Rifat mengajakku masuk ke dalam duduk di sofa sudut ruangannya namun aku hanya diam sampai Rifat datang memberikan minuman dan menatapku lembut, aku hanya menunduk mendapatkan tatapan seperti ini sambil memainkan gelas yang ada ditangan. Aku bingung harus berbicara apa karena datang kemari datang begitu saja setelah Bima memelukku dan bayang-bayang Rifat tiba-tiba hadir.
"Ada apa? bukankah sekarang Pak Wijaya dan keluarga menyambut bayi kecilnya? kamu ada disini apa mereka gak cari kamu?" tanya Rifat memecahkan keheningan kami berdua.
Aku menghembuskan nafas dan menatap Rifat langsung "aku ingin memastikan bagaimana perasaanku dan mengenai mereka semua tenang saja aku sudah ijin pada Tina"
"Perasaan?" tanya Rifat dan aku mengangguk "ah Pak Bima" aku hanya bisa diam "lalu? bukannya aku meminta untuk meninggalkan dia? dan ini jawabannya?"
"Aku belum tahu tapi melihat keluarga Mas Bima rasanya aku jahat menghancurkannya" aku menyandarkan diri di sofa "tapi aku ketagihan dengan sentuhannya" aku memejamkan mata ketika mengatakan hal tersebut
"Bagaimana dengan sentuhanku?" tanya Rifat mendekatiku dan menarikku duduk di pangkuannya "apa kamu tidak ketagihan?" tangan Rifat membuka kancing bajuku
"Ahhhh" erangku ketika tangan Rifat mencubit pentilku dengan perlahan
"Semua keputusan ada di kamu" ucap Rifat sambil menatapku tanpa melepaskan tangannya di payudaraku.
"Apa tujuanmu mendekatiku?" tanyaku langsung menatap kedua matanya
"Tidak penting itu semua yang terpenting kamu menikmati sentuhanku dan meninggalkan dia" jawab Rifat
Didekatkannya payudaraku dan langsung dikulum, aku hanya bisa meremas rambut Rifat. Digigitnya pentilku membuatku mengerang secara keras, Rifat menatap wajahku yang sudah dibawa nafsu atas apa yang dilakukannya baru saja.
"Apakah kamu punya pacar atau apapun itu namanya?" tanyaku yang masih menatap Rifat
Rifat tidak menjawab hanya menarik daguku dan mencium bibirku dengan lidahnya memaksa untuk masuk kedalam. Kami saling berciuman mencecapi rasa masing-masing, Rifat menatapku setelah ciuman kami
"Apakah itu penting? dia yang punya keluarga saja bisa kamu masukin jadi statusku tidak terlalu penting" jawab Rifat "kamu akan tetap selamanya menjadi jalang" bisik Rifat “bahkan dengan hal kecil ini saja kamu sudah tidak bisa menahannya”
"Akhhhh" ketika jari Rifat masuk dalam vagina
"Memohonlah" ucap Rifat memprcepat gerakan jari di vagina
"Ahhhh" desahku terus menerus "ahhhhhh please masukkan penismu akhhhh"
Rifat menurunkanku dari pangkuan menyuruhku menungging di dekat kaca besar, aku berpegangan pada pinggiran kaca. Dari sini aku bisa melihat p***s Rifat dan dalam satu kali hentakan p***s itu masuk kedalam v****a, Rifat menggerakkanya dengan keras seakan aku adalah pelampiasannya. Dari kaca aku dapat melihat bagaimana Rifat menatapku dengan nafsu ketika menghentakkan penisnya semakin masuk kedalam
"Ini bukan yang kamu suka dari dia kasar dan keras?" Rifat menatapku dari kaca "kamu seksi sekali" sambil melepaskan pakaianku "kamu memang jalang tapi jalang mahal dan aku menyukainya”
"Aww" ketika Rifat memukul pantatku dengan keras "ahhh Rifat"
"Panggil namaku sayang" ucap Rifat "sial v****a kamu memang enak pantas dia ketagihan oughhhh"
"Ahhhh Rifat" ketika tusukannya semakin dalam dan cepat "ougghhh"
"Suka?" Rifat menatapku lewat cermin tiba-tiba mencubit pentilku
"Ahhhh ya suka" ucapku menahan semua perasaan "akkhhhh aku mau keluar"
"Bersama" ucap Rifat
Gerakan semakin cepat dan dapat kurasakan p***s Rifat mulai berkedut di dalam tidak lama kemudian aku merasakan penisnya menyemprot beberapa kali di dalam diikuti dengan cairanku yang keluar. Rifat langsung mengeluarkan penisnya yang sudah mulai lemas, mengajakku duduk di pangkuannya membuatku meletakkan kepala di dadanya yang langsung dibelai lembut oleh Rifat dan aku menyukai perlakuan dia seperti ini.
"Kedatanganmu kesini bolehkah aku berharap jika kamu menjawab pertanyaanku kapan lalu?" aku hanya diam "atau kita hanya sebatas ini?" aku menatap bingung "hanya seks alias pemuas nafsu sama seperti dia" aku diam kembali "sudahlah aku ikut mau kamu bagaimana setidaknya aku tidak rugi karena menikmati tubuhmu secara gratis tanpa perlu membayar jalang, bersihkan dirimu aku antar pulang"
Aku menatap Rifat dengan emosi "jaga ucapan kamu" ucapku langsung ingin rasanya aku menampar tapi aku tidak bisa melakukannya
Rifat menatapku santai "lalu apa arti dirimu disini?" sekali lagi aku hanya diam "sudahlah kamu tidak akan bisa menjawab" Rifat menurunkanku dari pangkuannya "bersihkan dirimu dan aku antar pulang"
Aku menahan tangan Rifat yang akan berdiri "apa kamu bisa membebaskan aku dari dia?" Rifat menatapku dalam diam "jika ya mari kita menikah" Rifat terkejut dengan perkataanku "atau mau kita pacaran dulu?"
"Bersihkan dirimu dan aku antar pulang" ucap Rifat meninggalkanku ke kamar mandi
Aku menatap diriku di cermin dimana tampak menyedihkan kenapa aku bisa tergoda melakukan hubungan ini dengan mereka berdua. Mama, Tina bahkan Tania selalu menasehatiku agar tidak dengan mudah menyerahkan harta ini pada pria yang bukan suami dan aku melanggar semua nasehat mereka, ingin rasanya aku menangis jika perbuatanku ini akan menyakiiti papa nantinya karena bagaimanapun aku adalah contoh untuk Tari.
Keputusanku bersama Rifat apakah sudah benar atau tidak, aku rasa keputusan tadi mungkin terbawa suasana. Apakah aku harus seperti Tari yang mengasingkan diri dari dunia luar terlebih dahulu sebelum memutuskan mengenai diriku, aku rasa jika aku melakukan itu papa akan menyetujuinya dengan cepat.
"Kamu belum membersihkan diri?" tanya Rifat memecahkan lamunanku "ah ya maaf sebentar handuknya" Rifat berjalan mengambil handuk memberikan padaku
Dalam perjalanan tidak ada yang memulai pembicaraan sama sekali dan kami hanya ditemani oleh musik yang diputar Rifat. Rifat mengantarkan sampai rumah, aku tidak melihat mobil Bima yang berarti bahwa sudah pulang
"Mau aku turun?" tanya Rifat ketika aku tak segera turun "mungkin lain kali saja secara ini momen kelahiran adik kamu"
Aku menatap Rifat "mungkin lain kali bisa kesini lagi"
Rifat mengangguk "untuk melamarmu setelah kamu yakin dengan perasaanmu" aku hanya diam "sampaikan salam buat Pak Wijaya dan Bu Tania" aku mengangguk
Aku segera masuk kedalam dimana sudah mulai sepi, aku yakin jika Devan dan keluarga kecilnya ada di kamar sedangkan papa dan keluarga barunya sibuk dengan bayi tersebut
"Sudah pulang?" tanya Tania melihatku "perlu sama papa?" aku menggelengkan kepala "ada yang mau dibicarakan denganku?" aku mengangguk "bicaralah" sambil berjalan ke salah satu sofa “begini rasanya punya bayi walaupun belum 24 jam tapi menyenangkan” Tania menceritakan dengan bersinar lalu menatapku lembut.
Aku hanya diam menatap Tania "bisakah aku ke Bali?" tatapan Tania berubah menjadi dengan tatapan menyelidik "aku tiba-tiba kangen Bu Kadek dan Pak Putu"
Tania tersenyum "jika pergi kesana untuk menenangkan diri gak masalah tapi untuk melarikan diri atau telah membuat kekacauan maka aku akan menentang tanpa perlu repot-repot bicara dengan papa" menyentuh jemariku "jika terjadi sesuatu kamu harus langsung pulang” aku mengangguk “nanti aku yang bilang sama papa dan kapan akan berangkat?” aku diam “baiklah kabari jika sudah siap” aku mengangguk dengan semangat.
Tania memang paling bisa diandalkan termasuk mengatur jadwal kerja papa, selanjutnya pembicaraan kami bercerita mengenai proses lahirnya Lucas
"Wajah Lucas itu kaya papamu dan aku hanya penitipan selama 9 bulan ini" meninggalkanku dengan menahan senyum "pergilah jika ingin dan mengenai papa nanti aku yang akan menjelaskan" ucap Tania sekali lagi sebelum meninggalkanku dan aku mengangguk paham