Di sinilah saat ini aku berada cafe depan perusahaan mertua Tania, aku melihat mertua Tania masuk ke dalam cafe. Soni nama mertua Tania tenang saja dia tidak mengetahui bahkan mengenal diriku, dari raut wajahnya tampak kelelahan aku sedikit tahu apa yang dialami mereka tapi aku tidak peduli. Soni duduk sendirian di tempat pojok sambil membaca yang ada di ipadnya, aku menatapnya dengan berbagai pikiran dan rencana agar bisa mendekatinya secara perlahan aku berdiri merapikan pakaian berjalan ke arahnya sepelan mungkin agar tidak berpikir bahwa sengaja mendatanginya.
"Hi boleh gabung?" tanyaku sedangkan Soni menatapku dengan bingung namun aku tidak peduli dengan segera duduk sebelah Soni "om tegang sekali" bisikku.
"Siapa kamu?" tanya Soni menatapku tajam dengan menahan emosinya namun aku tidak mempedulikan sikapnya tersebut karena aku membutuhkannya untuk melampiaskan nafsu.
Aku tersenyum "Nofi yang siap menemani hari-hari om" sambil mengedipkan mata.
Soni memberi jarak antara kami "aku gak kenal kamu siapa jadi pergilah banyak yang harus aku pikirkan" sambil mengusirku tapi aku malah mendekatinya membuat Soni terpojok.
Aku meraba paha Soni membuat Soni semakin tidak enak ketika duduk dapat kulihat celananya sudah ada yang muncul dan dapat kupastikan jika penisnya sudah tegang akibat sentuhanku secara perlahan aku menyentuh celananya yang terdapat tonjolan p***s itu dapat aku rasakan Soni menahan nafas atas apa yang aku lakukan, aku menatap Soni yang memejamkan mata menikmati apa yang aku rasakan. Semua pria sama saja mudah tergoda oleh wanita batinku sebal.
"Pergilah" ucap Soni sekali lagi dengan memegang tanganku yang berada di celananya.
Aku menunjukkan wajah sedih "padahal aku ingin membantu om."
"Aku tidak butuh bantuanmu" ucap Soni langsung namun tidak sesuai dengan apa yang dilakukan karena tangan Soni masih memegang tanganku yang berada di atas celananya tersebut.
Aku langsung mengelus p***s Soni membuatnya terkejut tapi membiarkan tindakanku "om sudah berapa lama tidak main sama tante?" Soni hanya diam menikmati pijatan di penisnya "aku bisa menghangatkan om bahkan melebihi tante" bisikku dengan memberikan ciuman singkat di pipi Soni.
"Ehhhh" desah Soni "dimana?" Soni pasrah dan tetap menikmati sentuhanku dapat aku lihat jika menahan gairah.
Aku menuliskan no ponselku yang lain dan apartemen yang baru aku sewa sebelum berada disini "aku tunggu" sambil mencium pipi Soni sekilas sebelum meninggalkannya.
Aku melangkah keluar menuju taxi yang akan mengantarkanku ke rumah karena Tari menungguku dan katanya ada kejutan yang menanti diriku di rumah membuatku tidak sabar untuk segera sampai rumah, dalam perjalanan aku berpikir apakah tindakanku sudah benar atau tidak tapi aku ingin membuktikan mengenai tindakanku pada Bima selama ini.
Kondisi rumah yang sepi membuatku curiga kejutan apa yang akan diberikan Tari dengan segera aku masuk ke dalam yang disambut oleh bibi pengurus rumah saat ini, ingin rasanya aku bertanya tapi aku tahan karena nantinya bukan menjadi kejutan. Aku melangkah ke dapur di mana ada Tari dan Mbak Tina sedang asyik bicara.
"Kejutan apa?" tanyaku langsung pada Tari membuat Mbak Tina menatapku.
Tari tersenyum menatapku membuatku semakin berpikir negatif bukan karena apa tapi Tari memang selalu mencurigakan semenjak dekat dengan tetangga Tania dan juga pria tidak jelas itu, aku jadi penasaran sebenarnya Tari ini masih perawan atau sama seperti diriku ini dan aku berharap Tari tidak mengikuti jejakku ini karena nanti kasihan mama dan papa.
"Papa datang" ucap Tari senang sambil mengajakku ke ruang makan kami semua dengan membawa minuman yang entah sejak kapan dipegang.
Tidak lama aku melihat papa berjalan ke arah kami membuatku langsung memeluknya erat dan menatap sekitar mencari keberadaan Tania yang ternyata ada di belakang papa dengan perut yang sudah terlihat membesar, aku memeluk Tania sekilas karena takut menyakiti bayinya dan mencium pipi Tania yang dibalas dengan ciuman pipi untukku. Tania bukan seperti mama tiri untuk kami melainkan sebagai teman dengan hadirnya Tania membuat papa bisa semangat dan muda kembali seperti dulu bersama mama, bahkan cara berpikir Tania hampir sama seperti mama.
"Wow ada angin apa ini" godaku duduk di meja makan menatap mereka berdua “bukannya kalian lebih suka disana daripada sini?.”
"Tania kangen sama kalian" jawab papa yang memangku Tania membuatku iri dan langsung mendapatkan cubitan dari Tania "aku bilang sebenarnya" rengek papa menatap Tania dengan penuh cinta.
"Bagaimana kehamilannya?" tanyaku mengalihkan perhatian agar tidak terjadi drama tidak penting.
"Sehat dan baik" jawab Tania sambil tersenyum menatapku "dan kata dokter laki-laki."
"Selamat" aku memeluk Tania sekilas karena ada papa diantara kami ketika aku memeluk Tania “anak papa pertama selalu laki-laki ya” godaku
Papa menepuk dadanya pelan “harus itu supaya bisa melindungi adik-adiknya” menatap kami bertiga “tapi anak perempuan juga bagus Tina jadi jangan berkecil hati” papa menatap Mbak Tina dengan tidak enak membuat kami tersenyum.
“Santai aja gak usah takut aku tersakiti, pa” ucap Mbak Tina dengan tersenyum.
Kami membicarakan pernikahan mereka berdua karena sesuai permintaan mama agar mereka segera menikah serta dana untuk pernikahan mereka berdua sudah disiapkan mama dan diserahkan pada Kak Devan namun karena kondisi Tania belum memungkinkan mereka tetap akan menikah di Bali beberapa hari lagi.
"Papa kapan masuk?" tanyaku menatap papa.
"Papa atau Mas Bima?" goda Kak Devan yang tiba-tiba datang seketika aku melotot menatapnya karena aku gak mau papa khawatir.
"Bima masih suami orang jangan macam-macam" papa menatapku tajam "papa gak mau terjadi sesuatu diantara kalian berdua bagaimanapun kalian orang yang papa sayangi"
Aku menghembuskan nafas "kenapa bahas aku? lagian disini bintangnya Mbak Tania" aku mencoba mengalihkan perhatian dan menatap Tania meminta bantuan.
"Biasakan panggil mami bukan mbak" tegur papa entah sudah berapa kali karena kami memanggilnya mbak.
"Gak papa lagi panggil mbak kalau dipanggil mami aneh kesannya kaya aku main sama om-om" ucap Tania mengedipkan mata kami semua membuat kami tersenyum.
Papa cemberut "ya gimana juga kamu akan jadi istriku masa manggil kamu mbak sedangkan aku papa gak bagus itu" papa menatap Tania sedih “papa berasa p*****l tahu gak sih” dengan memberikan ekspresi sedihnya membuat kami saling menatap satu dengan lain.
"Ya nanti kalau si baby lahir kita panggil mami" ucap Tina yang membantu bibi menata makanan berusaha melerai kami semua agar drama tidak berlanjut.
Kami makan dalam keadaan kumpul semua, aku menatap mereka satu persatu dimana saling mencintai lalu kapan aku mendapatkan pasangan yang mencintaiku bukan hanya pemuas nafsu, seketika aku memikirkan perkataan papa ya aku tahu jika dia menyayangi kami berdua tapi sampai detik ini aku masih membutuhkan sentuhannya lalu apakah tanpa kami sadari cinta sudah hadir dalam diri kami berdua dan apa yang harus aku lakukan dengan semua ini terutama pada pernikahannya yang masih berjalan.