~>Pitu<~

1164 Kata
**author POV** . . . Pulang bekerja Reina kini berada bersama Bumi dan Jun. Ia sibuk meneguk kopi miliknya. Reina tak suka basa-basi saat minum kopi. Setelah cukup hangat untuk ia minum, segera saja ia teguk hingga habis. Jun dan Bumi sudah terbiasa melihat kelakuan adik perempuan mereka. Reina merangkul Bumi lalu bersandar pada bahu kakak sepupunya. "Mas kalau aku nikah gimana?" Bumi dan Jun merespon kompak, keduanya menatap Reina dengan mata yang membulat. "Kamu pacaran? kenal online?" tanya Jun. Ia tau dengan jelas tak ada pria yang saat ini dekat dengan Reina. Reina menggeleng. "Mas tau kan aku nggak suka kaya gitu." "Terus?" Bumi bertanya penasaran. "Aku cuma tanya kalau, andai, misal." Reina mengelak dengan cara yang sama saat ia ditanya Tedi tadi siang. "Temen laki-lakimu yang Mas kenal cuma Tedi." Jun mulai menyelidiki. "Nggak mungkin kan kamu sama Tedi?" Parahnya kini Bumi punya pemikiran yang lebih luar biasa. "Nggak sama Tedi. Aku cuma tanya misal. Ih, Mas Jun sama Mas Bumi nyebelin banget." Reina memang dewasa dalam bekerja. Namun, sikap tegasnya luntur begitu saja setiap kali ia berada bersama Jun, Bumi atau keduanya. Kedua pria itu begitu menyayangi Reina. Sampai kapanpun Reina adalah adik kecil yang harus dijaga. Hingga sikap manjanya berlanjut meski usianya saat ini telah dua puluh delapan tahun. "Lagian kamu tiba-tiba." Jun protes. Sejujurnya, ia juga tau dengan jelas pertanyaan Reina kali ini bukan sekadar pertanyaan ia akan mencari tahu nanti. . . . Sementara di sisi lain Yogi baru saja tiba di rumah. Pria itu berjalan masuk ke dalam seraya melonggarkan dasi yang dikenakan. Mami tak menyambut berarti kondisi mami masih tak baik. Berjalan ke dapur untuk minum sebelum melangkah ke kamar mami. Ia masuk dengan perlahan takut kalau sang ibu masih terlelap. Saat pintu terbuka ia melihat mami yang tengah membaca buku. Wanita itu tersenyum pada anak laki-lakinya. "Udah pulang kamu Gi?" Pria pucat itu berjalan mendekat lalu mencium tangan Nindi, sang mami. "Assalamualaikum Mi." "Waalaikumsalam." Yogi duduk di samping tempat tidur. Lalu memegangi tangan mami. "Ke rumah sakit aja ya Mi? Kalau di sana ada yang jagain mami." Mami menggeleng. "Enggak enak dijagain dokter sama suster." Jelas ini sindiran untuknya. Mami ingin ditemani yang lain selain suster, begitu 'kan? Iya, Yogi mengerti hanya saja tak bisa lagi ia beralasan. Pun pria itu tak ingin membuat Nindi kecewa karena Yogi belum mampu memenuhi keinginan sang ibu. Yogi diam sejenak menatap mami yang terpejam terllihat jelas dalam kondisi tak baik. "Mi," sapanya. Mami membuka mata, menatap pada Yogi. "Kenapa?" Ragu ... Si pucat memilih terdiam sejenak. Menatap mami yang terlihat penasaran. "Hmm, sebenarnya saya udah punya pacar." Mata mami membulat menatap Yogi antusias. Tangannya menggenggam pada tangan anak laki-laki satu-satunya. "Siapa?" tanya Nindi dengan mata yang berbinar. Mana bisa saat ini Yogi tarik ucapannya. Sudah kadung diucapkan. Tak mungkin ia katakan ini hanya gurauan. Mami sudah terlanjur bahagia mendengar apa yang ia ungkap. Mau bilang itu Disha? Gila, bisa diputus hubungannya. Tidak, Yogi tak mau. Pria itu sudah terlanjur menjadi b***k cinta dari Lelana Ayudisha Batari. "Mami kenal?" Mami mencecar pertanyaan. Yogi mengangguk pelan. Satu-satunya jalan keluar adalah mengatakan .., "Reina, Mi." Nindi terkejut tentu saja. "Reina? Sekertaris kamu?" Yogi mengangguk pelan, tersenyum saja agar mami tak curiga pikirnya. "Mami setuju?" "Setuju laah, Reina itu pinter masak, tau masakan enak. Yang paling penting dia itu bisa hadapin kamu. Mana ada yang kuat hadapin sikap ketus, dingin, judes kamu selain Reina? Coba yang lain, udah out mereka." Yogi membecik. "Yang anak mami tuh Yogi apa Reina?" "Kamu lah .., tapi, apa yang mami bilang bener kan?" Tak bisa mengelak Yogi akui dirinya kaku. Memang tak ada yang bisa bertahan sebelumnya. Reina lebih baik setelah beberapa tahun. Gadis itu berjuang untuk mengikuti ritme kerja Yogi. Awalnya Reina juga babak belur mengikuti sang atasan. Reina sekertaris ke empat, itu juga pilihan Disha. Disha tak khawatir karena Reina menurutnya tak akan menarik atensi Yogi. Ya, karena Reina tak menarik. "Mami setuju? Reina gendut lho." Mami menatap dengan kedua alis yang bertaut. "Jangan-jangan kamu enggak ngenalin Reina karena malu?" Yogi mengangguk tentu saja ia malu. Reina bukan tipenya, dia pemilik perusahaan menjalin hubungan dengan perempuan gemuk seperti Reina? Sama sekali tak ada daya pikat, tak menarik untuk ditunjukkan. "Ya Allah Gi, sejak kapan mami ngajarin kamu lihat dari fisik? Meski kita cukup, segalanya cukup. Jangan sekali-kali menilai seseorang dari fisik. Jatuh cinta sama cewek gemuk, kurus, pendek, tinggi itu wajar. Yang enggak wajar itu, kamu jatuh cinta sama perempuan yang kakinya nggak menapak di tanah." "Aish Mami. Ya, masa Yogi jatuh cinta sama perempuan yang melayang? Kunti dong?" Mami tak peduli ia sibuk mencari ponsel miliknya. Ingin menghubungi Reina terlalu gembira sepertinya. Setelah menemukan ponsel ia tersenyum senang sekali harapannya agar Yogi segera menikah nampaknya akan terwujud. . . Sementara Reina kini tengah duduk menonton kedua kakak laki-lakinya yang sedang bermain game. Bermain bulu tangkis dari PlayStation milik Jun. Sedari tadi Bumi unggul. "Ayo dong Mas Jun payah banget ish." Reina kesal. Jun tak kalah kesal karena sang adik yang terus mengatainya payah. "Diem ah Reina...!" Saat itu ponselnya berdering. Reina berjalan cepat menuju teras setelah membaca nama 'Ibu Nindi' di ponselnya. Bumi menatap Reina, menyebabkan kok milik Jin melesat masuk ke areanya. "Yeess!" sorak Jun. "Belum ya, masih seri." Reina duduk di kursi kayu di teras rumahnya. Segera menerima panggilan dari Nindi. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Reina!" "Iya Bu?" Sapa Reina seraya mengencangkan volume panggilan. Ada nada peringatan pesan masuk ia harus membaca pesan masuk. Takut itu adalah pesan penting. Dari Yogi _____________________________________ 'Inget mami saya punya sakit jantung.' _____________________________________ Reina kembali mendengarkan panggilan setelah membaca pesan dari sang atasan. Sebuah tekanan ia terima berarti ia tak boleh buat Nindi tertekan apalagi terkejut. "Kamu nggak bilang kalau pacaran sama Yogi?" "Haah? Saya?!" Reina kaget mendengar perkataan barusan. Ingin menolak, pesan yang ia baca tadi terus terngiang. Perihal Ibu sang atasan yang punya penyakit jantung. "Kamu kaget ya, karena Yogi akhirnya ngomong." "Hehehe, memang Pak Yogi ngomong apa Bu?" "Jangan manggil ibu dong panggil Mami." "Iya," Reina menjawab sekenanya. Kepalanya mendadak pusing karena telepon kejutan ini. Bagaimana ia bisa menolak? Apalagi ia telah diancam perihal penyakit jantung Bu Nindi. "Besok ke rumah ya, malam Minggu. Bisa 'kan?" "Tapi, Bu—" "Kok ibu lagi sih? Mami ...." "Iya Mi. Tapi, kemarin—" Reina berpikir keras. Entah apa yang harus ia katakan untuk menolak semua ini. "Ba-bapak ngajak putus. Iya, putus." "Kamu ngajak putus GI?" Terdengar suara Yogi menjawab tidak. Ingin sekali Reina menyiram air ke wajah sang atasan atas sikap semena-mena yang dilakukannya. "Enggak kok Rei. Besok ya, pas libur kan? Mami tunggu kamu pokoknya. Yaudah, istirahat. Assalamualaikum." "Ib—Mami juga istirahat lekas sembuh. Waalaikumsalam." Reina mematikan panggilan. Ingin menangis rasanya seolah masalah besar menghadang di depan mata. Ia berjalan masuk saat Jun bersorak atas kemenangan pertamanya. Wajah Reina serius, menatap kedua kakak laki-lakinya. Kali ini Yogi benar-benar buat dirinya terpojok. "Mati gue," rengek Reina ia lalu terduduk di lantai. "Kalau gini gue bakal nikah dong?!" "Heh???! Nikah??" seru Jun dan Bumi. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN