Bab 2. Obsesi dan Jebakan
Sebuah tangan berkuku cukup panjang dengan polesan kuteks pink salem sibuk menulis di buku catatan.
[Aku benci Violita. Semoga Violita cepat mati! Dasar wanita tidak tahu diri! Aku benar-benar harus mnyingkirkannya!]
[Harusnya aku yang menikah dengan Fathan. Harusnya aku yang dicintai Fathan! Malam ini juga aku akan menciptakan sebuah kejaiban. Bagaimanapun caranya, aku benar-benar akan membunuh Violita!]
Wanita muda yang tengah meluapkan emosinya tersebut merupakan Rindu. Setelah beres menulis, ia yang memakai piyama lengan pendek bahan satin warna merah cabai, menyimpannya di laci meja. Namun, di meja belajar dirinya menyimpan buku catatan warna merah muda, di sana ada sebuah pisau yang sangat tajam.
“Sudah sepi, dan harusnya sudah enggak ada orang rewang!” yakin Rindu mantap dengan keputusannya membunuh Violita dan notabene merupakan kakak tirinya.
Di luar kamar Rindu, Violita tengah melangkah menuju pintu rumah bagian depan. “Semoga pembukaannya sudah sempurna. Karena besok aku harus fokus ke pernikahanku. Mulai subuh besok saja, aku sudah sibuk rias.”
Bagi Violita, harusnya calon pasiennya juga tahu mengenai pernikahannya. Karena tenda hajatan lengkap dengan pelaminan untuknya dan calon suami, sudah sangat siap di depan rumah orang tuanya. Namun ketika Violita membuka pintu, ceritanya benar-benar lain.
“Astagfirullahaladzim!” teriak Violita terbilang keras dan sampai ke Rindu yang baru akan keluar dari kamar.
“T—tolong!” Hanya kata lemah terdengar sangat berat tersebut yang keluar dari bibir Daniel.
Tubuh Daniel ambruk, hingga Violita yang refleks lari mencoba menahannya berakhir terbanting. Karena memang, selain tenaga sang bidan yang tak seberapa, tubuh pria penuh luka khas kecelakaan fatal itu sangat tegap nan kekar.
“Innalilahi …,” lirih Violita tak bisa berkata-kata. Tubuhnya terasa remuk hanya karena keputusannya.
Tak jauh dari Violita, Rindu yang menyembunyikan pisau di tangan kanannya jadi kepo. “Itu ada apa, ya?”
Namun sekitar lima menit kemudian, Rindu yang penampilannya sangat bertolak belakang dengan Violita, sudah sibuk meracik teh manis di dapur. Rindu membubuhkan obat tidur di kedua gelas berisi teh manisnya yang ia serahkan ke Violita maupun Daniel.
“Akhirnya, … aku enggak perlu benar-benar mengotori kedua tanganku dengan darah Violita. Cukup menjebak mereka dengan obat tidur dosis tinggi, aku bisa bikin keduanya tidur bersama. Sementara besok dan menjadi hari pernikahan Violita, aku pastikan justru akan menjadi hari kiamatnya dia!” batin Rindu yang meminta Violita meminum teh manis hangat buatannya lebih dulu.
“Kamu sudah telepon pak Teguh buat antar Mbai ke RS, Kan? Lukanya terlalu parah dan Mbak hanya bisa kasih bantuan sebisa Mbak!” sergah Violita yang sudah memasang infus ke Daniel.
“S—sudah … sudah, Mbak! Mbak tenang saja karena pak Teguhnya langsung ke sini!” yakin Rindu yang tentu saja bagian dari rencana liciknya hanya karena ia begitu terobsesi memiliki Fathan—calon suami sang kakak tirinya.
“Sudah, Mbak … tenang dulu. Diminum dulu tehnya biar Mbak ada tenaga buat urus pasien Mbak ini!” lembut Rindu sungguh sangat pandai bersandiwara. Ini menjadi bujukan kelimanya karena Violita tak kunjung melakukannya dan malah sibuk mengobati luka luar Daniel.
Terlepas dari semuanya, Rindu juga terus menyuapi Daniel teh manis buatannya menggunakan sendok. Sementara Violita yang tak mau mengecewakan sang adik juga sengaja meminum tehnya. Keadaan terlalu panik karena sangat khawatir mmebuat Violita langsing meminum tuntas isi gelasnya.
“Masya Allah Mbak Violita si paling alim … setelah ini, riwayatmu sebagai muslimah taat benar-benar tamat!” batin Rindu diam-diam mengawasi dan tak bisa untuk tidak senyum-senyum sendiri. Gadis berusia dua puluh tahun itu merasa sangat bahagia sekaligus menang. Karena kenyataan Violita yang sampai meminum habis tehnya, bisa dipastikan rencananya akan berhasil.
“Lukanya separah ini ya Allah. Sepertinya dia habis berendam atau malah terendam dalam waktu lama. Sampai melar gini kulitnya. Terus luka sayatnya juga dalam parah banget,” pikir Violita masih aktif membersihkan setiap luka Daniel menggunakan cairan infus.
Tak peduli meski ia sama sekali belum mengetahui identitas Daniel. Violita tetap menjalankan tugasnya sebagai pekerja di bidang medis semaksimal mungkin. Namun tak lama kemudian, Violita merasa sangat mengantuk. Rasa ngantuk dan bagi Violita sangat tidak wajar karena sama sekali tidak bisa ditolerasi.
Senyum puas menghiasi wajah seorang Rindu tak lama setelah sang kakak tiri terjatuh di lantai. Kedua mata Violita terpejam damai. Rindu berpikir, keadaan itu terjadi lantaran dosis obat tidur yang ia taruh di tehnya sangat tinggi. Sedangkan ketika ia melihat wajah Daniel, pria itu juga sudah tak merespons. Kedua mata Daniel tak kalah terpejam damai dari Violita.
••••
Waktu terasa berputar sangat cepat tak lama setelah Rindu berhasil menjebak Violita dan Daniel. Dibantu ibu Rianty sang mama, Rindu melakukannya. Sementara kini, di pagi yang harusnya menjadi hari pernikahan Violita dan Fathan, semuanya benar-benar sudah seperti rencana. Di dalam kamar Violita, baik Violita maupun si pria penuh luka tanpa identitas, masih sangat lelap. Selain itu, Rindu dan ibu Rianty juga sudah sampai melepas infus Daniel. Termasuk juga pakaian bahkan cadar yang selama satu tahun terakhir melindungi aurat Violita. Baik Violita maupun Daniel hanya dimodali selimut sama untuk menutupi tubuh mereka yang terbaring tidur di ranjang milik Violita.
“Mas Fathan beneran bukan yang di dalam? Aku pikir Mas ada di dalam kamar mbak Lita. Makanya aku minta ibu buat pastiin ke Mas. Terus kalau memang bukan Mas yang di dalam kamar mbak Lita—” Rindu yang masih bersandiwara, kali ini pura-pura khawatir. Namun, ia yang berbicara saja sengaja berbisik-bisik seolah apa yang ia katakan sangat rahasia, refleks diam. Ia sengaja tak melanjutkan ucapannya tak lama setelah Fathan menahannya.
“Maksudnya bagaimana, Ndu? Siapa yang di dalam kamar Lita?!” sergah Fathan yang memang memiliki tempramen tinggi.
Selain diketahui sangat mencintai Violita, Fathan yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit ternama kota kecil mereka berada juga terkenal sangat posesif kepada Violita. Alasan kuat Violita sampai bercadar juga karena tuntutan Fathan yang tak mau berbagi Violita dengan laki-laki mana pun bahkan sekadar tatapan. Kenyataan tersebut terjadi tak lama sebelum Fathan melamar Violita.
“Nah, … nah, … sudah langsung marah!” batin Rindu kegirangan bukan main. Namun, ia tetap bersandiwara seolah dirinya sangat khawatir sekaligus iba kepada nasib Fathan. Karena dengan kata lain, Fathan akan menjadi korban akibat kelakuan Rindu menjebak Violita dan Daniel.
“Semalam ada satu jaman, dari dalam kamar mbak Lita rame banget, Mas. Nah, ramenya ini rame desahan. Itu suara mbak Lita sama laki-laki. Ya sibuk mendesah, ngobrol cekikikan, tempat tidurnya juga rame bunyi krekat-kreket. Ya … ya aku dan ibu pikir, itu mbak Lita lagi gituan sama Mas.”
“Untung tetangga yang rewang sudah pada pulang dan ini baru pada datang lagi. Sejam itu, aku sama ibu sampai panas … dingin,” ucap Rindu sengaja makin lirih karena sadar, Fathan yang merupakan anak kades sekaligus juragan tanah di desa kecil mereka tinggal sudah masuk ke dalam perangkapnya.
Fathan yang terlihat sangat emosi, sengaja mendobrak kamar calon istrinya. Dadanya bergemuruh parah. Darahnya seolah langsung didihkan. Karena jangankan dengar kabar Violita dengan laki-laki lain dan itu malah main gila di ranjang, sekadar tahu ada yang menatap Violita berlebihan saja, ia tidak terima.
“Bajjjinggan! Masa iya Lita tega mengkhianatiku bahkan harusnya, hari ini menjadi hari pernikahan kita, Ta!” batin Fathan benar-benar kacau.
Tetangga sekaligus saudara yang ada untuk rewang atau bantu-bantu hajatan, terusik oleh kelakuan Fathan. Mereka beranjak mendekat untuk memastikan. Termasuk juga, ibu Rianty yang sampai menggandeng pak Nendar sang suami—ayah kandung Violita.
“Braaaggggggggg!!” Di dobrakan ke sembilan yang Fathan lakukan, akhirnya pintu kamar Violita terbuka.
Jerit histeris dari ibu Rianty mengawali keriuhan di sana. Para tetangga, keluarga, dan kebanyakan wanita desawa langsung sibuk istighfar. Lain dengan Fathan yang awalnya hanya terdiam gemetaran, tapi kini sudah masuk ke dalam kamar Violita dengan langkah lebar.
Fathan menarik selimut biru yang menutupi tubuh Violita maupun Daniel. Meski di lantai kamar sekitar ranjang sana sudah dihiasi pakaian termasuk pakaian dalam Violita maupun milik Daniel yang tercecar. Fathan ingin menghakimi kedua sejoli yang tetap lelap tidur, padahal kelakuan keduanya sudah mengguncang emosi penghuni rumah.