Aletta berdiri di depan pintu masuk rumah sakit bersama dengan Laura dan Gretta yang selalu menjaganya saat berada di rumah sakit. Hari ini Aletta telah diperbolehkan pulanh oleh dokter, dan ia masih harus mendatangi rumah sakit beberapa kali lagi untuk memeriksakan keadaannya.
Sebuah taksi berhenti di depan tiga orang itu. Laura membukakan pintu untuk Aletta dan ibunya, kemudian memasukan barang-barang bawaannya ke bagasi mobil.
Taksi melaju, membelah kota S yang pagi itu cukup lengang. Pandangan mata Aletta hanya tertuju pada tepi jalanan. Menatap rindangnya pepohonan hijau yang berbaris rapi di sepanjang jalan.
Pikiran kosongnya buyar ketika ia merasa kehangatan menjalar di tangannya. Ia melihat ke arah sana dan menemukan Gretta menggenggam tangannya. Aletta segera menarik tangannya, membuat Gretta tersenyum hampa. Wanita paruh baya itu merasa sedih karena keponakannya masih menganggapnya orang lain.
Taksi sampai di sebuah rumah kecil yang sudah nampak tua.
"Nah, kita sampai." Laura membuka pintu mobil dan turun dari sana. Begitu juga dengan Aletta dan Gtetta.
Aletta menatap bangunan tua di depannya. Berbanding terbalik dengan kediamannya dulu. Aletta tidak pernah menilai kehidupan seseorang dengan status sosialnya, ia hanya kasihan pada pemilik tubuh sebelumnya yang ternyata tinggal di tempat seperti ini.
"Selamat datang di rumah, Qyra." Gretta membuka pintu lebar, wajahnya dipenuhi senyuman hangat. Namun, sayangnya reaksi Aletta masih sama. Wajahnya terlihat begitu dingin.
Aletta masuk ke dalam kediaman itu. Ia dibawa ke kamarnya oleh Laura dan Gretta.
"Nah, ini adalah kamarmu." Laura berjalan ke arah jendela dan membukanya. Ia bersandar di jendela sembari menghirup udara segar. "Ah, udara di rumah memang jauh lebih baik dari rumah sakit." Ia tersenyum senang.
"Istirahatlah. Bibi akan memasak untukmu. Laura akan menemanimu di sini." Gretta menatap Aletta hangat kemudian keluar dari kamar itu.
Laura menjauh dari jendela. Ia mendekat ke arah Aletta yang saat ini mengamati seisi kamar.
"Kau mengingat sesuatu tentang kamar ini?" Laura bertanya sambil mengikuti arah pandang Aletta yang kini berhenti pada satu titik.
"Pinjami aku uang."
Laura diam sejenak. Bukan itu jawaban atas pertanyaannya barusan. Laura mengeluarkan dompetnya, ia melihat beberapa lembar uang yang ada di sana. Uang yang sudah ia siapkan untuk keperluannya selama satu bulan penuh. Tanpa bertanya ia mengeluarkan beberapa lembar dari sana, hanya menyisakan tiga lembar saja untuk keperluannya.
"Aku cuma punya segini. Ambilah." Laura menyerahkan uang itu pada Aletta.
Aletta menerimanya. "Akan segera aku kembalikan."
"Hey, kau mau ke mana, Qyra?" Laura melangkah tergesa menyusul Aletta yang keluar dari kamar.
"Qyra, setidaknya beritahu aku kau mau ke mana?" Laura berdiri di belakang Aletta sembari mengatur napasnya.
"Aku akan segera kembali." Aletta menaiki taksi yang sudah ia hentikan lalu pergi meninggalkan kediaman itu.
"Qyra!" panggil Laura putus asa.
"Aih, ke mana dia mau pergi?" Laura meremas jemarinya. "Dia tidak akan bunuh diri lagi, kan?" Laura mulai cemas.
"Tidak. Dia tadi mengatakan akan segera kembali. Dia pasti tidak akan bunuh diri lagi." Laura meyakinkan dirinya, meski kenyataannya ia tidak bisa yakin akan ucapannya sendiri.
"Ah, sial! Harusnya aku tidak memberikan uang itu padanya," umpat Laura kesal pada dirinya sendiri.
"Ada apa?"
"Ibu, mengagetkan saja." Laura mengelus dadanya.
"Kau mengoceh sendiri, ada apa?" tanya Gretta lagi.
"Qyra, dia pergi."
"Apa? Kenapa kau membiarkan dia pergi? Laura, kau tahu dia bisa nekat lagi." Gretta kini terlihat sangat cemas.
Laura hanya diam. Ia tidak bisa melakukan pembelaan karena ini memang salahnya. Harusnya ia tidak membiarkan sepupunya pergi apapun yang terjadi.
"Bu, tenanglah. Qyra pasti akan kembali. Dia tidak akan melakukan hal bodoh lagi." Laura meraih tangan Gretta yang gemetar karena khawatir.
Gretta tidak bisa membuka mulutnya lagi. Ia hanya menatap lurus ke arah taksi yang keponakannya tumpangi pergi. Gretta berdoa semoga kali ini keponakannya tidak melakukan hal nekat.
"Ayo kita masuk, Bu." Laura mengajak Gretta melangkah kembali ke kediaman mereka.
Mata Gretta terus fokus pada jalanan meski kakinya kini melangkah menuju ke pintu rumahnya.
Tuhan, lindungilah Qyra di manapun dia berada. Gretta hanya bisa meminta perlindungan dari tuhannya saat ini.
***
Aletta turun dari taksi. Ia menatap bangunan megah di depannya dengan tatapan kosong. Di rumah inilah ia mendedikasikan seluruh hidupnya. Ia bahkan tidak menyewa pembantu agar bisa mengurus rumahnya tanpa campur tangan orang lain.
Pagar rumah terbuka. Aletta refleks bersembunyi di tepi tembok rumah itu. Yang keluar dari sana adalah Meisie, putrinya. Ralat, putri Calvin dan Briella.
"Meisie, berhenti!" suara wanita yang paling Aletta benci terdengar di telinganya. Kemudian sosok itu muncul mengejar Meisie yang berlari ke tepi jalan.
"Cukup, Meisie!" Briella meraih tangan Meisie kasar. Wajahnya kini terlihat sangat garang. Nampaknya kesabarannya telah benar-benar habis.
"Lepaskan aku! Aku mau Mama!" Meisie memberontak. "Mama! Mama! Mama!" Gadis kecil itu kini menangis kencang. Dari mulut mungilnya terus terdengar kata 'Mama' yang ia tujukan pada Aletta.
"Mama! Mama! Mama! Aku Mamamu bukan wanita yang sudah mati itu!" geram Briella. Kedua tangan Briella kini mencengkram lengan Meisie.
"Tidak! Tante bukan Mama. Aku mau Mama. Mama!" Tangis Meisie semakin menjadi.
Briella mengguncang tubuh Meisie kuat. Membuat Meisie gemetar takut. Kini ia bukan menangis karena mencari Aletta tapi karena ketakutan.
"Sekali lagi aku mendengar kau memanggil wanita itu maka aku akan mengunci kau di gudang!" ancam Briella.
"Mama... Mama..." Meisie terisak gemetar.
Kepala Briella rasanya ingin meledak. Satu minggu sudah ia mencoba mendekati Meisie, tapi tidak berhasil. Meisie terus mencari Aletta. Setiap hari menangis dan tidak mau makan karena ingin bertemu dengan Aletta.
"Aku bilang jangan memanggilnya, Meisie! Aku wanita yang sudah melahirkanmu, bukan dia!" Tangan kanan Briella melayang hendak menampar wajah Meisie, tapi tangan seseorang segera menahannya.
"Apa yang kau lakukan pada putrimu, Briella?!" Calvin menatap Briella tajam.
Briella segera berdiri. Ia menghempaskan tangan Calvin, mengatur emosinya agar bisa kembali stabil.
"Apa yang sudah wanita bodoh itu lakukan pada Meisie hingga Meisie tidak mau mendengarkan aku, ibu kandungnya!" kesal Briella.
Calvin segera memeluk dan menggendong Meisie. Ia mencoba menenangkan putri kesayangannya.
"Kita bicara lagi setelah ini." Calvin membawa Meisie kembali masuk ke kediamannya, meninggalkan Briella yang masih mengendalikan dirinya.
"b******k! Aku sangat membencimu, Aletta!" Briella memaki geram. Rasanya ia ingin berteriak kencang. Bahkan setelah mati pun Aletta tetap menjadi masalah baginya.
Briella masuk ke dalam rumahnya setelah sedikit tenang. Ia harus segera meminta maaf pada Meisie karena bersikap keras.
Setelah menyadari sikapnya, Briella merasa menyesal. Harusnya ia lebih sabar lagi pada Meisie agar Meisie bisa menerimanya, bukan malah memaksa dan marah-marah pada Meisie. Aletta sudah tidak ada lagi, cepat atau lambat Meisie pasti akan menerimanya sebagai ibu. Terlebih ia tidak ingin kehilangan Calvin hanya karena ia tidak bisa mengambil hati putrinya sendiri.
Setelah Briella masuk, Aletta keluar dari persembunyiannya. Ia tertawa sinis, sangat menyakitkan bagi Briella ketika anaknya sendiri tidak mau mengakuinya sebagai ibu. Aletta sedikit puas melihat bagaimana geramnya Briella tadi.
Meisie mungkin anak Briella dan Calvin, tapi dirinyalah yang sudah membesarkan Meisie. Kasih sayangnyalah yang menemani tiap tarikan napas gadis mungil itu.
"Kau mungkin yang melahirkannya, Briella, tapi akulah satu-satunya ibu bagi Meisie. Kau merenggut semua milikku, maka cukup adil jika Meisie menjadi milikku." Aletta menatap sinis kediaman Calvin. Persetan dengan siapa ibu dan ayah Meisie, gadis kecilnya tidak memiliki salah apapun. Meisie juga korban dari keegoisan dan keserakahan kedua orangtuanya.
Saat ini Aletta harus memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membalas Calvin dan Briella.
Aletta memutuskan untuk kembali ke kediaman bibi pemilik tubuh sebelumnya. Sampai ia memiliki cukup uang, ia akan tetap tinggal di kediaman itu. Setidaknya ia tidak akan hidup terlunta-lunta di jalanan setelah semua aset yang ia miliki diambil oleh Calvin.
Di dalam kediaman Calvin, saat ini pria itu tengah bicara berdua dengan Briella setelah berhasil membuat Meisie tidur.
"Jangan membuat Meisie ketakutan seperti tadi, Briella. Gunakan naluri keibuanmu, jangan memaksanya jika dia belum bisa menerimamu," tegas Calvin. Pria ini memang sangat mencintai Briella, tapi ia tidak suka jika Briella bersikap kasar pada Meisie.
"Maafkan aku. Aku benar-benar lepas kendali," sesal Briella.
Amarah Calvin meredup karena penyesalan Briella. Ia mendekat pada Briella lalu meraih jemari Briella dan mengelusnya pelan. "Suatu hari nanti Meisie pasti akan memanggilmu dengan sebutan 'Mama', kau hanya harus bersabar menunggu waktu itu tiba."
Hati Briella menjadi sejuk karena ucapan Calvin. Ia menjadi semangat kembali, prianya benar, suatu hari nanti Meisie pasti akan merasakan cintanya lebih besar dari cinta Aletta untuk Meisie.
"Terima kasih, sayang. Aku pasti akan menunggu hari itu tiba." Briella menyandarkan kepalanya di d**a bidang Calvin. Tempat ternyaman baginya selama lebih dari 8 tahun.
Tbc