11. Cobaan yang Membuat Rasa Sayang Meluap

1472 Kata
“Aku sudah tidak punya uang! Suamiku kecelakaan, ... suamiku harus segera diobati.” “Demi apa pun, Ayah. Aku mohon tolong aku! Tolong pinjami aku uang untuk biaya pengobatan suamiku!” “Aku janji, aku akan secepatnya mengembalikannya!” Violita nekat mengetuk pintu kamar ayahnya. Sebab sang ayah tetap menolak kehadiran apalagi pinjaman uang yang ia ajukan. Pak Nendar dibawa masuk ke dalam kamar oleh ibu Rianty. Namun tanpa Violita sadari, di belakangnya ada Rindu dan Fathan yang kebetulan baru datang. Pengantin baru itu langsung terdiam memperhatikan tingkah Violita. Terlebih, demi seorang Daniel yang dikata Violita kecelakaan, hingga membutuhkan banyak biaya pengobatan, Violita terus memohon. Berlinang air mata Violita memohon kepada ayahnya. “Aku mohon ayah, ... di dunia ini, aku hanya punya suamiku. Jika suamiku kenapa-kenapa, ... aku sungguh tidak akan memaafkan diriku!” “Secinta itu dia kepada si pincang yang bahkan penuh luka sekaligus miskin!” batin Fathan benar-benar tak terima. Kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuh. Termasuk juga tangan kanannya dan lengannya tengah didekap erat oleh Rindu. Dekapan yang makin erat seiring kedatangan Violita. Lebih tepatnya, Violita melewati kebersamaan Fathan dan Rindu, begitu saja. “Berani kamu menemui apalagi memberi Violita uang, kita cerai!” tegas ibu Rianty terus saja mengancam sang suami. Ia terlalu takut sang suami sampai memberikan uang yang dimiliki kepada Violita. Sampai mati pun, meski pak Nendar merupakan ayah kandung Violita, ibu Rianty tidak pernah rela. Pak Nendar tidak bisa melakukan apa pun selain diam. Ia sungguh pasrah dan membiarkan semuanya terjadi. Ia mengikuti, patuh, dan memang tunduk kepada sang istri yang usianya memang hampir sepuluh tahun lebih muda darinya. Meninggalkan rumah orang tuanya tanpa sekadar balasan salam apalagi uang pinjaman, benar-benar membuat Violita trauma. Jauh di lubuk hatinya Violita berujar, bahwa sesulit apa pun keadaannya, ia tak akan pernah datang apalagi sampai meminta bantuan kepada ayahnya. Setelah mengemudikan motornya yang terbilang baru, Violita sengaja mampir ke tempat pegadaian. Lokasinya sangat dekat dengan rumah sakit Daniel dirawat. “Ya Allah, mas Daniel suamiku. Satu-satunya harta paling berharga yang aku miliki di dunia ini. Jika memang ini satu-satunya jalan, aku ikhlas menggadaikan motorku. Aku bahkan ikhlas andai aku harus kehilangan motorku, asal suamiku baik-baik saja!” batin Violita sambil serah terima uang hasil gadai motornya. Tak lama kemudian, Violita segera menyeberang jalan. Ia bergegas menuju rumah sakit. Karena di sore menjelang petang, sang suami sudah ditangani di IGD. Alasan ya g membuat muslimah tangguh itu berani meninggalkan sang suami untuk mencari pinjaman uang. Meski pada akhirnya, Violita tetap harus berjuang seorang diri. “Jangan pergi ke mana-mana lagi. Cukup hubungi nomor yang aku berikan. Cepat kirimkan videoku bersamamu, agar mereka segera datang memberi kita bantuan!” ucap Daniel menolak sedotan yang Violita taruh di bibirnya. Violita hendak membantunya meminum air mineral. Violita yang masih kerap menitikkan air mata, menggeleng tegas. “Enggak apa-apa, Mas. Sudah menjadi kewajibanku sebagai istri Mas untuk selalu memberikan yang terbaik buat Mas,” lembutnya tersedu-sedu. “Apa pun akan aku lakukan, asal Mas cepat sehat.” “Namun, aku tetap ingin meminta maaf jika sejauh ini, aku belum bisa jadi istri yang baik buat Mas!” “Pintaku satu, tolong cepat sehat biar kita bisa sama-sama lagi, tanpa harus membuat Mas menahan rasa sakit!” Violita kembali mencoba menuntun Daniel minum air mineral yang ia bawa menggunakan sedotan. “Ya Allah ... untuk pertama kalinya aku menyebut–Mu. Dan untuk pertama kalinya, aku juga ingin bertanya, ... sebenarnya istriku bidadari, apa memang bidadari jelmaan dari malaikat?” batin Daniel makin takjub dengan ketulusan Violita dalam mengabdi kepadanya. Violita mengompres wajah sekaligus tubuh Daniel. Sekujur tubuh Daniel memang lebam. Ada yang pecah juga dan itu di dekat ubun-ubun. Sisanya, hanya tangan kiri Daniel yang patah. “Terima kasih banyak,” ucap Daniel tulus sambil menatap Violita. Violita yang tengah menyeka d**a Daniel, refleks diam kemudian menatap kedua mata suaminya. “Mendekatlah ...,” lirih Daniel kepada sang istri. Meski jadi bertanya-tanya dalam diamnya, Violita sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Daniel. Wajahnya berada persis di hadapan wajah Daniel. “Tolong lebih dekat lagi,” lirih Daniel lagi kali ini makin lembut. “Seberapa dekat?” balas Violita tak kalah lembut. Apa yang ia tanyakan akhirnya mendapat balasan ketika bibir suaminya menempel di keningnya yang tertutup hijab. Jantung Violita nyaris loncat hanya karena apa yang Daniel lakukan. Kemudian, di ruang sempit dan hanya tertutup tirai, Violita menoleh ke belakang. Suasana yang sepi dan tak ada tanda-tanda akan ada yang datang, membuat Violita memberanikan diri untuk melepas sebagian cadarnya. Menggunakan bibirnya, ia balas mengecvp lama kening Daniel yang tetap anyir meski ia sudah membersihkannya. Bersamaan dengan itu, tangan kanan Daniel yang masih bisa bergerak dengan leluasa, sengaja mendekap punggung Violita erat. “Bawa aku pulang saja. Tidak ada luka yang perlu ditindaklanjuti, selain tangan kiriku, kan?” lembut Daniel tak mau melepaskan punggung sang istri. “Aku enggak bisa urus patah tulang, Mas. Jadi, tangan kiri Mas wajib diobati di sini,” lembut Violita yang sudah sampai membingkai kedua sisi wajah berahang tegas milik suaminya. Karena entah mengapa, kebersamaan kali ini membuat kebersamaan mereka menjadi intens. Bukan hanya rasa sayang Daniel kepada Violita yang langsung naik drastis. Karena tanggapan hangat Daniel yang begitu menghargainya juga membuat Violita makin menyayangi sang suami. “Percayalah kepadaku, bahwa aku sudah terbiasa terluka. Buktinya alasan kita bertemu, bukankah karena aku terluka parah? Aku bekerja sebagai keamanan. Jadi mengenai patah tulang, sebenarnya aku bisa mengurusnya sendiri. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat. Percayalah kepadaku. Meski sepertinya, aku akan tetap membutuhkan bantuanmu,” ucap Daniel sungguh-sungguh. Karena apa yang suaminya katakan seolah sangat meyakinkan, Violita pun menerimanya. Apalagi dokter bilang, keadaan Daniel tidak begitu parah. Meski jika mendengar cerita dari mandor sekaligus kuli bangunan yang mengantar, harusnya Daniel terluka parah. “Mungkin karena sudah terbiasa terluka. Bahkan di beberapa bagian tubuh mas Daniel saja, ada luka tembakan,” batin Violita yang membenarkan. Di balik tubuh tegap berotot milik suaminya, begitu banyak bekas luka. Baik yang sekadar menyisakan gumpalan kulit tak rata dengan bagian kulit lain, atau malah bekas luka baru yang benang jahitnya belum begitu menyatu dengan daging. “Apakah pekerjaan mas Daniel lebih berisiko dari keamanan negara?” pikir Violita makin penasaran dengan pekerjaan suaminya. Ia memapah Daniel dengan sangat hati-hati. “Motormu mana?” tanya Daniel lantaran Violita malah berdalih akan memanggil ojek di depan pintu masuk. Disinggung mengenai motor, Violita langsung bengong kebingungan. Namun, Violita masih bisa mengatasinya. “Masuk bengkel, Mas!” “Masuk bengkel?” lirih Daniel penasaran. Motor istrinya rusak apanya, berhubung dirinya paham dengan permesinan apalagi sekadar mesin motor. ••• Setelah hampir satu jam menjalani perjalanan menggunakan ojek, akhirnya mereka sampai kontrakan. Lagi-lagi, Daniel yang berdiri saja harus Violita papah, menyinggung kerusakan motor Violita. “Gini-gini aku paham urusan mesin, apalagi sekelas motor. Aku saja yang benerin, nanti alatnya cukup beli, pasang sendiri,” lembut Daniel. Violita yang berbohong, jadi tidak berani menatap kedua mata Daniel lagi. “Mas kan lagi sakit, biar di bengkel saja. Sekarang Mas harus fokus istirahat. Jangan ngapa-ngapain dulu,” ucap Violita akhirnya bisa membuka kunci pintu kontrakannya. Bertepatan dengan mereka yang baru masuk, Daniel sengaja menghadapkan tubuh Violita kepadanya. Dari pinggir jalan, Fathan yang sudah mengikuti Violita dari awal wanita itu menggadaikan motor, jadi kebas. Sebab alasan Daniel membuat Violita menghadap Daniel, murni karen Daniel sibuk mengabsen wajah Violita dengan bibir. Daniel tampak begitu gemas, hingga Violita yang tetap memakai cadar jadi tersipu. “Ayo istirahat sudah malam,” lembut Violita. “Jadi, keputusanku membuat si pincang itu masuk rumah sakit, justru bikin hubungan mereka makin manis? Bajjingan!” batin Fathan benar-benar kesal. “S—sayang ...,” refleks Daniel agak berseru, meski suara yang ia hasilkan juga tak seberapa. Violita yang baru akan keluar meninggalkan rumah untuk mandi, jadi tidak jadi. Kebetulan, kamar mandi di kontrakan mereka memang ada di luar rumah. Sempat gugup karena panggilan refleksnya yang memang tulus, Daniel yang masih berbaring sengaja mengabarkan, bahwa ponsel sang istri berdering. “Sepertinya telepon,” ucap Daniel. Violita yang jadi kikuk karena panggilan sayang dari sang suami, berkata, “Kalau Mas bisa, jawab saja. Namun kalau enggak, ya sudah. Nanti gampang aku kabari ulang nomornya jika memang perlu. Ini aku mau mandi dulu soalnya sudah malam. Lagian, takutnya itu teman kerja Mas.” Ketika Violita memilih lanjut pergi ke kamar mandi yang ada di samping kontrakan, Daniel juga berusaha memastikan. Daniel yang harus susah payah hanya untuk bisa meraih tas sang istri selaku dering ponsel berasal, sangat berharap. Alasan ponsel sang istri berdering memang karena dari temannya dan tak lain anak buahnya. Teman Mas Daniel, sungguh kontak tersebut yang tengah berusaha melakukan telepon video kepada ponsel Violita. Jantung Daniel nyaris loncat karenanya, saking bahagianya. Akan tetapi di luar sana, Fathan yang masih mengawasi Violita, buru-buru meninggalkan motornya. Fathan menyusul Violita ke kamar mandi yang sepi sekaligus minim penerangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN