<~Patbelas~>

1374 Kata
**author POV** . . . Nduk. Nduk. Kaya dengar suara ibu? batin Reina. "Nduk ayo bangun" Perlahan gadis itu membuka mata. Menatap sang ibu yang kini benar-benar berada di hadapannya. "Ibu?!" Jelas ia terkejut. Tak ada aba-aba sang ibu akan kembali ke Jakarta. Dan kini ia bisa melihat Ratih duduk di sana, tersenyum pada dirinya. "Kok kaget? Kaya lihat apa aja kamu tuh." "Lah ibu kok pulang?" Sambil berusaha duduk, ia menatap jam di dinding. Masih pukul tiga pagi, bahkan belum subuh. Bingung juga kenapa ibu sudah ada di rumah. "Ibu penasaran sama calon menantu. Kok bisa kamu sama Pak Yogi? Kenapa enggak cerita sama ibu? Kemarin sebelum ini berangkat pun kamu bilang enggak mau nikah." Helaan napas terdengar dari bibir Reina. "Bu, Reina ngantuk. Nanti aku ceritakan semua sama ibu. Besok aku mau ada tugas akhir bulan. Reina bobo dulu ya Bu?" Dengan lembut Ratih membelai rambut Reina. Menatap anak gadisnya yang telah dewasa. Tentu ia bahagia ketika mengetahui ada seseorang yang menyayangi Reina. Gadis kecil yang dulu begitu cerewet dan menjadi mentari di kehidupannya dan sang suami. Gadis kecil yang dulu begitu sulit menggenggam ibu jarinya. Kini bahkan telapak tangannya begitu hangat menggenggam tangan Ratih. Malam membawanya pada haru, tentu saja ia adalah seorang ibu. Menatap manik mata Reina yang tak pernah berubah sejak kecil. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Reina. Rasa haru membuat hangat yang menjalar ke hati. Tanpa sadar bulir air mata menetes di pipinya. "Ibu jangan nangis." Reina memeluk sang ibu. "Ya Allah, kok kamu udah sebesar ini. Dulu masih ibu kelonin, suapin. Kok cepat banget waktu? Ibu tau akan ada waktunya kamu enggak butuh ibu. Ternyata, cepat sekali." Reina ikut menangis. "Ibu, sampai kapanpun Reina butuh Ibu. Ibu enggak akan ada gantinya. Ibu jangan nangis, aku nangis juga nih." Wanita paruh baya itu memeluk buah hatinya. Meski kini hampir berusia tiga puluh tahun Reina tetap gadis kecilnya. Terutama bagi sang ayah, Reina seolah tak pernah dewasa. "Dah, bobo lagi." "Mau tidur sama Ibu." "Halah, manja," ledek sang ibu. "Salah Ibu yang bikin Reina kangen. Ayo, sini." Gadis itu bergerak ke samping membuat ruang untuk wanita nomer satu dalam hidupnya itu rebah. Sang ibu menurut saja, merebahkan diri di tempat tidur. Anak gadisnya menelusup ke dalam pelukan Ratih. Aroma tubuh ibu adalah satu hal dari banyak hal yang pasti akan di rindukan kelak. Tangan yang mulai menua itu mengusap punggung Reina. Seraya bersenandung kidung merdu yang dulu acap kali ia nyanyikan untuk Reina kecil. "Reina sayang banget sama ibu." Reina berucap meski suaranya serak menahan tangis. "Ibu juga sayang sekali sama kamu Nduk. Menul-menul ku." Ia lalu mengecupi semua sisi wajah anak gadisnya. *** Seperti biasa pagi di waktu-waktu menuju pergantian bulan. Wajah Yogi semakin muram. Apalagi di tanggal 28 belum ada laporan yang masuk dari semua bagian. Langkahnya cepat melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia tak menemukan Reina di sana. Pria itu meletakan tas yang ia bawa lalu kembali ke luar, masuk ke dalam ruangan Reina. Ia melihat Reina sedang duduk di sofa karena meja kerja miliknya telah dipindahkan ke ruangan sang bos. Saking seriusnya wanita itu tak menyadari kehadiran sang atasan. Yogi menatap ke arah karyawan lain sebagian memerhatikan. Ia melangkah masuk, berjalan mendekati sekretarisnya. "Kenapa kamu di sini?" Ia bertanya dengan ketus dan tanpa senyum. Reina menoleh, ia sedikit terkejut. "Maaf Pak, saya enggak bisa konsentrasi kerja kalau di ruangan Bapak." Yogi menghela napas, lalu mengaitkan kedua tangan di depan d**a. "Kalau begitu saya yang harus pindah ke sini?" Dengan cepat Reina mengerakkan kedua tangannya, melarang Yogi berada di sana. Tentu saja itu tak akan ada bedanya. Yang membuat ia tak bisa bekerja adalah sang bos, bukan ruangannya. "Jangan Pak. Saya janji akan ke ruangan bapak. Setelah saya menyelesaikan pengecekan laporan saya." Yogi mengangguk, tak beranjak pergi ia malah duduk di sofa lainnya lalu duduk dengan masih melipat kedua tangannya. "Sudah berapa laporan yang masuk?" "Bagian keuangan dan kreatif Pak yang udah masuk." "Pabrik dan gudang?" "Belum Pak, tanggal 29 besok masih ada pengiriman ke Australia. Saya minta mereka kirim setelah itu." "Kenapa harus menunggu? Kirim semua data yang sudah siap setelahnya bisa disusul." Keras kepala seperti biasanya. Dalam hati entah sumpah serapah apa yang sudah Reina ucapkan saat Yogi sedang mode devil seperti ini. Ya, tapi memang sang bos seperti itu. Ia telah terbiasa, hanya saja kadang hatinya tak bisa berbohong jika ia kesal sekali. "Baik, nanti saya hubungi." "Hmm, good." Jawab singkatnya kambuh hmm, good, yes, okay. Selalu seperti itu saat seperti ini. "Bapak enggak ke ruangan?" "Kamu usir saya?" "Eeh, enggak Pak. Saya kirim data rekap pembelian dari Australia dan Malaysia. Seperti yang Bapak minta." Ini salah satu cara Reina untuk mengusir sang atasan. "Berupa apa?" "Diagram seperti yang Bapak mau. Berupa pengiriman barang, barang dikomplain dan di kembalikan, juga neraca keuangan yang saya buat berupa Bagan dan diagram." "Oke, good." Yogi kemudian berdiri segera bejalan ke luar untuk kembali ke ruangannya. Langkahnya terhenti kemudian menatap Reina. "Saya tunggu kamu di ruangan saya." "Baik Pak." Reina mengangguk. Setelah mendapat jawaban Yogi segera ke luar berjalan kembali ke ruangannya yang tak lebih dari tiga langkah. Setelah masuk ia bergegas berjalan menuju meja kerja. Duduk dan membuka laporan yang dikirimkan oleh sekretarisnya. Tangan kanannya perlahan menopang wajah.. memerhatikan dengan serius. Baginya Karuna Textile adalah sebagian dari hidupnya. Perihal pekerjaan ia tak pernah main-main. Tujuannya jelas, ingin membawa perusahaan mendiang sang ayah semakin maju. Itu yang membuatnya keras pada dirinya sendiri. Ketika seperti ini hari seolah cepat sekali berlalu. Reina bahkan tak beranjak dari ruangannya. Waktu menunjukkan pukul empat sore saat semua karyawan sudah sibuk merapikan barang-barang mereka. Reina masih duduk di lantai sementara laptop miliknya berada di sofa. Tak perlu khawatir perihal makanan. Ia sudah mempersiapkan tas berisi kudapan, lauk dan nasi yang sengaja ia pisahkan agar tetap awet sampai malam. Di samping kanannya kini bahkan ada sebungkus sale pisang dan sebotol besar air mineral. Terlihat ada botol lainnya di tempat sampah ini jelas botol ke duanya. Ia masih merapikan semua laporan yang masuk. Sebenarnya Yogi sempat menambah orang lain untuk melakukan pengecekan dan validasi data perusahaan. Hanya saja ketika dia orang yang mengerjakan tak serapi saat Reina mengerjakan semua sendiri. "Aduh punggung." Gadis itu bergerak sedikit mengangkat tubuh dan bergerak ke kanan dan ke kiri hingga tulang-tulangnya berbunyi. Ia menatap jam di laptop. "Pak Yogi udah makan belum ya?" Gadis itu bergegas ke luar. Mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan sang atasan. Ia masuk ketika mendapat sahutan. Melihat Yogi masih sibuk dengan laptopnya. "Pak makan dulu. Maaf saya terlalu serius jadi enggak memperhatikan jam. Ini udah sore banget." Yogi melirik Reina. "Kamu udah makan?" "Jangan tanya Pak," kekehnya. "Kita makan bar—" Yogi baru saja akan berdiri saat tiba-tiba merasakan perutnya yang sakit. Ia kembali duduk berusaha tak mengaduh. Reina jelas melihat perubahan itu. Ia berjalan menghampiri Yogi. "Bapak enggak makan dari tadi ya?" Pria itu mengangguk. "Ih, bapak tuh kebiasaan banget. Kalau saya udah enggak jadi sekertaris bapak gimana?" Reina membantu Yogi berjalan kemudian membiarkan Yogi rebah di sofa. Ia membuka dasi dan hendak membuka ikat pinggang atasannya. "Eeh! Ngapain kamu?!" Yogi terkejut ia menahan tangan Reina. "Dibuka Pak, biar enggak begah. Saya ambil minum hangat dulu. Bapak diem di sini. Kalau bapak ngeyel saya bilang ke Bu Nindi." Reina berjalan ke ruangannya sambil menghubungi pantry untuk membawakan teh manis hangat. Di ruangannya ia membawa obat magh miliknya, juga biskuit s**u dan minyak kayu putih andalannya. Segera ia kembali ke ruangan sang bos. Yogi masih rebah, menutup wajah dengan tangan kirinya. Reina duduk di lantai, meletakan semua yang ia bawa ke atas meja. Lalu menuju meja Yogi untuk membawa air mineral milik sang bos. "Pak, minum dulu. Bisa duduk?" Yogi mengangguk, ia duduk perlahan. Lalu Reina memberikan minum pada atasannya. "Minum ini dulu sebelum teh manis hangat." "Saya enggak apa-apa." Reina memberikan minyak kayu putih pada sang bos. "Pakai ini biar hangat Pak. Saya enggak akan lihat. Saya takut ini kram atau magh. Tapi, katena bapak bisa duduk sepertinya ini magh." "Saya enggak mau pakai itu. Bau nenek-nenek." "Biar bau nenek-nenek ini manjur pak." "Enggak mau saya." Bener-bener deh ini bos, udah sakit masih aja ngeyel. *** . . . . assalamualaikum sehat selalu semua.. sampai part ini menurut kakak dan bunda semua.. cerita ini kecepatan atau terlalu lambat? terima kasih sebelumnya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN