibu, Qyra." Laura meraih sendoknya dan segera melahap makanan di piringnya. Aletta bukan tanpa alasan tidak memakan makanan yang ada di depannya, ia memiliki alergi kepiting dan sudah puluhan tahun ia tidak memakan apapun tentang kepiting. "Qyra? Ada apa? Kau tidak suka masakan bibi?" tanya Gretta setelah Aletta tidak kunjung menyentuh makanannya. Aletta meraih sendoknya ragu, tapi pada akhirnya ia tetap memakan apa yang ada di piringnya. Saat ini ia berada di tubuh orang lain, mungkin tidak akan jadi masalah jika ia memakan sup kepiting. *** "Kakek, Nenek." Meisie berlari ke arah sepasang paruh baya yang memasuki kediaman Calvin. "Meisie, kesayangan kakek." Moreno, ayah Calvin -- menangkap tubuh mungil Meisie. "Meisie rindu Kakek dan Nenek." Meisie memeluk manja leher kakeknya.  "Nenek dan Kakek juga sangat merindukan Meisie." Delillah, ibu Calvin -- mengelus rambut panjang Meisie. "Di mana Papa?" tanya Moreno. "Ayah sedang berada di ruang kerja bersama Tante Briella." Wajah Moreno dan Delillah berubah jadi tak senang setelah mendengar nama Briella. "Baiklah, Meisie main dengan Nenek dulu. Kakek mau menemui Papa," seru Moreno "Baik, Kakek." Meisie berpindah ke gendongan Delillah, sedang Moreno melangkah menuju ke ruang kerja Calvin. Tanpa mengetuk pintu, Moreno masuk ke dalam ruangan di depannya. Menangkap basah Briella yang hampir bertelanjang d**a. "Papa, kapan Papa datang?" Calvin segera bangkit dari kursinya, sedang Briella sibuk merapikan pakaiannya yang kusut. "Ckckck, kau sungguh menjijikan, Calvin." Moreno menatap putranya kecewa. "Baru satu minggu istrimu meninggal dan kau tidak bisa menahan dirimu untuk bersenggama dengan w************n itu!" Moreno bahkan tidak ingin menatap Briella karena jijik. "Pa, jangan begitu pada Briella," seru Calvin tak terima. "Kenapa? Apakah Papa salah? Apa yang kau lihat dari jalang itu, Calvin? Dia bahkan tidak sebaik Aletta." Moreno tak menahan ucapannya. Briella yang mendengar hinaan itu tak bisa menahan dirinya. Ia segera keluar dari ruangan itu dengan hati yang terasa sakit, serta kebencian yang merasuk ke jiwanya. "Papa, jangan terlalu kejam pada Briella. Cepat atau lambat dia akan menjadi menantu Papa." Moreno berdecih tak suka. "Kau bisa menikah dengan siapapun tapi tidak dengan jalang itu. Dia menikam saudaranya sendiri, bukan tidak mungkin dia akan meninggalkanmu setelah bosan." "Pa." Calvin menyela. Ia jengah karena ucapan ayahnya yang makin tidak enak didengar. "Briella tidak melakukan kesalahan.  Kalianlah yang sudah menentukan perjodohan dan merusak kebahagiaanku bersama Briella." Calvin balik menyalahkan Moreno dan Delillah. Moreno menggelengkan kepalanya. Ia tak percaya bahwa ia memiliki putra sebodoh Calvin. Bagaimana mungkin Calvin tidak bisa melihat bahwa Aletta adalah pilihan terbaik untuknya. Aletta memang tidak memiliki kecantikan seperti Briella, tapi Aletta memiliki ketulusan hati yang tidak dimiliki oleh banyak orang. "Kau tahu? Menikahkanmu dengan Aletta menjadi penyesalan terbesarku. Aletta harusnya mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari pecundang sepertimu." Moreno sudah sampai pada batas kesabarannya.  Sejak kematian Aletta, setiap hari ia selalu menyesali keputusannya menikahkan Calvin dengan Aletta. Jika pernikahan itu tidak terjadi, mungkin saat ini putri dari sahabatnya masih hidup dan bisa tersenyum padanya. Moreno sungguh menyayangi Aletta, ia telah menganggap Aletta seperti putrinya sendiri. Calvin tertegun. Kata-kata tajam ayahnya melukai harga dirinya. Setelah semua pengorbanan yang ia lakukan, ayahnya bukan mengapresiasi malah menghinanya dengan kata 'pecundang'. "Kau bahkan membuat Aletta bunuh diri karena tahu perselingkuhanmu dan Briella. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku membesarkan putra sepertimu!" Tatapan Moreno semakin mengecilkan Calvin. Calvin tersenyum sinis. "Bukan hanya aku dan Briella yang ikut andil dalam kematian Aletta, tapi juga Papa dan Mama. Kalian tahu hubungan kami, tapi kalian diam saja. Bukankah kalian lebih kejam dari aku dan Briella?" Plak! Telapak tangan Moreno mendarat keras di wajah Calvin. Ini adalah pertama kalinya Moreno menampar Calvin setelah 34 tahun Moreno hidup. "Kenapa? Apa aku salah, Pa?" Calvin menatap ayahnya menantang. Tangan Moreno masih gemetar. Tidak, Calvin memang tidak salah. Ialah orang yang paling kejam. Dirinyalah yang mendorong Aletta pada kematian. Moreno tidak bisa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan Calvin. Sorot mata Moreno sebelum pergi menunjukan seberapa besar ia kecewa pada Calvin. "b******k!" Calvin meninju meja kerjanya keras. Selama ini ia tidak pernah bersikap kurang ajar pada ayahnya, tapi hari ini? Ia bukan hanya bersikap kurang ajar, tapi juga membuat ayahnya begitu marah dan kecewa. "Aletta! Setelah matipun kau tetap menjadi masalah!" Calvin menggeram kesal. Belum puas meninju meja kerjanya, Calvin menghamburkan semua barang yang ada di meja. Di ruang tamu, Briella tengah berhadapan dengan Delillah. Seperti Moreno yang tidak bisa menyembunyikan rasa tidak suka pada Briella, begitu juga Delillah. Jika disuruh memilih, Delillah lebih sudi melihat anjing daripada Briella. "Tinggalkan putraku! Kau tidak pantas bersamanya!" desis Delillah tajam. "Aku tidak akan meninggalkan Calvin." Delillah menatap Briella sinis.  "Dasar perempuan jalang. Dengarkan aku baik-baik, sampai kapanpun kami tidak akan pernah menerima kau sebagai istri Calvin." Brielle tertawa mencemooh. "Aku tidak peduli kalian mau menerimaku atau tidak. Yang terpenting bagiku adalah memiliki Calvin. Dan ya, Anda juga pasti tahu bahwa Meisie adalah putriku. Jika kalian tidak menerimaku maka jangan harap Anda bisa mendekati Meisie." Delillah mengepalkan tangannya kuat. Bibirnya gemetar, ingin sekali rasanya Delillah menyumpah serapah wanita tidak tahu diri di depannya. "Meisie adalah cucuku, putri Aletta. Bukan putrimu." Lagi-lagi Briella tertawa mengejek. "Seberapapun keras Anda menyangkal, kenyataan tetaplah kenyataan. Akulah ibu kandung Meisie."  Ia bicara penuh percaya diri. Briella melupakan kesopanannya karena memiliki cinta dari Calvin. Ia yakin Calvin pasti akan membelanya. "Kau hanya melahirkannya. Aletta-lah yang merawat dan membesarkan Meisie. Menggelikan, kau mengaku sebagai ibunya, tapi tidak bisa mendekatinya sama sekali. Aku rasa itulah karma bagimu. Tidak diakui oleh Meisie." Wajah Briella merah padam. Ia ingin sekali menampar wajah Delillah. Namun, ia tidak bisa melakukannya karena ada Meisie di dekat sana. Jika Meisie melihatnya bersikap kasar pada Delillah maka ia akan semakin sulit mendekati Meisie. "Aku tidak tahu apa yang Calvin lihat darimu. Wanita menjijikan yang tidak tahu terima kasih," sinis Delillah tajam. "Cukup! Anda tidak berhak menghinaku!" Briella meninggikan suaranya. Meisie yang tengah bermain kini menghentikan aktivitasnya. Ia segera mendekati Delillah dan memeluk Delillah takut. "Ckckck, lihatlah. Bahkan Meisie takut padamu." Air mata hampir jatuh dari mata indah Briella. Dadanya terasa sesak, ia tidak bisa menerima hinaan dari Delillah. Harga dirinya begitu terluka.  "Ayo pergi dari sini, Ma." Moreno menghampiri Delillah. Delillah melihat amarah nampak jelas di wajah suaminya. Kali ini putranya benar-benar telah membuat dirinya dan sang suami kecewa. Delillah berjongkok di depan Meisi.  "Meisie, Kakek dan Nenek pergi dulu."  "Tidak! Jangan pergi, Nek." Meisie meremas jemari Delillah. Mata polosnya menatap penuh harap. Delillah melihat ke arah suaminya, tapi kemarahan suaminya terlalu besar hingga bergeming saja. Suaminya bahkan tak melihat ke arah Meisie. "Meisie, biarkan Kakek dan Nenek pergi. Ada Tante Briella dan Papa di sini." Briella mencoba membujuk Meisie, tapi diabaikan oleh Meisie. Gadis mungil itu terus memohon dengan mata yang kini mulai berair. Calvin datang dan segera menggendong Meisie. "Kakek dan Nenek memiliki urusan. Mereka akan segera kembali lagi setelah urusan mereka selesai." "Kakek, Nenek, Meisi ikut," isak Meisie. Moreno ingin sekali membawa Meisie bersamanya, tapi kemarahannya pada Calvin memaksanya untuk mengabaikan Meisie. "Ayo, Ma." Moreno melangkah lebih dulu. "Kakek!" panggil Meisie lirih. Hati Delillah mencelos sakit. "Sayang, ayo bawa Meisie bersama kita." "Jika kau tidak ingin pergi maka aku akan pergi sendiri." Moreno meneruskan langkahnya. Benar-benar pergi tanpa melihat ke belakang. Delillah menatap Calvin, menyalahkan Calvin atas kemarahan Moreno saat ini. "Mama tidak berharap kau membuat Papa hingga seperti ini, Calvin. Mama sangat kecewa." Setelah mengatakan itu, Delillah menyusul suaminya. Saat ini hanya dirinya yang bisa membuat suaminya tenang. "Sayang, jangan terlalu dipikirkan. Semua akan baik-baik saja." Briella menggenggam tangan Calvin, tapi ia harus kecewa karena Calvin melepaskan genggaman itu dan pergi bersama Meisie menuju ke kamar Meisie. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN