Bab 7 - Tertangkap Polisi

1917 Kata
Hari sudah malam. Rian dan Kayla sudah pulang dan saat ini mereka sedang duduk di kursi yang berada di depan kontrakan Kayla. Rian meminta Kayla untuk membantunya merinci kebutuhan restoran yang harus dia beli besok pagi. Kayla dan Rian duduk berseberangan sementara di meja yang berada di tengah-tengah mereka ada dua cangkir teh hangat yang masih mengepul beserta pisang goreng hangat yang dibawakan bu Linda tadi. “Pria yang tadi siang siapa, Mas?” tanya Kayla penasaran sembari mengalihkan tatapannya dari kertas yang dia tulis tadi ke wajah Rian yang begitu teliti menatap layar ponselnya. Kaca mata yang membingkai wajah Rian malam ini, membuat pria itu terlihat lebih dewasa. Rian meletakkan ponselnya sejenak kemudian membalas tatapan Kayla. “Pria yang bertemu denganku tadi siang di restoran?” tanya Rian dan Kayla mengangguk. Pasalnya, dia melihat jika Rian begitu bersemangat saat bertemu dengan pria yang tadi siang menjadi pelanggan pertama yang dia sambut. “Dia pemilik restoran, Kay. Hanya saja, istrinya lah yang mengelola restoran selama ini. Tuan Arvyn, hanya berkunjung dua atau tiga kali dalam satu pekan.” “Namanya Tuan Arvyn?” tanya Kayla memastikan. Dia tidak pernah bertemu atau pun mengenal siapa pria itu. Hanya saja, dia melihat pria itu sedikit memiliki kemiripan dengan pria yang ditolongnya semalam. Rian mengangguk. “Apa kau mengenalnya?” “Emm ... tidak, Mas. Hanya saja, aku seperti pernah melihatnya.” Kayla kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sudah dia tulisi beberapa daftar kebutuhan seperti yang Rian katakan padanya karena dirinya bertugas untuk mencatat. “Oiya, tahun ini adalah kuliah semester terakhirmu ya?” tanya Rian memilih topik lain untuk mereka bicarakan. Kayla mengangguk. “Iya, Mas.” “Kamu kuliah di mana, Kay?” tanya Rian. “maaf ya. Tapi, aku tidak percaya jika kamu itu mengaku orang desa.” Lanjut Rian membuat Kayla menggigit bibir dalamnya pelan. Pasti bu Linda yang sudah mengatakan jika dirinya orang desa karena dirinya pun tak mengatakan dengan jelas identitasnya dan dari mana dirinya berasal. “Aku kuliah di kampus yang tidak jauh dari sini kok, Mas.” “Berarti Ibu memberiku informasi yang salah.” Cetus Rian membuat Kayla menggeleng pelan dengan raut wajah tak enak. “Tidak apa-apa, Mas. “ Kayla mengakhiri topik pembicaraan itu. Dia tidak mau Rian mengetahui identitasnya dan berakhir mengusirnya dari kontrakan. “Emm ... daftar yang aku tulis ini sudah selesai belum? Aku mau ke dalam, Mas.” Cicit Kayla. Tidak enak juga, jika ada orang yang melihat dirinya dan Rian masih berduaan sedangkan hari sudah begitu malam. “Oiya, selamat beristirahat, Kayla. Maaf, sudah merepotkanmu. Terima kasih,” ucap Rian dan Kayla hanya mengangguk pelan kemudian bangkit dari duduknya. “Sama-sama, Mas. Aku ke dalam dulu. Selamat malam.” Kayla meninggalkan Rian sendiri kemudian masuk ke dalam rumahnya. Dia butuh istirahat. Hari ini sedikit melelahkan dan besok pagi, dirinya masih akan bekerja. Kayla pun masuk ke dalam kamarnya kemudian berbaring di ranjangnya yang sempit. Matanya melihat ke langit-langit ruangan dengan air mata yang mulai mengenang. Begitu banyak beban yang terasa di pundaknya sekarang. Dia harus bersembunyi untuk sementara waktu dari lebaran polisi, kemudian meninggalkan kuliahnya dan tak bisa pergi ke mana-mana dengan bebas. Ayahnya juga belum pasti berada di mana sekarang. Membawa status yang entah bersalah atau tidak. Dia hanya bisa berdoa, semoga ayahnya selalu baik-baik saja dan akan kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kayla melirik ponselnya yang berada di atas meja kecil tempatnya menyimpan peralatannya kuliah. Sejak dirinya pergi, ponsel itu tak pernah dia hidup kan lagi. Dia takut jika polisi bisa melacak keberadaannya dengan mudah jika ponsel itu dalam status aktif. Lagi-lagi, Kayla menghembuskan napasnya dengan kasar. Entah sampai kapan dirinya bisa bertahan dan bersembunyi seperti ini. Tanpa orang lain katakan pun dirinya juga yakin, sebentar lagi dirinya akan ditemukan kemudian di tangkap dan dimasukkan ke dalam bui. Saat itu tiba, tentu saja dirinya hanya bisa diam dan tak bisa melawan. Mungkin sudah menjadi nasibnya untuk menghabiskan masa mudanya di dalam penjara. “Tidak apa-apa, Kayla. Semua orang sudah memiliki takdir hidupnya masing-masing. Begitu pun denganmu. Apa pun takdir yang Tuhan pilih, kamu harus bisa menerimanya dengan hati yang lapang.” Yakin Kayla pada dirinya sendiri, sebelum Kayla memejamkan matanya dan menjemput mimpi indah yang tak akan Kayla rasakan lagi besok pagi. *** Tok! Tok! Tok! Kayla yang mendengar pintu kontrakannya diketuk, segera meninggalkan omelet yang dia buat untuk sarapan menggunakan kompor kecil yang dia beli sebelumnya. Beruntung, setelah pulang dari rumah sakit dia masih menemukan kantung plastik belanjaannya yang dia tinggalkan di jalan begitu menolong pria yang dia ketahui bernama Gean. “Sebentar,” ucap Kayla kemudian membuka pintu dan, Deg! Kayla membatu. Dia tidak menyangka mimpi buruknya akan menghampirinya sekarang. Di depan pintu rumahnya sudah ada 2 orang polisi yang pastinya bertugas untuk menangkap kemudian menjebloskannya ke dalam penjara. “Selamat pagi,” sapa polisi itu dengan wajah yang masih bisa dibilang ramah walau tanpa sedikit pun senyuman. “Selamat pagi, Pak,” jawab Kayla dengan suara gugup. Sungguh, dia tidak menyangka persembunyiannya akan di temukan sekarang. “Anda kami tangkap atas laporan penipuan yang ayah Anda lakukan, Nona Kayla.” Kayla menarik napasnya kuat. Dadanya berdebar kencang se iring manik matanya yang sudah dipenuhi oleh gelombang air mata yang hampir berjatuhan. Kayla menyerahkan ke dua tangannya. Membiarkan pergelangan tangannya yang kosong itu akan di lilit oleh borgol mulai sekarang. “Saya siap, Pak.” Kayla sama sekali tak melawan. Lagi pula, perlawanannya pun tak akan membuahkan hasil apa-apa. Jadi, lebih baik dirinya menyerahkan diri agar tak terjadi keributan. Polisi itu mulai memborgol tangan Kayla, tapi begitu Kayla keluar dari kontrakannya, tiba-tiba saja Rian dan bu Linda keluar dari rumahnya dan sontak dibuat tak percaya ketika melihat Kayla di tahan oleh polisi. “Kayla, ada apa ini? Kenapa kamu ditangkap polisi?” tanya Rian dengan wajah terkejutnya. Bu Linda melangkah mendekat. Dia memegang lengan Kayla dengan raut wajah terkejut pula. “Ada apa ini, Kayla? Kenapa kamu ditangkap polisi? Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya bu Linda bertubi-tubi. Kayla terdiam dengan air mata yang mengalir deras. Dia merasa bersalah karena sudah membuat dua orang yang sudah begitu baik padanya begitu cemas. “Maaf, Ibu, Rian. Aku harus pergi. Terima kasih untuk semua kebaikan kalian padaku 2 hari ini,” ucap Kayla lemah. “Jelaskan dulu pada kami kenapa kamu ditangkap polisi, Kay!” desak Rian. Sungguh dia tak menyangka akan melihat pemandangan pagi di mana Kayla yang di tangkap oleh Polisi. Melihat Kayla yang tak mau menjelaskan apa-apa dan menyerah begitu saja, sepertinya Kayla memang bersalah. Tapi, kesalahan apa yang sudah diperbuat Kayla sehingga berurusan dengan kepolisian? Yang dia lihat Kayla adalah wanita baik-baik yang rasanya tidak mungkin melakukan hal-hal berbahaya. “Maaf. Kami harus membawa Kayla segera. Kalian bisa menemuinya di kantor kepolisian. Permisi.” Ke dua polisi itu pun membawa Kayla dari sana. Kayla yang bungkam dengan air mata berlinang dan hanya bisa mengucapkan kata maaf meski tanpa suara. “Rian. Sebenarnya ada apa dengan Kayla?” suara bu Linda khawatir. Meski dia tidak tau identitas Kayla secara rinci, dia tau Kayla gadis baik-baik. Rian mengusap lengan ibunya pelan. “Tenanglah, Bu. Aku pun tidak tau. Tapi, jangan khawatir. Aku akan menyusul Kayla ke kantor polisi dan mengetahui kebenarannya nanti.” “Ya. Cepatlah susul dia, Rian. Kasihan.” Rian mengangguk pelan. Dia pun mengambil helm nya kemudian menaiki motornya untuk menyusul Kayla ke kantor polisi. Dia tak akan membiarkan Kayla merasa sendiri. *** Arvyn memasuki ruangan tempat Gean di rawat. Semalam dirinya tak menginap, karena masih mengurus tentang perampok yang masih belum ditemukan jejak keberadaannya. “Selamat pagi, Nak,” sapa Arvyn begitu melihat Gean yang masih terbaring di atas brankarnya dan sedang di suapi oleh Airyn. “bagaimana kondisimu sekarang?” tanyanya setelah mendekat kemudian mengecup puncak kepala Airyn pelan. “Sudah lebih baik, Yah,” jawab Gean. “aku rasa, sebentar lagi aku bisa pulang.” “Pulang apanya, Arvyn? Kamu tidak dengar apa kata dokter tadi. Kamu masih harus beristirahat selama beberapa hari ke depan dan tidak boleh banyak bergerak.” Airyn menyela. Gean menghela napasnya pelan. “Aku bisa beristirahat di rumah, Ibu. Berada di sini tidak enak.” “Boleh,” jawab Arvyn sembari melirik Airyn yang tidak suka dengan jawabannya tadi. “tapi, setelah kondisimu membaik dan dokter membolehkanmu pulang.” Lanjutnya sambil tertawa tipis sembari melihat Airyn yang tentu saja semakin kesal dengan kalimat pancingannya tadi. “Oiya, aku ingin membeli sesuatu di kantin. Tolong, suapi Gean, Arvyn,” ucap Airyn sembari bangkit dari duduknya. “Aku sudah kenyang, Bu.” Jawaban Gean membuat Arvyn melirik ke arah Airyn. “Dia sudah kenyang dan aku akan menemanimu saja. “ “Tidak perlu,” tolak Airyn lalu menyambar tas nya. “kalau Gean membutuhkan sesuatu siapa yang akan membantunya? Dia menolak untuk ditemani perawat. Jadi, kamu di sini saja. Aku hanya beberapa menit saja oke?” Setelah mengatakan hal itu, Airyn keluar dari ruangan Gean di rawat, sehingga membuat Arvyn dan Gean berpandangan sejenak kemudian sama-sama tertawa pelan. “Dia tidak pernah berubah sedari dulu. Selalu mengkhawatirkan apapun dan menganggap dirinya bisa melakukan semuanya sendiri, “ ucap Arvyn sebelum mendaratkan bokongnya pada kursi yang di duduki Airyn saat menyuapi Gean tadi. “Dan sebelum Ibumu kembali, ayah ingin memberitahumu jika polisi sudah menangkap anak Elliot dan membawanya ke kantor polisi.” Lanjut Arvyn kemudian menunjukkan ponselnya pada Gean di mana ada dua orang polisi yang sedang mengawal seorang wanita muda yang tangannya sudah ter borgol. “Semudah itu ayah menemukannya?” Gean menggeleng pelan. Sedikit tidak percaya, hanya dalam waktu dua hari anak Elliot yang bernama Nesya itu sudah ayahnya temukan. Arvyn menarik ponselnya lagi kemudian memasukkannya ke dalam saku jas yang masih di pakainya meski berada di dalam ruangan. “Kontrakan yang wanita itu sewa adalah rumah milik Rian. Manajer restoran yang bekerja pada ibumu. Kebetulan juga, Rian mengajak wanita itu bekerja di restoran kita, jadi ayah sudah bertemu dia dan memastikannya terlebih dahulu agar tidak salah menangkap orang. Dan ternyata benar. Wanita itu memang anak Elliot.” “Tapi, untuk hal yang berkaitan jika wanita itu mengetahui keberadaan Elliot sekarang, rasanya belum bisa dipastikan, Gean. Tak ada tanda-tanda jika wanita itu mengetahui keberadaan ayahnya sekarang.” Arvyn menjelaskan dan Gean hanya bisa terpaku saja. “Maaf, sudah melibatkan ayah dalam permasalahan ku dan perusahan yang aku kelola,” cicit Gean tak enak, lebih tepatnya dia merasa malu. Sebagai anak laki-laki tertua, dia merasa begitu lemah sekarang. Harusnya, dia bisa menghadapi dan menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa melibatkan Ayahnya atau siapa pun. “andai aku tak mengalami kesialan ini, aku pasti bisa melakukannya sendiri.” Arvyn mengangguk kemudian menepuk pundak Gean pelan. “Tidak masalah, Gean. Sudah menjadi tugas ayah untuk membantumu karena saat ini kamu sedang sakit,” jawab Arvyn. “tapi, untuk langkah-langkah setelah ini, ayah tidak bisa membantumu lagi. Sudah menjadi wewenang mu untuk menyelesaikan bagaimana masalah ini ke depannya. Lagi pula, jika sampai ibumu tau, ayah pasti akan mendapat ceramahnya selama 24 jam.” Lanjutnya membuat Gean tersenyum tipis. “Terima kasih untuk bantuannya ayah. Selama beberapa hari ke depan, biarkan wanita itu merasakan bagaimana dinginnya sel tahanan dulu. Baru, setelah aku bisa pulang dan kondisiku membaik, aku akan menemui wanita itu di penjara dan memancingnya untuk mengatakan di mana keberadaan Elliot sekarang,” jelas Gean. Selain itu, aku pun ingin menemukan wanita yang sudah menolongku karena aku berhutang nyawa pada wanita misterius itu, Ayah. Batin Gean tanpa bisa dikatakan. Sungguh dia sangat ingin melihat bagaimana rupa dari wanita misterius yang sudah dengan berani menolongnya dari kematian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN