10. Ulah Licik Fathan

1314 Kata
“Masih punya nyali untuk menginjakkan kaki di sini? Bukankah kamu sedang menjalani hukuman kode etik dari perbuatanmu?” ucap Rindu pada Violita yang baru saja mengantar pesanan makanan maupun minuman ke ruang bidan. Violita yang baru saja keluar, langsung terdiam. Ia jadi tidak bersemangat hanya karena harus berhadapan dengan Rindu yang kali ini gayanya mirip bintang pantura. Rindu memakai heels tinggi sementara rambut panjangnya tampak sangat lembut karena sepertinya memang baru diluruskan. “Bahkan tadi aku lihat, ... suami miskinmu yang pincang, jadi kuli bangunan di dekat pasar!” tambah Rindu masih dengan nada menghina. “Masalahnya dengan kamu apa? Kamu merasa sudah kasih kami makan?!” tegas Violita lirih dan menatap tak habis pikir sang adik tiri. Rindu yang pada kenyataannya sangat membenci Violita sengaja menunduk. Sebab efek heels yang ia pakai, membuat Violita jauh lebih pendek darinya. “Apa yang kalian lakukan sudah bikin malu! Ingat itu, dan tolong digaris bawahi bahwa kalian sudah bikin MALU!” tegasnya, meski ia juga berbicara lirih. Selain itu, telunjuk tangan kirinya yang berkuteks merah muda, juga menunjuk-nunjuk wajah Violita. Sempat akan kembali trauma karena teringat saat dirinya dan Daniel menjadi tontonan ketika tidur bersama, tiba-tiba saja Violita teringat ucapan Daniel. Mengenai Violita yang Daniel minta untuk tidak trauma. Apalagi Daniel yakin, alasan Fathan begitu murni karena pria itu tidak bisa move on dari Violita. Bisa jadi, sebenarnya Rindu juga kurang bahagia dalam menjalani pernikahan dengan Fathan. “Kamu boleh bilang gitu, jika kamu mampu kasih aku uang minimal 5 triliun setiap bulannya!” tegas Violita sambil menatap tegas sang adik tiri. “Lagian anehnya, bukankah kamu sudah mendapatkan yang kamu mau dan itu menikah dengan mas Fathan? Lalu, kenapa sekarang kamu masih saja ngerecokin rumah tanggaku?” ucap Violita. Untuk beberapa saat, Rindu langsung tercengang. Karena biar bagaimanapun, dirinya memang kurang bahagia dengan pernikahannya. Apalagi dari awal berhubungan, nama yang terus Fathan terus saja nama Violita. Bayang-bayang Violita begitu sibuk menguasai kehidupan Fathan bahkan rumah tangga mereka. Karena Violita sudah telanjur melangkah pergi, Rindu sengaja berkata, “Jadi selain hobi berzina dengan banyak laki-laki. Kamu juga hobi memfitnah istri sah, ya? Dasar pelakor bercadar!” Rindu sengaja berucap lantang untuk mempermalukan Violita. Kebetulan, beberapa orang berdatangan secara rombongan. Mereka langsung menjadikan Violita sebagai pusat perhatian karena memang, di sana Violita menjadi satu-satunya yang bercadar. Violita yang tak mau memperburuk keadaan, sengaja bergegas pergi. Violita tak mau tampak memilukan karena efek dari traumanya, bisa membuatnya sedih sekaligus menangis berkepanjangan. Sepanjang perjalanan, ponsel Violita berdering. Namun karena efek yang membuat ponselnya berdering itu kontak Fathan, Violita sengaja mengabaikannya. Sampai kontrakan, Violita juga memilih memblokir nomor ponsel Fathan lantatan mantannya itu sibuk meledeknya di pesan. Kenyataan Violita yang jadi tukang gorengan dan aneka makanan maupun minuman lainnya, Athan ledek sekaligus sindir keras. Kebetulan, Violita memang memasarkan dagangannya di status WA. “Suami sama istri, sama-sama sibuknya. Sibuk urusin rumah tangga orang. Sekadar mau kasih uang 5 miliar saja enggak sanggup. Sok-sokan atur rumah tangga orang!” batin Violita benar-benar kesal, hingga kemudian, ia jadi sibuk istighfar. Di siang yang benar-benar terik terlebih di kontrakan belum ada kipas angin maupun AC. Violita sengaja membuka jendela sebelah kasur lantai dirinya dan Daniel tidur. Violita mengumpulkan semua uang hasil jualan hari ini dan jumlahnya sangat banyak. Bukan karena kebanyakan uangnya receh dan itu uang seribu dan dua ribu. Namun memang hasil jualan pagi ini terbilang banyak. “Pantas kelopak mata berasa terbakar minyak goreng, yang digoreng saja emang masya Allah banget!” lirih Violita tak hentinya bersyukur. Total pendapatan hari ini hampir enam ratus ribu. Itu saja belum dengan yang dibawa Daniel ke tempat kerja. “Ah mikirin Mas Daniel aku jadi kangen. Ada, pria bertanggung jawab seperti itu,” batin Violita yang bergegas menyimpan uang di kotak dagangannya ke tas kecil. “Ini sebagian ditampung, sebagiannya lagi buat beli bahan baku,” pikir Violita yang menyisihkan uang dua ratus ribu ke dalam dompet warna ungu. “Sebenarnya aku ngantuk. Enak banget kayaknya kalau ambil waktu buat tidur siang. Namun aku kangen mas Daniel. Takut beliau belum makan. Ya sudah sekalian bawa bekal terus mampir ke mas Daniel.” Selain berniat mengunjungi sang suami, Violita yang membekal makan dan minum juga berniat membeli bahan dagangan. Agar saat sore nanti Daniel pulang, suaminya itu tak lagi harus sibuk membantunya. Hingga mereka bisa sama-sama quality time tanpa harus kembali memikirkan yang lain termasuk pekerjaan. •••• “Buat, seolah-olah memang kecelakaan. Jatuhkan batu bata sebanyak mungkin ke Daniel. Kamu tahu Daniel, kan? Nah, yang pincang itu. Pastikan dia celaka. Mati segan, hidup pun lebih pelik!” ucap Fathan sengaja datang ke tempat proyek Daniel bekerja. Panas-panas karena adzan duhur saja baru berkumandang. Namun, dua kuli bangunan yang Fathan suruh, dengan cepat menerima dua buah amplop besar warna putih pemberian Fathan kepada mereka. Amplop tersebut masing-masing berisi banyak uang seratus ribu. Hingga membuat kedua mata kuli bangunan tersebut, langsung silau. “Setuju, ya? Sekarang juga!” bisik Fathan bersemangat. Ia yang memakai seragam batik kuning, berangsur memakai kacamata hitam tebalnya. Fathan pergi dari sana sambil sesekali memperhatikan Daniel melalui lirikan. Pria yang Fathan yakini hanya pria miskin bahkan fatalnya kaki kanannya pincang, menjadi pria yang paling bersemangat dalam bekerja di sana. Daniel tengah menenteng dua ember terbilang besar, berisi adonan pasir dan semen. Keringat besar terus berjatuhan membasahi wajah dan juga sekitarnya. Selain itu, baik itu kepala maupun pakaian Daniel juga basah oleh keringat. Di lain sisi, kedu pria yang Fathan utus juga sudah bergerak. Keduanya mengawasi Daniel dan segera mengikuti ke mana pun Daniel pergi. Keduanya akan mencelakai Daniel dan membuatnya seolah murni kecelakaan sesuai arahan Fathan. “Sudah siap, Mas?” sergah Daniel lantang sambil menengadah ke pria di papan atas sana. Pria yang berbeda dari kedua kuli bangunan utusan Athan. Sesuai aturan, kedua ember berisi adukan atau adonan pasir dan semen itu harus diangkat ke atas. Jadi, ember berisi adonan akan dikaitkan menggunakan pengait di tali tambang. Setelah menengadah, Daniel tak sengaja menoleh ke jalan. Di sana ada sang istri yang datang memakai motor dan sukses membuatnya tersenyum. Satu-satunya alasan yang membuatnya betah merahasiakan identitasnya memang Violita. Hatinya jadi berbunga-bunga karenanya. Rasa lelah luar biasa dari kesibukannya bekerja juga seolah hilang seketika hanya karena ia melihat Violita. Namun ketika ia tak sengaja menoleh ke samping belakangnya, ia tak sengaja melihat seorang pria memakai batik lengan pendek, dan juga memakai kacamata. “Kayak kenal, tapi siapa, ya? Mmm, Fathan, kan?” pikir Daniel. “Siap, Dan? Gantung!” seru pria di atas dan memberi arahan. Meski masih menerka-nerka alasan Fathan di sana, Daniel segera menggantungkan satu ember berisi bahan cor yang ia bawa. “Mungkin si Athan kebetulan lewat dan memang ada urusan di sekitar sini,” pikir Daniel yang langsung tersentak atas teriakan dari rekan-rekannya. Semuanya meneriakkan nama Daniel, tapi Daniel sendiri bingung apa maksudnya. “Druuuubbbbbb!” Dunia Daniel mendadak gelap sekaligus sunyi setelah puluhan batako menjatuhinya. Dinding yang baru setengah jadi dan terbilang tinggi di kanan kiri Daniel, mendadak ambruk. Itu ulah kedua orang utusan Fathan. “Kenapa?” “Ada apa? Ada apa?” Suasana mendadak riuh. Semua pekerja termasuk yang membuat dinding termasuk sebagian cor-coran runtuh, berbondong-bondong menyelamatkan Daniel. “Kok rame, ya? Ya ampun ada yang jatuh apa bagaimana?” pikir Violita yang akhirnya sampai. Ia membawa kantong keresek berisi bekal makan lengkap dengan sebotol air minum untuk sang suami. Pagi tadi, Daniel sangat suka dan sampai ketagihan makan dengan ikan asin. Karenanya, kali ini Violita berinisiatif datang untuk kembali menemani sang suami makan layaknya kemarin. Hanya saja, kenyataan sosok yang menjadi korban kecelakaan justru suaminya, benar-benar membuat Violita tercengang. “Maaaaaas!” Violita refleks menjatuhkan bekal di tangan kanannya. Ia berlari menghampiri sang suami yang sudah diangkat oleh beberapa kuli bangunan. Selain kedua mata Daniel yang terpejam, beberapa bagian tubuh khususnya wajah juga sampai berdarah. “Ya Allah, ... ini apa lagi?” batin Violita tersedu-sedu tak tahan melihat keadaan sang suami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN