<~Wolu~>

1169 Kata
**Reina POV** . . . Semalaman aku dicecar pertanyaan oleh Mas Jun dan Mas Bumi. Memang dasar bibirku, harusnya aku diam dulu. Yang aku lakukan malah langsung ucap masalah bakal nikah. Dan akhirnya buat kedua orang itu penasaran. Pagi ini sengaja bangun pagi-pagi. Tak membuat sarapan agar tak menimbulkan suara gaduh. Aku sudah mendengar pintu masuk utama dibuka. Kayunya agak seret jadi, menimbulkan suara ketika bergerak. Itu juga tanda bahwa Mas Bumi sudah ke luar untuk lari pagi. Aku yakin kakakku belum bangun dari tidur lelapnya. Yang aku lakukan adalah bergegas turun dan berjalan cepat ke luar rumah. Bahkan hari ini aku sengaja tak naik si merah kesayangan. Takut Mas Jun bangun saat aku membuka pagar parkiran. Pagi ini mau pergi kerja saja pakai mengendap-endap seperti maling. Mau gimana lagi? Aku tak siap dengan jawaban atas cecaran pertanyaan yang diajukan Mas Bumi dan Mas Jun. Meski harusnya pagi ini aku buatkan sarapan tapi, aku memilih memesan nasi kuning di Bu Oma tetangga sebelah. Tak apa lah, yan penting kakak-kakakku yang ganteng bisa sarapan. Aku menuju kantor di pukul setengah enam dengan mobil online yang aku pesan. Mungkin hari ini sampainya sama paginya sama Rara, yang setiap harinya harus bersih-bersih ruang kerjaku. Pagi di Jakarta, jalan belum terlalu padat. Pagi ini benar saja, Geri sampai bengong saat aku jalan masuk. "Pagi bener Mbak Rei?" Aku mengangguk lemas, belum sarapan. "Iya," sahutku seadanya. Berjalan ke ruangan, lalu lagi-lagi aku main ponsel buka aplikasi ojol buat pesan sarapan. Tepat saat Rara berjalan masuk. Aku bisa melihat Rara kaget saat melihatku sudah duduk di dalam ruangan. "Tumben Mbak?" "Iya kangen sama kamu," sahutku buat Rara cengar-cengir sambil mulai membersihkan ruangan. "Ra, kantin jam segini udah buka belum sih?" "Kantin kantor belum Mbak. Cuma di belakang ada tukang-tukang makanan. Ada batagor, bubur, macem-macem." "Yang deket SD itu kan?" tanyaku. "Iya, mau saya beliin Mbak?" Aku menggeleng. "Aku pesan aja deh. Kesian kerjaanmu banyak." Krruukkk krrukk. Perutku mulai berdisko ria. Cacing-cacing dalam perut sudah sibuk konser. Rara menatap, ia pasti juga dengar suara perutku tadi. Buat nyengir dan malu sendiri. Ia berjalan mendekat memberikan sebungkus biskuit cokelat dari kantung seragam. "Makan itu dulu Mbak. Kalau mau pesan makanan, saya bisa suruh Asep. Tadi, dia baru aja jalan buat beli sarapan anak-anak di pantry." "Boleh deh Ra. Somay, batagor, sama gorengan." Aku rogoh uang dalam dompet. Lalu memberikan dua lembar lima puluh ribuan. "Sekalian kamu sama Asep mau apa." Rara segera menghubungi Asep. Aku duduk seraya melipat tangan dan rebahkan kepala ke meja kerja. . . Sarapan memberi semangat aku sudah mengecek jadwal kerja Pak Yogi. Hari ini ada rapat dengan Pak Guna rekanan kami. Biasanya makan waktu lama, Pak guna sering sekali beda pikiran dengan atasanku itu. Sering gontok-gontokan masalah pengiriman yang harus diprioritaskan. Pak Yogi maunya semua pesanan dalam jumlah besar di kirim sesuai data masuk; Pak Guna, ingin ada prioritas bagi mereka yang membeli lebih banyak. Bagi bosku, waktu adalah penentu paling adil. Sedangkan, Pak Guna inginnya, mereka yang bisa membeli lebih banyak dan pastinya memberi keuntungan lebih banyak, harus mendapat prioritas. Kadang bingung juga, mereka punya pandangan yang sama-sama benar menurut ku. Pintu ruangan ku terbuka, Pak Yogi. "Ke ruangan saya," titahnya lalu berlalu menuju ruangannya. "Baik Pak." Segera aku berjalan mengikuti lalu mengetuk pintu sebelum masuk. Setelah ia mengijinkan aku berjalan masuk ke dalam. Melihat ia sedang meletakan tas di meja kerja. Dan aku masih berdiri menunggu ia mempersilahkan duduk. Hanya dengan gerakan kepala ia meminta aku duduk. "Hari ini batalkan semua jadwal." Pak Yogi berjalan lalu duduk di sofa. Aku duduk setelah ia duduk lebih dulu. "Cuma ada pertemuan sama Pak Guna hari ini, Pak." "Hmm, baguslah jadi saya enggak perlu ketemu sama si ngeyel itu." "Tapi, setelahnya bapak bisa ketemu beliau dua Minggu lagi. Pak Guna ke Tiongkok." Yogi mengangguk. "Enggak masalah, kalau masalah ngomong sama dia. Kalau adu ngeyel saya jagonya. Siapa direksi yang paling ngeyel selain saya?" Gila ya, bos satu ini. Masalah ngeyel dan sombong kok bangga? Bos siapa sih? Jawabannya buat aku mengangguk saja. "Maaf Pak saya mau bicara masalah kemarin." "Iya, saya juga mau bicara itu." Ya bagus, aku harap ide gilanya dibatalkan. "Masalah Mami bapak—" "Mami saya itu punya sakit jantung lho Rei." Lagi ia menekankan. Sialan, kalau kaya gini nikah kontrak itu pasti jadi. "Iya Pak, tapi kan—" "Kamu enggak usah mikir apa-apa." Enggak usah mikir apa-apa gundulmu Pak! "Gini lho Pak—" "Kita nikah tiga tahun, saya bayar kamu tiga kali lipat gaji kantor. Kamu enggak usah kerja lagi setelahnya. Rajin-rajin aja tengok mami saya." "Kalau gitu, gimana kalau tidak usah ada pernikahan. Saya bisa jagain Ibu Nindi, bayar saya secara profesional aja." Ia menggeleng seraya menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Beda dong, Mami saya minta mantu kok." "Iya enggak harus bohong kan Pak?" Ia menghela napas. "Saya udah bilang kan alasannya." Sungguh aku tak mengerti lagi maunya Pak Yogi. Apalagi kata-kata kalau ibu Nindi sakit terus saja ia ucapkan. Ini jadi masalah kemanusiaan juga. Ya, mana bisa aku menolak kalau begini? Kalau ibu Nindi kenapa-napa? Sialan emang Pak Yogi. "Mami saya sakit." "IYA SAYA TAU PAK!" Aku membekap mulutku setelah nge-gas barusan. Pak Yogi sih pancing jiwa *kyubi-ku keluar. (Rubah ekor sembilan) Pak Yogi diam, ia menatap dengan takut. "Maaf Pak." "Oke deal?" Aku mengangguk mau bagaimana? Aku kadung basah. Terlanjur nyemplung sekalian saja berenang sampai akhir. Setelah dipikir seru juga. Paling tidak aku bisa ngerasain gimana rasanya punya mertua nanti. Aku bisa melihat Pak Yogi tersenyum. Senang ya dia? "Kalau gitu kamu jangan ke luar ruangan." "Heh?" "Anggap hari ini kita mulai." "Mulai apa Pak?" "Mulai pacaran, kita jalanin masa pacaran dulu. Kita buat alibi sebelum nikah, susun rencana, buat skenario." Aku bertepuk tangan, sementara bosku memerhatikan. "Pak Yogi udah mikir sejauh itu?" Ia menggeleng. "Saya baru kepikiran setelah kamu bilang oke." Okelah, dia pintar juga. Ya, memang pintar sih. Meski itu jadi hal yang malas aku akui sekarang. "Jadi kita mulai. Siapa yang mulai menyatakan perasaan?" tanyanya. "Saya, aja. Karena enggak mungkin bapak yang suka sama saya duluan." Pak Yogi mengangguk. "Oke kalau gitu." Ya rencana kami susun. Aku yang memulai hubungan yang tak mungkin ini. Entah bagaimana cemoohan warga Karuna Textile nanti. Betapa nyinyir pada pegawai nanti. Sialan, kenapa aku malah mengajukan diri? Tapi, mau bagiamana lagi, mau aku atau Pak Yogi yang mengakui perasaan tetap aku yang salah. Coba pikir kalau Pak Yogi yang menyatakan rasa lebih dulu. Pasti mereka mengira aku pakai guna-guna. Kalau aku yang menyatakan perasaan duluan? Itu lebih masuk akal. Dan tetap saja, pasti akan ada tang mengira aku pakai guna-guna makanya diterima. Reina .., begini amat nasibku. Hix hix .... Hari ini waktu di kantor terasa lama sekali. Aku sudah di ruangan setelah sejak tadi di ruangan bos. Sibuk menyusun naskah tentang pertemuan dan sebagainya. Jadi keputusannya, Reina yang menyukai Yogi lebih dulu. Dan menyatakan perasaan dua bulan yang lalu. Tentang pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Entah apa yang akan terjadi dua bulan lagi. Hmm, aku hanya berharap semuanya baik. Semoga .... ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN