~>Molas<~

1047 Kata
**Yogi POV** . . . Aku dalam perjalanan pulang. Reina memaksa dan mengatakan akan mengerjakan laporan dengan baik. Aku rebah di tempat tidur, setelah mendapat ocehan dari mami. Bukan hanya aku, Reina juga sempat terkena omelan dari mami. Untungnya ia bisa mengambil hati dengan baik. Beruntung juga buat dia jadi calon istri kontrak. Kesal rasanya disaat penting malah tak berdaya seperti ini. Aku bukan tak ingat waktu makan, hanya enggan ingin segera menyelesaikan pekerjaan yang selalu membuat emosiku buruk. Aku tak suka jika ada yang terlambat. Sebelum aturan baru aku buat, sebelumnya para pekerja terbiasa terlambat. Aku tak ingin itu jadi kebiasaan buruk di kantor. Ketegasan ku juga diperlukan tentu saja. Aku tau itu menyebalkan, sebenarnya semua mudah saja jika mereka bisa merekap laporan secara harian atau mingguan. Kenapa harus ditunda hingga satu bulan? Kecuali beberapa departemen yang memang harus melakukan itu. Malam ini ditemani Disha yang membecik dari layar laptop. Ia menangis ketika tau aku sakit. Gadis kesayanganku ini benar-benar menggemaskan dan perhatian. "Mas makan jangan telat lagi dong." "Hmm, iya biasanya Reina yang siapin semua. " "Emang tadi dia di mana?" "Di ruangannya. Dia seperti menghindar dari Mas." Tentu aku merasa Reina seperti itu sejak ia main ke rumah dan aku perkenalkan sebagai calon istriku. "Hah? Tapi—dia masih mau kan, Mas, nikah kontrak?" "Hmm, Mas pastikan dia mau ngikutin rencana kita." "Iya, Disha percaya sama Mas. Yang penting sekarang mami lega dulu. Jangan sampai Reina enggak ngebatalin Mas." "Iya, tenang aja. Mas bisa atur." "Mas jangan galak-galak sama Reina. Disha tau banget kamu tuh kalau kerja kaya gimana. Takutnya itu yang buat Reina enggak mau." "Hmm, tenang aja sayangnya Mas." Disha tersenyum benar-benar ingin sekali berada bersamanya malam ini. Aku rasa Reina tak akan menolak perihal nikah kontrak yang aku tawarkan. Tau jelas ia pasti akan iba jika aku katakan perihal mami yang sakit. Mereka cukup dekat, memanipulasi perasaannya dengan mengatakan semua demi mami ia pasti akan manut. Aku bukannya kejam, ini hubungan yang menguntungkan. Reina mendapatkan uang dengan mudah, tak melakukan apapun yang sulit dan aku bisa mempertahankan hubungan dengan Disha. Keuntungan lain mami memiliki seseorang yang bisa sering menemaninya. *** Malam tadi mengobrol hingga pagi hari bersama Disha. Sepertinya karena itu aku jauh lebih baik hari ini. Meski rasanya masih ngantuk sekali. Pagi ini aku telah bersiap rencana pagi ini ingin menjemput Reina. Harus aku lakukan untuk mengambil hati sang kakak yang keras kepala. Tentu saja ia sepertinya mengerti karena begitu memahami Reina. Sedangkan dari perbincangan mami dengan ibu Reina hari itu terlihat beliau lebih mudah di buat luluh. Sikapnya sama seperti Reina, lalu Ayahnya? Akan sulit jika sama kerasnya seperti sang kakak. Selesai berpakaian segera turun dan sarapan. Mami sudah duduk membaca n****+ terjemahan. Sejak dulu mami suka sekali membaca. Aku mengecup pipi dan keningnya. "Pagi banget?" "Mau jemput Reina dulu. Kesian kalau dia naik motor." Mami sumringah senang sekali lihat mami secerah ini. "Bagus, sekalian salam buat Jeng Ratih ya?" "Jeng Ratih?" "Iyaa, Ibunya Reina." "Loh emang di sini?" Mami menatap heran. "Emang Reina nggak bilang?" Aku menggeleng. "Aah, kayanya karena kemarin kami sibuk sekali Mi. Mami tau kan—" "Mami tau kamu kalau udah menuju laporan bulanan gitu. Mami enggak mau ya kamu marah-marah sama calon mantu." Mami membela Reina. "Yogi kan harus profesional Mi. Reina di kantor sekertaris. Lagian dia udah biasa denger Gi keras." Mami mencubit pahaku. "Aah sakit Mami." "Awas aja kalau kamu marahin dia melulu." Aku senyum saja, mami sudah bisa marah artinya jauh lebih baik. Segera sarapan dan berangkat menuju rumah Reina. Ingin membawa sesuatu hanya saja ini masih pagi sekali. Mobil berhenti tepat di depan rumah Reina tepat saat ia berdiri di depan rumahnya. Dengan wajah terkejut menatapku yang berjalan ke luar mobil. Ia berjalan cepat lalu membukakan pagar. "Bapak udah sehat?" "Kamu maunya saya sakit ya biar enggak ada yang ngawasin kerjaan?" "Ya ampun enggak Pak. Saya khawatir beneran." Iya aku bisa melihat ia tulus. Saat itu aku bisa melihat kakak sepupunya Bumi ke luar dari dalam rumah. "Ajak masuk Rei." "Kita mau jalan kok Mas!" Reina berseru lalu melirikku sambil berkedip-kedip. "Cacingan kamu? Saya mau masuk kok." Kugenggam tangannya seraya berjalan masuk. "Pak ada ibu saya." Ia merengek kesal juga rasanya di larang seperti ini. Tak peduli aku mengajaknya masuk. Berjalan semakin dekat dengan Bumi yang terus memerhatikan kami. Jelas aku ketahui ia menyukai Reina. Sejak pertemuan pertama kami, ia lebih sering memerhatikan interaksi di antara aku dan Reina. Berbeda dengan Jun yang fokus membuatku mundur. Aku menarik Reina mendekat, ku alihkan tanganku melingkar ke pinggul sekertarisku. Pupilnya membesar, jelas sekali kali ini apa yang aku terka benar. Rasanya menyenangkan juga buat orang cemburu. Tunggu mereka sepupu 'kan? "Pagi Mas Bumi." Ia melirikku sekilas, butuh persekian detik sampai ia tersenyum meski canggung. "hmm, ketemu lagi." "Mas Bumi, aku enggak jadi minta anterin." Reina keluar juga suaranya. Sejak tadi dia diam. Tatapannya jelas sekali, menatap Reina lalu mengacak rambut adik sepupu. Tak lama seorang wanita paruh baya ke luar. Aku tau pasti itu ibu Reina. Segera berjalan mendekat dan mencium tangan. "Ini Pak Yogi?" "Iya betul Bu. Saya Majendra Yogi Finanda, pacarnya anak ibu, Reina. Maaf baru bisa datang Bu." Ibu Reina menepuk-nepuk bahuku. "Masuk dulu, Ibu tadi buat tiwul pernah makan Ndak?" "Bu enggak lama-lama ya." Reina mencoba mencari cara agar kami segera berangkat. "Boleh Bu." "Pak ...," Reina merengek. "Enggak apa-apa dong honey." Aku melirik Reina yang terlihat cemas. "Walah honey, honey segala." Ibu terkekeh tapi jelas ia bahagia sama seperti mami. Aku berjalan masuk lalu duduk di ruang tamu. Saat itu melihat Jun yang berjalan mendekat, menatapku dengan tak suka. Tak masalah kini yang penting aku dapat poin plus dari ibu Ratih. Reina berjalan ke dapur bersama ibu. Aku kini di ruang tamu bersama Bumi dan Jun. Seolah penjahat aku terus di perhatikan gerak-geriknya. "Sebenarnya seberapa serius perasaan Anda ke adik saya?" tanya Jun. "Kalau saya main-main enggak mungkin saya ada di sini." "Saya tau Anda punya segalanya. Kamu bisa menjamin hidup adik saya dengan baik. Jujur yang saya enggak bisa yakin itu, apa Anda bisa menjamin kenyamanan hati adik saya? Mungkin buat orang lain Reina biasa aja. Tapi buat saya, adik saya itu segalanya." Jun jelas sangat menyayangi Reina. Beruntung sekali Reina memiliki kakak yang begitu menyayanginya. "Saya akan menjamin hidup dan hati Reina." Jawabku. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN