"Besok pagi, kutunggu kau di sini." Jordan berbisik di telinga Jeremia. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya.
Mereka berada di tempat parkir yang berada tak jauh dari makam, Jeremia memarkirkan mobilnya di sini. Banyak kendaraan roda empat terparkir di tempat ini tak hanya mobil Jeremia saja, tempat parkir ini memang bukan khusus untuk sebuah tempat saja, melainkan untuk semua yang berada di kawasan ini radius lima ratus meter. Tempat parkir ini memiliki luas lebih dari seratus meter persegi.
Jeremia mengangguk. "Sampai besok!" Dia tersenyum canggung.
Entah kenapa, suasana berubah dalam sekejap. Tadi mereka biasa-biasa saja, sama seperti yang lainnya. Sekarang, menjadi sedikit berbeda. Sampai Jordan menarik tubuh mungil Jeremia ke dalam pelukannya. Ia menurunkan wajahnya, menjatuhkan bibirnya di atas bibir mungil yang dirindukannya.
Jeremia menegang. Ciuman setelah lebih dari dua belas tahun? Rasanya seperti saat pertana kali Jordan menciumnya. Dia memang tak pernah melupakan rasanya, hanya Jordan yang pernah menciumnya sepanas itu. Namun, kali ini rasanya sedikit berbeda. Jordan tidak menggerakkan bibirnya, hanya menempelkan selama beberapa detik, dan ketika bibir itu bergerak Jeremia nyaris tidak dapat menahan air matanya.
Dua bulir bening merembes dari matanya yang terpejam. Jeremia perlahan menggerakkan bibirnya, membalas ciuman Jordan. Gerakannya lembut dan pelan, berbeda dari Jordan yang menggebu. Pria itu menyesap bibirnya, melumatnya rakus, dan menjilatinya, meminta akses untuk memasuki mulutnya.
Indra pengecap Jordan langsung menerobos masuk begitu mendapatkan akses yang diinginkannya. Mengobrak-abrik isi mulut hangat itu, mengabsen semua yang ada di sana. Jordan menggeram, rasa dari bibir dan mulut Jeremia tak berubah, tetap manis dan hangat seperti dulu. Rasa yang sangat dirindukannya.
Satu erangan tertahan lolos dari mulut Jeremia, indra pengecap Jordan masih memenuhi rongga mulutnya, bergerak dengan erotis membelai lidahnya, membuatnya tidak bisa menolak untuk membalasnya. Jeremia terengah, Jordan menarik tengkuknya, memperdalam ciuman mereka.
Udara di sekitar mereka semakin panas, semakin menipis. Jordan masih menciuminya sejak beberapa menit yang lalu, bibir pria itu seperti lintah yang mengisap dan menyedot bibirnya tanpa henti, tak peduli dengan persediaan oksigen di paru-paru mereka yang semakin menipis. Jeremia merasa dadanya panas seakan terbakar. Paru-parunya membutuhkan udara.
Satu dorongan dirasakan Jordan di bahunya. Ia membuatkan, mulut dan bibirnya masih menguasai bibir dan mulut Jeremia. Ia tak ingin melepaskannya, terlalu rindu pada wanita yang sekarang menggeliat dalam pelukannya. Jordan menyerah beberapa detik kemudian, dengan tak rela ia melepaskan bibir Jeremia. Bibir mungil itu terlihat bengkak dan mengilap, basah oleh air liurnya.
Jordan mengusapnya menggunakan ibu jari, kemudian mengecupnya sekali lagi. "Astaga, bisakah aku menciummu lagi?" tanyanya dengan wajah memelas. Ia benar-benar ingin menyentuh bibir itu lagi.
Jeremia mendelik tajam. "Kau ingin membunuhku?" Dia balas bertanya, tatapannya mengancam.
Jordan meneguk ludah susah payah. Jeremia benar-benar tidak berubah, tetap galak di balik sikap manis dan lembutnya yang memesona. "Maafkan aku, tetapi sejak dulu bibirmu selalu membuatku candu." Ia meringis.
Jeremia membuang muka di detik merasakan pipinya memanas. Dia menatap Jordan, memutar bola mata jengah, berpura-pura tidak merespons apa yang dikatakannya barusan.
"Sudahlah!" Jeremia mengibaskan tangan. "Ayo, naik, kuantarkan kau pulang!" Dia membuka pintu mobilnya. "Ataukah kau membawa mobil sendiri?" tanyanya sebelum masuk. Dia berdiri di antara pintu mobil yang tebuka.
Jordan menggeleng. "Aku tidak bisa menyetir lagi," akunya jujur dengan syara bergetar.
Mendengarnya, Jeremia urung memasuki mobilnya. Dia memutar tubuh, kembali berhadapan dengan Jordan, menatapnya dengan alis berkerut.
"Aku ...." Jeda. Jordan mengusap wajah kasar. "Kata dokter yang menerimaku, aku mengalami trauma. Oleh sebab itu, aku tidak bisa mengendarai mobil sendiri sampai sekarang."
Jeremia langsung memeluknya. "Maafkan aku," bisiknya. Dia mendongak menatap Jordan. "Aku lupa akan kemungkinan itu."
Jordan menggeleng lagi. "Tidak apa-apa," sahutnya berbisik juga. "Aku yakin traumaku akan segera sembuh setelah bertemu denganmu."
Ia tersenyum, membingkai wajah cantik yang juga tersenyum, sedetik kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Hanya sebuah ciuman kecil, tanpa lumatan apalagi sesapan yang membuat tubuh memanas. Jordan melepaskan bibir Jeremia setelah menjalarkan indra pengecapnya beberapa saat di sana.
"Apa kau pulang jalan kaki?" tanya Jeremia terengah. Ciuman sekejap saja sudah membuat napasnya putus-putus. Sangat menyebalkan.
Jordan menggeleng. "Aku naik taksi," ringisnya.
Mata biru Jeremia melebar. "Jika begitu, biar aku saja yang mengantarkanmu pulang!"
Jeremia melepaskan diri dari pelukan Jordan, menarik tangan pria itu mengitari separuh bagian mobilnya. Dengan sebelah tangannya yang bebas Jeremia membuka pintu mobil, mempersilakan Jordan masuk dengan menaikkan kedua alisnya sedetik.
"Tidak perlu, biar alu naik taksi saja!" tolak Jordan halus, ia menggeleng.
Jeremia memicing. "Apa katamu?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. "Apa kau tahu penolakanmu itu membuatku tersinggung?" Dia melipat tangan di depan d**a. Sikapnya menantang.
"Tidak, bukan seperti itu!" Jordan menggeleng dengan cepat. Panik. "Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu, aku hanya tidak ingin merepotkan...."
"Astaga, kau memang benar-benar sangat menyebalkan!" Jeremia berdecak, matanya mendelik. Jordan bertingkah seperti saat dia masih belum tahu jika pria itu adalah keturunan keluarga Collins. Jordan selalu menolak untuk diantarkannya, lebih memilih menaiki sepedanya atau berjalan kaki bersama teman-teman tim basketnya. "Aku akan mengadukan sikapmu pada Tim!" ancamnya dengan mata menyipit.
Tim adalah salah satu sahabat Jordan. Mereka sangat akrab, Jordan pernah tinggal di rumahnya beberapa waktu saat flat yang disewanya terbakar. Well, bukan terbakar, tetapi dibakar oleh orang-orang suruhan Rayden Jackson. Pria mantan pengacara papanya yang sampai sekarang masih mendekam di balik jeruji besi.
"Tim!" ulang Jordan. Rasanya ia pernah mendengar nama itu, juga merasa pernah dekat, tetapi ia tidak bisa mengingatnya.
Baru satu bulan ini seluruh ingatannya kembali, dan yang diingatnya satu-satunya hanyalah Jeremia, sementara yang lain masih belum bisa diingatnya. Bahkan kedua orang tuanya juga baru beberapa hari ini ia mengingatnya.
Jeremia mengangguk. "Salah satu sahabatmu yang paling terpukul dengan kepergianmu." Jeremia menarik napas panjang, mengembuskannya dengan pelan. "Tim terkadang masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padamu."
Jordan memejamkan mata, berusaha menggali ingatannya tentang Tim. Namun, ia tidak menemukannya. Ingatan tentang pria yang disebutkan Jeremia namanya seolah terkubur dalam. Mungkin ia akan mengingatnya jika mereka bertemu.
Jordan menggeleng, membuka matanya perlahan. "Aku masih belum bisa mengingatnya," katanya lirih. "Maafkan aku."
"Tidak apa-apa." Jeremia tersenyum. "Kita akan menemuinya besok. Kuharap Tim tidak sibuk dengan urusan pribadinya bersama Catherine. Kau harus mengingat mereka, mereka lebih gila daripada kau!" Dia terkekeh.
"Astaga, kau membuatku penasaran saja!" Jordan berdecak. "Aku tidak sabar bertemu mereka!"
"Besok!" Jeremia tertawa. Dia ingin kembali berbicara, tetapi urung karena ponselnya berdering. Cepat dia mengambilnya dari dasbor mobil, segera menggulir ikon gagang telepon berwarna hijau ke samping kanan untuk menjawab panggilan.
Papanya menghubungi. Pasti karena dia belum pulang sampai sekarang. Beberapa menit lagi jam makan malam, dan dia masih belum pulang ke rumah, masih berada di luar dalam jarak puluhan kilometer.
"Iya, Papa?" Sapaan Jeremia berupa pertanyaan setelah menempelkan ponsel ke telinganya.
"Kapan kau akan pulang? Bukankah kau ingin makan malam bersama Papa?"
Jeremia meringis. "Aku akan pulang sekarang. Sampai nanti di rumah, Papa!" Dia mengakhiri panggilan, menyimpan kembali ponselnya di tempat semula. "Alu harus pulang sekarang," katanya menatap Jordan.
Pria itu mengangguk. "Sampai besok!" katanya tersenyum manis.
Jeremia langsung masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, dan melambai pada Jordan sebelum meninggalkan tempat parkir itu.
Jordan membalas lambaian tangannya. Mengembuskan naas lega setelah mobil Jeremia tak lagi terlihat. Ia melangkahkan kaki menjauhi tempat parkir. Hari ini sangat mendebarkan baginya, sekaligus sangat membahagiakan. Ia kembali bertemu dengan gadisnya yang sudah menjadi wanita dewasa. Padahal rasanya hanya beberapa hari mereka tidak bertemu, Jeremia sudah dewasa saja.
Sejak ingatannya kembali, hanya Jeremia satu-satunya yang ingin ditemuinya. Wanita yang dicintainya, separuh napasnya, detak jantungnya. Tak akan dibiarkannya siapa pun lagi yang menghalangi mereka untuk bersama, sekalipun itu adalah Anne Dawson, wanita yang dinikahinya satu tahun yang lalu saat ia masih kehilangan ingatan.
Sebuah taksi singgah tepat di sampingnya setelah Jordan melambaikan tangan ke arahnya. Ia segera memasukinya, taksi kembali melaju setelah ia menyebutkan alamat tempat tinggalnya yang berada di pinggiran kota.
***
"Kau tampak sangat bahagia. Apakah ada sesuatu yang kau temui tadi sore?" Armando bertanya pada putrinya melihat senyum yang selalu menghiasi wajah cantik itu. Sedikit aneh karena tadi pagi saat ditinggalkannya ke kantor, Jeremia terlihat lelah.
Jeremia mengangguk. "Tadi aku bertemu dengan Catherine dan Tim," sahutnya.
Armando sudah mengenal kedua anak muda itu, sehingga ia juga menganggukkan kepala. Catherine dan Tim adalah pasangan, mereka sudah lama bertunangan dan menjalin hubungan, tetapi sampai sekarang masih belum memutuskan untuk mengakhiri pertunangan mereka di depan altar.
"Besok aku akan ke The Japizz lagi. Kupikir akan sarapan di sana." Jeremia melanjutkan. Tak sedikit pun dia menyinggung Jordan. Menurutnya, saat ini papanya masih belum perlu untuk mengetahui jika Jordan ternyata masih hidup. Kecelakaan itu tidak merenggut nyawanya, hanya membuatnya koma selama beberapa tahun.
Biarkan saja papanya mengira jika tulang-belulang yang terkubur di makan dengan baru nisan bertuliskan nama Jordan memang benar-benar Jordan. Masih ada orang yang lebih berhak tahu sebelum papanya, mereka adalah orang tua Jordan. Besok, dia akan memberi tahu mereka, dengan persetujuan Jordan tentunya. Dia tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendiri yang menyangkut kehidupan pria itu tanpa meminta izin. Meskipun mereka bertunangan, dia tetap tidak ingin lancang.
"Sarapan pizza?" Armando mengerutkan keningnya. "Papa pikir bukan sesuatu yang baik," katanya setelah menelan salmon asap yang berada di dalam mulutnya. "Kau harus makan menu sarapan lengkap."
"Aku selalu memakannya, Papa," sahut Jeremia tertawa. "Sekali-sekali aku ingin mencoba makanan berlemak sebagai sarapan."
"Astaga!" Armando menggelengkan kepala. "Papa harap kau rajin berolahraga setelah mengonsumsi makanan tak sehat itu."
Jeremia tertawa kecil. Sejak dulu, papanya membenci makanan cepat saji. Ah, bukan! Bukan membenci, papanya hanya tidak menyukai saja. Katanya, mereka —makanan cepat saji— jahat karena menyebabkan banyak penyakit. Papa selalu menghindarinya, tak pernah memakan mereka, baik itu sebagai makanan utama ataupun sebagai camilan.
"Jangan khawatir Papa, meskipun pekerjaanku banyak, aku selalu menyempatkan diri untuk berolahraga." Jeremia tersenyum lebar.
"Bagaimana dengan besok, apa kau mau berolahraga bersama Papa?" tanya Armando. Besok adalah hari Minggu, ia akan seharian bersama di rumah. Seperti kebiasaannya selama ini, setiap pagi di hari Minggu ia akan berolahraga lebih lama dari hari biasanya.
Jeremia menggeleng. "Maafkan aku, Papa, tetapi aku tidak bisa," kata Jeremia. Wajah cantiknya mengerut tanda menyesal. "Aku akan pergi ke makam."
"Apakah sepagi itu?" tanya Armando sambil mengusap sudut bibirnya. Ia sudah selesai makan malamnya. "Apakah tidak bisa lebih siang sedikit?"
Jeremia menggeleng lagi. "Aku ingin sedikit lebih lama berada di sana. Sudah lama aku tidak ke sana pagi-pagi."
Itu bukan sekedar alasan. Jeremia memang ingin bermandi cahaya matahari pagi di pemakaman. Tempat itu merupakan salah satu tempat terbaik untuk mendapatkan sinar matahari di pagi hari. Duku, saat masih tinggal di Brandville, dia selalu menyempatkan diri untuk ke makam terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Memang tidak setiap hari, tetapi masih bisa dibilang sering karena dalam satu minggu bisa tiga sampai empat kali dia menghabiskan paginya di sana.
"Lusa pagi aku sudah harus kembali ke New York, pekerjaanku menumpuk." jeremia melakukan hal yang sama dengan papanya, makan malamnya juga sudah selesai. Dia mendorong piringnya yang telah kosong. "Aku tidak bisa menyerahkan semuanya pada Philip dan menghilangkan tanggung jawabku. Ada beberapa berkas yang harus kutandatangani, juga ada pertemuan penting di penghujung hari di awal pekan."
"Baiklah, Papa mengerti!" Armando mengangguk. Sebagai seorang pebisnis, ia mengetahui semuanya. Ia juga tak ingin memaksakan kehendak pada putri senjata wayangnya. Jeremia bebas menentukan pilihan. "Yang penting satu hal, kau harus istirahat dan menjaga kesehatanmu."
"Tentu saja, Papa!" Jeremia mengangguk mantap. Tersenyum manis, tak sabar menanti hari esok, dia akan ketemu Jordan.